Mohon tunggu...
Rini Nainggolan
Rini Nainggolan Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Rini O. Nainggolan, Mrs. Paul Schmetz

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Au-Pair Indonesia Bermartabat

3 Oktober 2014   22:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_327080" align="aligncenter" width="448" caption="Email dari Universitas Bonn ke induk semang "][/caption]

Ingin ikut menuliskan aksi untuk Indonesia, maka saya pun ingat saat saya menjadi Au-Pair di Jerman (1Agustus 2011-31Juli 2013). Masa-masa Au-Pair itu benar-benar dilandasi rasa cinta Indonesia. Kontrak resmi Au-Pair hanya boleh maksimal 1 tahun yang saya jalani dari 1Agustus 2011 hingga 31 Juli 2012, selanjutnya satu tahun lagi tinggal di keluarga yang sama dengan izin tinggal untuk kursus Bahasa Jerman persiapan studi di Jerman.

Jika ada yang belum tahu kata “Au-Pair”, secara singkat Au-Pair adalah kaum muda yang tinggal di keluarga tamu (hostfamily), bekerja di keluarga tersebut dan memperoleh uang saku, tempat tinggal serta makan ditanggung.

Saat itu cukup banyak yang menganggap saya sebagai pembantu, babu maupun TKW. Ini dibuktikan ada yang bertanya atau berkomentar dengan mengikutkan kata “majikan”. Jujur saja saya marah dong juga malu namun hanya di dalam hati. Belum lagi rangkuman pernyataan ini, “Indonesia hanya bisa mengekpor pembantu” membuat saya juga ikut merasa “pembantu” saat itu.

Namun masa-masa itu sudah lewat dan saya pun merasakan semua beban saat itu sebagai pelajaran. Ringkasan aksi saya waktu itu sebagai berikut:

1.Saya tidak dibayari tiket Indonesia-Jerman

Dengan mendapat beberapa kisah, saya menyambut ide hostfamily untuk membayar tiket ke Jerman dengan dipotong uang saku saya 60euro/ bulan selama enam bulan pertama. Meskipun uang saku yangsesuai ketentuan resmi  260euro/bulan akan berkurang untuk tiket dan biaya saya yang lain, saya memilih itu. Miskin tak membuat saya ingin diberi tiket gratis, hanya untuk menjaga “image” alias martabat hmm.

2.Saya tidak ingin bermanis wajah dan bibir.

Sudah kita ketahui bersama tata krama “timur &barat”  dan ini tentu saya alami langsung saat tinggal di keluarga Jerman. Tak ada saat bermanis-manis, justru saat “marah-marahan”, dan jika tidak marah, sindir-menyindir. Jikalah saya ingat masa itu, aduhai, kini hanya tertawa saja hahaa. Saat itu, Facebook buatan Zuckerberg dkk menjadi tempat ampuh untuk chatting dengan Au-Pair lain meskipun saya tahu dari insting saya (hadeuh), semua postingan bisa diketahui oleh induk semang saya yang Doktor Fisika dan ahli IT. Lagi-lagi untuk tujuan “orang Indonesia yang bermartabat”.

3.Saya tidak memikirkan diberi hadiah barang gadget.

“Kok bisa ya?” Itulah pikiran saya saat melihat postingan teman FB yang mendapat hadiah laptop, handphone dll. Cukup sampai di situ saja karena secara tak sadar, saya sudah mencanangkan kualitas hubungan dengan keluarga tempat saya tinggal adalah yang paling penting dan saat itu masih  saya perjuangkan. Semua demi martabat seolah saya tidak bisa dibeli dengan pemberian gadget.

4.Saya tidak keluar malam demi menjaga martabat ala Indonesia saya.

5.Menyanyikan lagu anak-anak Indonesia di waktu bermain.

Hasilnya?

Membahas hasil, bukan untuk dihitung secara jumlah namun secara kualitas dan dirangkum sebagai berikut: (tentunya dari penilaian saya sendiri)

1.Saya dapat berbincang tanpa sekat “majikan-pembantu” seperti anggapan dan dugaan yang lain.

Jika ada Au-Pair yang menganggap dirinya tidak bisa “dianggap family” oleh keluarga tempatnya tinggal, maka saya tidak merasa seperti itu di hari-hari saya kemudian sebagai Au-Pair hingga saat ini. Di awal tinggal, memang saya pernah marah dan sakit hati saat dibilang sebagai “Haustochter” oleh induk semang perempuan kepada ayahnya. Waktu itu kami duduk bersama di dapur dan dikira saya tidak tanggap. Setelah melihat kamus yang sudah robek-robek untuk memastikan artinya, barulah saya marah dan melampiaskannya langsung. Dimana? Di Alicante, Spanyol saat baru saja sampai di vila yang disewa dua minggu tersebut pada pertengahan Oktober 2011. Akibatnya? Induk semang perempuan yang ternyata memiliki hati bidadari tersendiri mengamuk sampai saya pun minta maaf. Tak hanya itu, beberap bulan kemudian dia juga mengamuk saat terucap oleh saya bahwa dia berbohong, oalahh sampai saya disuruh minggat alias diusir.

2. Saya mendapat bantuan karena kewajiban yang dilaksanakan oleh keluarga angkat.

Karena setiap Au-Pair wajib kursus Bahasa Jerman lagi begitu di Jerman, maka saya pun didaftarkan kursus, diantar dan dijemput saat pertama kali masuk kursus di VHS Bonn. Saat sakit gigi, cabut gigi, dan periksa gigi yang dicabut diantarkan induk semang perempuan. Saat rencana saya ingin lanjut studi di Univ. Bonn, persyaratannya ditanyakan via email-email hingga ditemani ke Universitas oleh induk semang yang laki-laki. Bahkan saya harus sama-sama ke kantor si hostfather demi menjumpai pemuda dari Cina yang sukses studi dan kerja di Jerman. Pertama kali ingin datang ke kantor gagal karena saya nyasar naik KA ke Bruehl dan justru melihat pasar Natal disana hingga telat ke kursus. Macam anak kecil ya? Biarlah untuk nostalgia diantarkan orang tua mendaftar SMP dan SMA.

[caption id="attachment_327085" align="aligncenter" width="336" caption="Buku Foto Karya Induk Semang Yang Perempuan"]

14123235321371329947
14123235321371329947
[/caption]



Begitulah aksi yang saya lakukan untuk Indonesia, menjadi Au-Pair Indonesia bermartabat di negeri orang. Ini selalu juga saya harapkan dari Au-Pair Indonesia yang lain. Semoga tidak malu menjadi Au-Pair Indonesia, harumkanlah nama Indonesia. Dua hari yang lalu, induk semang saya yang perempuan mengirim email bahwa mereka ingin mencari Au-Pair dari Indonesia lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun