Mohon tunggu...
Rieres Niermasasi
Rieres Niermasasi Mohon Tunggu... -

Always try to be a good person

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Semoga Tak Bernasib Sama

14 Mei 2015   17:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:03 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kredit Pemilikan Rumah atau yang lebih familiar dengan sebutan KPR kehadirannya mulai menjamur. KPR ini menjadi salah satu sektor riil yang tiap waktunya terus mengalami peningkatan. Artinya, banyak masyarakat yang menjadikan KPR sebagai pilihan wahid dalam melakukan transaksi pembelian properti. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), ada 74,45% masyarakat atau konsumen yang memilih Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sepanjang kuartal 1 tahun 2015, total KPR mencapai Rp 317,8 triliun. Ya,walaupun angka ini lebih rendah 0,12 % jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal sebelumnya. Namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan total kredit perbankan. Mengapa KPR menjadi bintang di tengah masyarakat Indonesia saat ini?
Subprime Mortgage
Membanjir dan menjamurnya kredit KPR pernah juga terjadi di negara megapower, Amerika Serikat pada tahun 1990-an. Sama halnya dengan Indonesia saat ini, saat itu masyarakat AS juga membanjiri transaksi mereka dengan KPR. Pada saat itu KPR begitu diminati karena tingkat suku bunga yang relatif rendah sehingga memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan kredit. Ditambah pula dengan regulasi pemerintah AS pada saat itu yang memberlakukan program kepemilikan rumah atau tempat tinggal bagi penduduknya untuk menanggulangi dan mengurangi gelandangan dan tuna wisma.
Pada awalnya kebijakan ini memang berbuah manis. Angka tuna wisma dan gelandangan berkurang. Namun, pada tahun 2006 saat Presiden Bush melakukan agresi militer ke Afganistan sebagai balas dendam terhadap serangan teroris AS yang terjadi sebelumnya, membuat harga minyak dunia melambung tinggi. Melambungnya harga minyak sangat mempengangaruhi perekonomian AS. Mengapa? Karena AS merupakan negara dengan konsumsi minyak yang cukup tinggi. Laju inflasi pada saat itu tak dapat dihindarkan lagi. Karena hal tersebut, pemerintah melakukan kebijakan dengan menaikkan tingkat suku bunga untuk menekan inflasi.
Kebijakan tersebut juga berimplikasi terhadap sektor KPR. Dengan naiknya tingkat suku bunga dibanding saat awal melakukan transaksi KPR membuat terjadinya fenomena gagal bayar. Banyak masyarakat yang mengalami gagal bayar cicilan KPR mereka. Ini disebabkan karena banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang terjun dalam transaksi KPR. Sehingga saat tingkat suku bunga naik, dengan pendpatan mereka yang stagnan mau tidak mau gagal bayar pun terjadi. Hal ini juga berimbas pada sektor perbankan, karena adanya gagal bayar dan kredit macet, likuiditas bank pun terancam. Banyak bank yang mengalami kebangkrutan terutama bank investasi.
Inilah awa mula terjadinya krisis subprime mortgage di AS yang berimbas pada krisis global pada tahun 2008. Subprime mortgage sendiri merupakan sebutan kredit yang identik dengan sektor perumahan. Kredit ini biasanya diberikan kepada pihak yang seharusnya tidak layak menerima kredit. Krisis subprime morgage yang terjadi di AS ini secara langsung maupun tidak menyeret negara-negara lain di Eropa dan Asia Timur seperti Jepang yang pada akhirnya menyebabkan meletusnya krisis global / krisis finansial pada tahun 2008.
Bagaimana dengan Indonesia?
Menjamurnya KPR di Indonesia selain menguntungkan juga perlu dicermati lebih seksama. Berkaca pada peristiwa krisis global yang terjadi di AS tahun 2008, semoga Indonesia tak bernasib sama dengan kondisi AS saat itu. Risiko gagal bayar juga menghantui bisnis KPR di Indonesia. Saat ini terlalu banyak kemudahan untuk mendapatkan KPR. Banyak tipe rumah atau kluster yang ditawarkan perusahaan yang bergerak di bidang properti ini kepada calon konsumennya. Baik masyarakat berpenghasilan tinggi bahkan masyarakat berpenghasilan rendah pun diberikan kemudahan untuk mendapatkan KPR. Hal ini cukup kontras mengingat jumlah penduduk Indonesia yang melimpah dan tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok. Bisnis KPR berlomba-lomba untuk menarik dan mencari konsumen dengan harapan mereka akan mendapatkan keuntungan yang melimpah.
Risiko gagal bayar juga perlu diperhatikan dalam hal ini. Karena jika hal tersebut sampai terjadi, dampaknya akan sangat kompleks terhadap perekonomian. Tidak hanya berdampak pada sektor perbankan, tetapi juga akan berkontribusi dalam menciptakan tuna wisma dan gelandangan. Untuk itu pemerintah melalui instrumen Bank Indonesia melakukan suatu kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya risiko gagal bayar akibat membludaknya permintaan KPR.
Sejak tahun 2012 Bank Indonesia melakukan kebijakan dengan pendekatan counter cyclical, yaitu melakukan pengetatan regulasi dalam kondisi pertumbuhan kredit yang tinggi untuk menjaga perekonomian tetap produktif dan mampu menghadapi tantangan sektor keuangan di masa depan. Kebijakan ini diwujudkan dalam bentuk diterbitkannya Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No.14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang penerapan Manajemen Risiko pada bank yang melakukan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Di dalam SE tersebut diatur mengenai maksimum Loan to Value (LTV) untuk KPR.
Ketentuan LTV ini mengatur rasio nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit yang ditetapkan maksimal 70%. Dengan adanya surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang mengatur tentang pemberian KPR diharapkan akan melindungi semua pihak. Konsumen lebih mendapatkan perlindungan, dan pihak perbankan akan terhindar dari risiko gagal bayar. Berkaca pada Amerika Serikat dan belajar dari pengalaman nampaknya merupakan hal yang coba dilakukan Indonesia saat ini menyikapi mambanjirnya permintaan KPR dalam negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun