Mohon tunggu...
Rieres Niermasasi
Rieres Niermasasi Mohon Tunggu... -

Always try to be a good person

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dilema Impor Indonesia

30 Maret 2015   23:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:46 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pekan yang lalu bahkan hingga sekarang , banyak surat kabar Indonesia yang memuat berita mengenai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Karena hal tersebut, ada beberapa fenomena yang muncul. Terjadilah hubungan yang dapat dikatakan simetris antara fluktuasi nilai tukar rupiah dengan kebutuhan impor. Fluktuasi nilai tukar rupiah tidak dapat dihindari, sama halnya dengan impor yang semakin menjadi keharusan. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika Indonesia merupakan negara pengimpor walaupun sebenarnya memiliki sumber daya yang melimpah. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia selama bulan Januari 2015 total impor berdasarkan golongan barang (barang konsumsi,barang bahan baku penolong, dan barang modal) sebesar 12.591,5  juta US$, lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan Januari 2014 yang mencapai 14.916,2 juta US$.

Berdasarkan data memang terjadi penurunan volume impor antara Januari 2014 dengan Januari 2015. Namun, permasalahan yang terjadi disini bukanlah penurunan volume impor melainkan seberapa besar kontribusi barang-barang impor tersebut untuk memenuhi kebutuhan. Hampir lebih dari 50% prosentase kontribusi dari barang impor yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Apa dampak dari fluktuasi nilai tukar rupiah dengan kebutuhan untuk mengimpor?  Melemahnya rupiah akan menaikkan biaya produksi yang menggunakan barang impor dalam proses produksinya. Hal  mengindikasikan bahwa kita harus membayar lebih mahal untuk barang-barang impor. Walaupun Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya melimpah, di sisi lain Indonesia juga terkenal sebagai negara pengimpor kelas kakap. Negeri yang luas, jumlah penduduk yang spektakuler, sumber daya yang melimpah namun mengalami masalah dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan, sangat menggelikan.

Model Leader-Follower

Suatu urgensi koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang tampak saat ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak maupun fluktuasi kurs/nilai tukar. Koordinasi harus mengacu kepada urutan kebijakan, dimana salah satu otoritas harus menciptakan suatu kebijakan dahulu, yang kemudian akan di respon dan diikuti oleh otoritas lain. Untuk kasus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, otoritas moneter perlu menjadi leader dengan berbagai upaya dalam melakukan intervensi langsung di pasar keuangan ( pasar valuta asing dan pasar obligasi), sedangkan otoritas fiskal menjadi follower dengan berbagai cara mempersiapkan jaring pengaman dan mengurangi dampak dari resiko sistemik yang terjadi di pasar keuangan.

Untuk kasus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter perlu terjun langsung ke lapangan untuk intervensi pasar valuta asing dan pasar obligasi dengan mengeluarkan cadangan devisa. Di sisi lain, pemerintah dengan otoritas fiskalnya perlu mengamankan perekonomian nasional, salah satunnya dengan tetap mempertahankan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7%. Pemerintah juga perlu mengamankan posisi budget deficit serta menggunakan APBN dengan seefektif mungkin.

Terjadilah dilematis antara membatasi impor karena melemahnya rupiah dengan keterdesakan dalam melakukan impor untuk mencukupi kebutuhan. Sulit untuk menentukan mana yang harus lebih di utamakan. Keduanya ibarat dua mata pisau yang berlawanan. Jika impor dibatasi, kebutuhan dalam negeri tidak dapat terpenuhi. Terjadilah scarity (kelangkaan) yang menyebabkan efek panik di masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan inflasi karena naiknya barang-barang kebutuhan yang saling mempengaruhi. Namun, jika impor tetap dilakukan secara besar-besaran jumlah devisa yang harus dikeluarkan negara juga semakin meningkat. Seperti buah simalakama kan?

Hal yang mungkin dilakukan saat ini adalah menyeimbangkan dua hal antara melemahnya nilai tukar dengan ketergantungan impor. Untuk menyeimbangkan nilai tukar yang melemah dengan kebutuhan impor tidak bisa dilakukan secara kilat. Perlu adanya suatu tindakan perlahan namun pasti yang dilakukan oleh semua pihak. Tidak hanya pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal dan BI sebagai pemegang otoritas moneter, tetapi juga masyarakat umum harus bersinegi bersama dalam menyeimbangkan kedua hal tersebut. Walaupun kunci utama keberhasilan tetap pada kedua otoritas tersebut. Model leader-follower juga dapat diterapkan pada hubungan pemerintah dan mayarakat. Pemerintah membuat sebuah kebijakan yang sesuai dengan kondisi saat ini. Masyarakat dapat berperan aktif dengan mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan kedua lembaga pemegang otoritas. Pemerintah berkolaborasi dengan masyarakat bersama-sama lebih memanfaatkan atau memberdayakan sumber daya yang melimpah di negeri ini. Lebih menggali komoditas-komoditas yang mempunyai potensi ekspor tinggi seperti bidang perkebunan dan industri kreatif.  Apa yang dapat kita lakukan sebagai seorang pemuda yang notabene disebut “agent of change”?. Struktur penduduk Indonesia yang lebih banyak penduduk berusia muda memungkinkan kita para pemuda berkontribusi besar dalam masalah ini. Dimulai dari hal kecil yang dapat dilakukan seperti dengan lebih mencintai produk dalam negeri. Kita gunakan produk-produk dari produsen dalam negeri. Dengan begitu, permintaan untuk komoditas dalam negeri semakin meningkat yang pada akhirnya akan dapat mengurangi volume konsumsi barang impor. Meningkatnya produksi domestik akan meningkatkan ekspor dan dapat meminimalisir impor. Inilah salah satu hal positif yang didapat dari fenomena melemahnya rupiah.

Mungkin bagi masyarakat marginal mereka tidak mengetahui apa itu nilai tukar, apa itu impor, apa itu inflasi dan istilah-istilah lain di bidang keuangan. Yang mereka tahu adalah harga-harga barang kebutuhan yang harus mereka beli untuk memenuhi kebutuhannya kian hari kian mahal dengan pendapatan yang mereka peroleh cenderung konstan. Mungkin dalam benaknya mereka bertanya-tanya “mengapa hal ini bisa terjadi”?. Yang mereka impikan bukanlah kekayaan tetapi kesejahteraan. Itu hal yang lumrah yang pasti diinginkan semua orang, tercermin dalam peribahasa Jawa “Memayu Hayuning Bawana” ( Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan ). Kutitipkan hidup dan angan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hidup padamu “penguasa negeri ini”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun