Mohon tunggu...
Reza Zaki
Reza Zaki Mohon Tunggu... -

S1 Fakultas Hukum UGM (Minsus Hukum Dagang)\r\n\r\nS2 Hubungan Internasional UGM (Minsus Diplomasi Perdagangan Dunia)\r\n\r\nKetua @rumahimperium (Lembaga Wirausaha Sosial Kab Sumedang)\r\n\r\nPeneliti Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM\r\n\r\nwww.rezazaki.com I @RezaSZaki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rahasia Cut Nyak Dien

10 November 2013   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wanita ini memulai kisah perjuangannya dari Aceh Barat yang diselimuti oleh nuansa keagamaan yang amat kental. Lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ia bukanlah wanita pada umumnya yang masih loyal terhadap pemikiran konservatif yang mengekang. Cut Nyak Dien muda adalah pembelajar yang menemukan ledakan-ledakan revolusi untuk melawan imperialisme Belanda.

Pada usia yang masih belia, Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya dengan Teuku Ibrahim. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki dari buah perkawinannya. Keharmonisan mereka ditunjukan dengan kegigihan dalam medan perang melawan Belanda di Aceh. Setiap kali mereka terpisahkan oleh jarak, Cut Nyak Dien selalu menghibur dirinya dengan membaca syair-syair yang menambah semangat perlawanannya.

Suatu ketika Teuku Ibrahim akhirnya gugur dalam medan perang. Cut Nyak Dien begitu terpukul atas kepergian suaminya tersebut. Sebagai manusia biasa, Cut Nyak Dien pernah berikrar jika hanya ingin menikah dengan orang yang mau berjuang dengannya untuk melawan Belanda. Ikrar itu terjawab ketika Cut Nyak Dien (Seorang Janda) kemudian dipertemukan dengan Teuku Umar yang masih merupakan saudara sepupu dan menikah pada tahun 1878.

Sosok Teuku Umar sangat menginspirasi langkah-langkah Cut Nyak Dien selanjutnya. Teuku Umar merasakan bahwa Cut Nyak Dien merupakan bagian terpenting yang mendorongnya lebih bergairah dalam melawan Belanda. Teuku Umar adalah diplomat ulung yang menggunakan taktik intelejen dengan menyatakan sumpah setia kepada Belanda dan kemudian setelah menguasai semua fasilitas yang ada, Teuku Umar balik menyerang Belanda. Tingkah Teuku Umar ini mengundang amarah besar Belanda dan memaksa Cut Nyak Dien beserta Teuku Umar harus bergerilya ke hutan belantara. Dari hutan belantara inilah Teuku Umar memimpi perlawanan.

Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas tertembak. Berita duka ini sampai ke telinga Cut Nyak Dien yang seketika langsung mengambil alih komando gerilya selanjutnya. Selama 6 tahun Cut Nyak Dien harus memimpin perlawanan terhadap Belanda dengan modal barang-barang berharga yang dimilikinya. Namun, bukan justru perlawanan semakin agresif, justru pasukan Cut Nyak Dien semakin melemah.

Salah seorang pengikut Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot Ali merasa iba melihat kondisi Cut Nyak Dien yang sudah tidak berdaya. Ia merancang strategi untuk menyerah kepada Belanda dengan syarat Cut Nyak Dien tidak diintimidasi. Berita ini direspon dengan amarah oleh Cut Nyak Dien. Tidak butuh waktu lama, keberadaan Cut Nyak Dien akhirnya terendus oleh pasukan Belanda yang pada akhirnya membuat Srikandi Indonesia ini diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya Allah, ya Tuhan, inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir".

Pola pengasingan Cut Nyak Dien ini dilakukan oleh Belanda agar tidak ada gerakan lanjutan yang didukung oleh para pengikutnya di Aceh. Kondisi terakhir Cut Nyak Dien ketika diasingkan memang cukup mengenaskan. Kondisi fisiknya sudah sangat lemah. Penglihatannya sudah tidak terlalu berfungsi.

Di Sumedang tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakainnya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya. Cut Nyak Dien dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja (Pengeran Mekkah). Bupati Sumedang kemudian menempatkan Cut Nyak Dien di rumah H.Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang kaum (mesjid besar Sumedang).  Di rumah itulah Cut Nyak Dien menghabiskan sisa umurnya.

Sebagai tahanan politik, perempuan yang kemudian oleh masyarakat digelari Ibu Perbu (Ratu) itu, jarang keluar rumah. Akan tetapi banyak sekali anak-anak dan ibu-ibu yang mengunjunginya untuk belajar mengaji. Walaupun Cut Nyak Dien sudah mengalami kerabunan, namun ia fasih dalam membaca ayat suci Al-Quran karena ia merupakan Hafidzoh.

Pada 6 November 1908, Ibu Perbu akhirnya meninggal dunia setelah 1 tahun diasingkan oleh Belanda. Cut Nyak Dien dimakamkan di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang.

Sejak 2 Mei 1964, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106, Cut Nyak Dien ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Nama Cut Nyak Dien pun diabadikan sebagai nama sebuah Universitas di Sumatera Utara.

Cut Nyak Dien adalah sisi lain Kartini yang berwibawa, berani, dan pandai dalam berjuang melawan Belanda (M.H. Skelely Lulofs, 2007). Cut Nyak Dien juga diibaratkan sebagai wanita yang heroik yang mampu memanaskan gelora perlawanan dalam melawan kafir Belanda (Snouck Hourgronje, 1985).

M.Reza S.Zaki S.H.,MA (Cand)

Ketua Rumah Imperium (Lembaga Beasiswa Kepemimpinan Pelajar & Mahasiswa Se-Sumedang)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun