Mohon tunggu...
Rini Nainggolan
Rini Nainggolan Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Rini O. Nainggolan, Mrs. Paul Schmetz

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Harus Dekat Dengan Ayahnya

21 Oktober 2014   21:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:14 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ayah, bisa saja ia seorang pengangguran, tak jelas pekerjaannya, pemabuk, penjudi dll. Walaupun banyak kenyataan Ibu yang dekat dengan anak yang dilahirkannya, dikandung selama sekitar sembilan bulan dengan rasa sakit dll (dari membaca dan mendengar cerita hamil). Seorang anak lahir dari pesakitan wanita, tetapi digunakan untuk menyambung keturunan pria. Setelah lahir, anak seyogyanya harus dididik ayahnya, apa yang diimpikan dan dipikirkan ayahnya disampaikan ke anaknya. Si Ibu sudah dekat dengan anaknya maka anak harus dekat dengan ayahnya. “Hai, anakku, dengarlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.” (kitab Amsal)

Positifnya ayah dekat dengan ayah, bisa menghindari kasus-kasus edan menjijikkan. Kasus ayah tiri mencabuli anak perempuan sudah acapkali didengar. Mengapa si ibu “tega” (walau bisa saja si wanita beralasan, ibu mana yang tega mencelakakan anaknya) memilih pria yang tak baik untuk anak perempuannya? Mengapa ia memberikan pria lain yang bukan ayah anaknya, dekat dengan anaknya?

“Keluarga bukanlah yang memiliki hubungan darah denganmu, tetapi mereka yang kau sayangi dan menyayangimu” kurang lebih begitulah kata-kata dalam sebuah film. Betul juga, tetapi hubungan darah dengan ayah kandung jangan langsung diabaikan.

Pertanyaan lagi mengapa ada pria yang tak menjadi ayah yang baik atau masih belajar menjadi ayah yang baik (yang dalam proses menjaga& membesarkan anak). Tak lain karena si pria belum belajar, belum belajar dari ayahnya atau juga buku (kitab).

Pertanyaan berlanjut ke ayah yang hanya duduk-duduk di kedai dan si ibu yang bekerja banting tulang membesarkan anaknya, layakkah memiliki hak yang lebih besar atas anaknya, yahh saya pun tak tahu menjawab karena secara yang saya baca, lelakilah yang memiliki anak-anaknya. Si wanita hanya memberikan anak kepada suaminya.

Jika dikaitkan lagi dengan anak-anak yang lahir milik si ibu karena Ibu bagai induk ayam yang menaungi anak-anaknya di bawah sayap, kita bukanlah ayam dan jika mengambil pelajaran dari alam, maka bukan dari ayam. Seperti tulisan Opa Tjip yang pernah saya baca, ayam itu berganti-ganti pasangan. Beliau juga menyarankan jadilah rajawali. Kitab yang saya baca hingga lagu-lagu mellow juga menyebutkan “aku bagai rajawali yang terbang tinggi.” Belum pernah disebutkan ayam untuk ditiru. Pesan Opa Tjipt dan tua-tua bijak juga “jangan mengais terus seperti ayam, karena jika tidak bisa lagi mengais maka ayam itu akan mati.”

Jadi marilah lebih dekat dengan Ayah, semoga kita dapat mengambil alih impian-impiannya yang belum bisa atau tak sanggup diwujudkannya. Ibu yang baik juga akan selalu mendukung anak dekat dengan Bapaknya. Jika Pak Mario Teguh mengatakan pria akan mencari wanita yang baik untuk jadi ibu anak-anaknya, maka wanita juga harus mencari pria yang baik untuk anak-anaknya.

Bapak, kami sayang Bapak (kata-kata Mbak Tutut saat Pak Harto dimakamkam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun