Mohon tunggu...
Rendratoso Santoso
Rendratoso Santoso Mohon Tunggu... -

My name is Rendra Now I Am a Student Of Prof. DR. Moestopo Beragama, I like Writing, for me by writing we could take out our problem without hurting anyone. I am kind of fun person, and I like challenge.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pengemis dan Kesempatan

7 Februari 2010   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tubuh renta Topan pada saat ini hanya bisa terbaring diatas dipan tua yang sudah reot, dilihatnya langit – langit kamar rumah bedengnya yang berdiding kardus dengan sebuah tatapan kepasrahan, ada kardusTV dengan merek sangat terkenal made in Japan, ada kardus Tape Stereo dan masih ada beberapa kardus dari mie instant yang dahulu rapat dilekatkanya dengan menggunakan bilah bambusehingga menjadi tembok untuk melindungi dirinya dari terpaan angin malam dan hujan tetapi saat ini tembok kokoh dari kardus tersebut sudah mulai rerapuh seiring usia Topan yang kian senja.

Dia membangun rumah bedeng dengan kardus itu sejak dia masih muda, pada waktu itu dia menghadiahkan rumah itu untuk istrinya, tetapi Tuhan berkehendak lain, istrinya mendahuluinya untuk bertemu dengan Nya, “kenapa nyawaku tidak sekalian Kau ambil Ya Rob? padahal aku sudah lelah menjalani hidup yang selalu beriringan dengan kemiskinan ini”. Protesnya ketika sang istri tercinta melepaskan nyawa dalam pangkuan.

Kini tubuh renta itu hanya ditemani seorang anak muda yang berpakaian lusuh berumur dua puluhan tahun kakinya cacat terkena polio sehingga untuk berjalan saja sangat kesusahan, dia adalah buah cinta Topan dan istrinya, yang kemudian diberinya nama Bayu. Bayu hanya bisa menangis meratapi kenyataan bahwa ayahnya sekarang sedang sakit dan entah berapa lama lagi ayahnya bisa bertahan menghadapi sakitnya, sudah beberapa kaplet obat sakit kepala yang dibelinya untuk meredakan sakit kepala yang diderita ayahnya, karena penyakit itu yang selalu dikeluhkan padanya, dan kenyataanya ayahnya tidak pernah sembuh ditambah kondisinya yang semakin melemah, pernah dia ingin membawa ayahnya untuk berobat ke dokter tetapi apa daya dia hanya seorang pengemis yang mengharapkan belas kasihan seseorang untuk mendapatkan sesuap nasi, mana mungkin dia bisa membayar seorang dokter dan belum harus menebus obatnya, bagaimana dengan surat keterangan tidak mampu? Dia pernah mencoba mengajukan ini kepada RT/RW setempat tetapi ternyata surat sakti ini tidak bisa didapat dengan cuma – cuma alias harus ada sekian jumlah Ruoiah untuk mendapatkannya, dan akhirnya Bayu pun mengurungkan niatnya ini. Pada saat yang mengharukan ini Bayu teringat bahwa sejak lima belas tahun yang lalu ayahnya selalu mengajaknya untuk mengais rejeki dengan cara meminta minta belas kasihan orang – orang, hal ini dilakukan ayahnya dan dia sejak pagi sampai petang menjelang setelah itu mereka kembali kerumah kardusnya dibantaran sungai. Tidak pernah ayah membicarakan pendidikan dan masa depan karena ayahnya beranggapan bahwa pendidikan dan masa depan bukanlah hak orang – orang terpinggirkan secara ekonomi seperti mereka. Ayah selalu menceritakan masa lalunya dimana dia pergi dari desa untuk mengadu nasib di kota yang dianggapnya sebuah “promising land” ya anda benar JAKARTA, ternyata di kota metrolitan ini kesempatan tidak pernah berpihak terhadap ayah, sedangkan disisilain ibu yang sakit - sakitan dan Bayu kecil tidak bisa menunggu kesempatan itu datang, akhirnya ayah memutuskan untuk mengharap belas kasihan orang dengan cara menjadi seorang pengemis, tetapi ayah selalu berpesan “walaupun kita seorang pengemis tetapi kita tidak boleh menerima derma dari orang dengan tangan langsung, ini adalah ungkapan bahwa kita sebenarnya tidak menginginkan menjadi pengemis tetapi keadaan yang memaksa kita, makanya ayah menggunakan sebuah mangkok keramik ini untuk menerima derma dari orang”. Gengsi dari ayah inilah yang menjadi pegangan Bayu kecil hingga saat ini.

Tiba – tiba Topan terbatuk keras dan melirik kearah Bayu yang seakan berarti menyuruh Bayu untuk mendekat kepadanya, dan tanpa disuruh Bayupun mendekat kepada ayahnya,“mendekatlahlah lagi nak, bapak ingin bicara” kata Topan kepada Bayu. Bayupun mendekatkan tubuhnya lebih dekat disisi dipan reot itu. “bapak mauminta maaf karena bapak tidak bisa memberi apa – apa kepada kamu, dan ini mungkin yang terakhir yang bisa bapak berikan”. Kata Topan terbata – batasembari meraih mangkok keramik yang disimpanya dibawah bantalnya, itu adalah mangkok yangbiasa digunakanya untuk mengemis. Dengan tangan bergetar Bayu menerima mangkok itu dan mengucapkan terima kasih, air matanya semakin membanjiri pipinya. “ayah Bayu juga minta maaf karena tidak bisa memberikan yang terbaik buat ayah” kata Bayu sambil terisak. Perkataan Bayu itu hanya dibalas dengan senyuman iklas seorang ayah terhadap anaknya, kemudian Topan menutup matanya perlahan – lahan tetap tersenyum dan sempat menitikkan air mata, kemudian nafasnya dikeluarkan perlahan dan akhirnya tidak pernah dia menarik nafas lagi untuk selamanya, tangisan Bayu semakin menjadi.

Tiga bulan sudah ayahnya meninggal dan dia tetap menjalankan profesinya sebagai seorang peminta minta dengan menggunakan mangkok warisan sang ayah. Dia berpikir bahwa cara – cara ayah untuk mengemis dikeramaian saja tidak begitu sukses sehingga dia menyusun jadwal dimana dia akan mengemis, Senin sampai Kamis dia akan mangkal didekat sebuah toko elektronik yang selalu ramai didatangi orang, Jumat dia akan mangkal di dekatmasjid dan Sabtu dia akan Mangkal di Vihara dan Minggunya dia akan mangkal didekat Gereja.

Dia memilih mangkal didekat toko elektronik setiap Senin sampai Kamis karena tokonya ramai dan kebetulan yang mempunyai toko itu baik dan ramah terhadap dia bahkan kadang mereka memberi makan kepada Bayu, sempat beberapa kali si Engko’ mau berbincang dan berkenalan dengannya. Dengan metode mengemisnya ini Bayu berharap dia akan menjadi kaya kelak. Satu tahun, Dua tahun, Tiga tahun …Empat puluh Tahun berjalan tetap saja Bayu adalah seorang pengemis dengan sebuah mangkok keramik,bahkan dia memutuskan untuk tidak mau kembali ke rumah peninggalan ayahnya karena malu merasa gagal dan dia lebih suka tinggal dipinggiraan toko elektronik tempat si Engko’ untuk menghabiskan malam.

Hingga suatu pagi yang cerah Si Engko’ hendak membuka tokonya dimana Bayu tidur dipinggirnya, karena takut mengganggu si engko’ menggoyangkan tubuh Bayu yang meringkuk itu seraya mohon maaf karena dia ingin membuka tokonya, tetapi si engko’ seperti menggoyangkan dahan kaku, dia meraba pergelangan tangan dan leher Bayu dan alangkah kagetnya karena tidak dirasakanya detak nadi Bayu, kemudian dengan Cell phonenya dia menghubungi kantor polisi untuk datang ketempat kejadian perkara. Polisi segera melakuan olah TKP dan menyimpulkan bahwa Bayu sedang sakit sebelum dia meninggal dan diperkirakan mati karena kedinginan, dan satu – satunya barang yang ditinggalkan adalah mangkok keramik itu, yang kemudian oleh polisi diberikan kepada si engko’ toko elektronik karena dialah satu – satunyaorang yang mengenal Bayu, “mungkin ini yang menjadi hadiah terakhir buat anda dari pengemis ini dan sekaligus ucapan terima kasih darinya” kata Inspektur polisi itu kepada si engko’. Dengan wajah sedih si engko’ menerima mangkok keramik itu.

Seminggu sudah si engko’ membuka toko elektroniknya tanpa membangunkan seorangpun dipinggiran tokonya, terkadang dia kangen dengan suasana itu, suasana ketika dia deg – degan membangunkan Bayu pada waktu itu, dia takut kalau – kalau yang dibangunkannya ternyata mengamuk dan menyerang dirinya. Untuk mengenang sahabat miskinnya itu dia memajang mangkok keramik itu disalah satu didinding toko miliknya tersebut. Hingga suatu saat ada seorang pembeli yang memasuki toko elektroniknya dan sempat melihat hiasan didinding mankok keramik di toko si engko’. “siapa pemilik toko ini?” Tanya laki – laki tersebut kepada salah seorang pegawai penjaga toko si engko’. Kemudian perempuan muda penjaga toko tersebut memanggil si engko’ untuk mendatangi laki – laki tersebut. Dengan tergopoh – gopoh si engko’ berjalan menghampiri laki – laki tersebut “wah jangan – jangan komplin nih” pikir si engko’. “ada yang bisa saya Bantu?” sapa si engko’ kepada laki – laki itu, “anda yang punya toko ini ya?” laki- laki itu balik bertanya kepada si engko’. betul” jawab si engko’ singkat. “saya kolektor benda antik dan kalau anda berkenan menjual mangkok keramik itu, saya akan membelinya dengan harga satu milyar rupiah, karena setelah saya amati mangkok itu adalah mangkok peninggalan dinasty Ming dan setahu saya hanya tersisa lima puluh yang ditemukan utuh didunia ini dan termasuk kepunyaan anda, bagaimana?” kata laki – laki tersebut. Si engko’ hanya melongo kaget, keheranan dan sekaligus bangga, tetapi apakah dia berhak menerima uang satu milyar itu? Itulah yang dipikirkanya, disaat pikiran bergejolak inilah nuraninya berkata ”jangan menodai persahabatan dengan sejumlah uang”. Si engko’ mengangguk – angguk kecil ”maaf saya tidak berniat menjualnya karena itu merupakan peninggalan sekaligus kenang – kenangan dari teman saya” kata si engko’ dengan tegas kepada laki – laki itu. ”begini saja, ini kartu nama saya dan cepat hubungi saya jika sewaktu – waktu anda berubah pikiran” kata laki – laki tersubut sembari memberikan kartu namanya kepada si engko’.

seandainya Bayu tahu bahwa mangkok yang dipegangnya setiap hari itu bernilai satu milyar tentu sekarang dia masih hidup dan tidak akan menjadi seorang pengemis dan mungkin dia akan memborong elektronik dari tokoku” gumam si engko’ dalam hati sembari memandangi mangkok keramik peninggalan seorang pengemis bernama Bayu.

Penulis:

Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat kita, tetapi terkadang kita mempertanyakanketidak adilan hidup yang dicobakanTuhan kepada kita,kenapa dia? Kenapa bukan aku? Kenapa dia kaya? Kenapa aku miskin? Kenapa – kenapa dan kenapa...padahal sebenarnya tanpa kita sadari Tuhan akan selalu memberikan sesuatu yang tepat buat kita, hanya karena Dosa kita tidak bisa melihat dengan jelas pemberian Tuhan yang tepat tersebut, untuk itu saya mengucapkan Terima kasih wahai Dzat yang maha memberi, maha segala – galanya karena telah memberikan saya hidup yang indah setiap detik didunia ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun