Pagi itu, suasana di dalam gedung GOR Pekanbaru cukup sesak. Ribuan pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berdesak-desakan dalam bangunan itu. Irisan waktu di 10:00-an menjadi titik permulaan pertemuan beragam postur fisik, karakter, adat, dan ekspektasi untuk sebuah harapan bersama, katanya. Yah, sebagaimana Kongres-kongres sebelumnya, Kongres kali ini pun menjadi ruang untuk menjahit asa kolektif dari beragam warna, rasa, bau, suara, dan tekstur.
Ada banyak ekspektasi (kepentingan) ribuan kader HmI yang merasa perlu diakomodasi. Mungkin juga dari beberapa “kakanda” bertingkat yang ‘rela’ menghabiskan waktunya, juga para elit yang konon masih menghitung HmI dalam matematika politiknya. Apalagi dengan kehadiran beberapa sesepuh, seperti Jusuf Kalla (dalam kapasitasnya sebagai Wapres) yang membuka acara, Mahfud MD dan Akbar Tandjung. Beberapa Menteri pun tak mau ketinggalan. Sebut saja Yuddy Chrisnandi, Rudiantara, Sofyan Djalil, Muhammad Nasir dan Ferry Mursidan Baldan. Rasa-rasanya asa bertingkat itu akan segera menyempurna.
Yah, ada banyak kepentingan baik ‘yang pasti’ maupun ‘yang mungkin’, berkelabatan menunggu giliran. Bagi para adinda penggembira (bukan Romli), Kongres adalah asa untuk belajar banyak hal (lupakan sejenak gerakan-gerakan tambahan yang ‘merepotkan’ Panasko/Panlok, Aparatur Represif dan Oknum Warga). Bagi para kakanda ‘level’ middle dan elit, ekspektasi mereka agak susah ditebak, paling mungkin adalah asa menjadikannya ajang uji coba ‘sratak-stratak’ baru dan sejenisnya. Bagi para sesepuh yang saat ini banyak tersebar di jajaran elit politik, ekonomi dan birokrat, apa?
Dalam sambutannya, JK menyampaikan pokok-pokok pikiran. Di antaranya, Kemandirian HmI dalam pendanaan, peningkatan Peran HmI, dan Menjaga Marwah Himpunan. Ketiga hal ini cukup mengena, terutama poin pertama.
Di luar gedung, tak kalah sesaknya. Parade massa dan atribut organisasi cukup banyak makan tempat. Dan hari-hari berikutnya lebih banyak lagi manusia dengan beragam struktur wajah berikut atribut mereka membanjiri Kota Pekanbaru. Tidak hanya oleh keluarga besar HmI, tetapi juga warga setempat yang tertarik untuk sekedar melihat-lihat, menjajakan dagangan, seperti baju, atribut dan aksesoris yang di-HmI-kan, atau sekaligus kedua-duanya.
Belum lagi kesesakan di beberapa titik tempat penginapan dan tongkrongan. Penginapan seperti Hotel, Motel, Wisma dan sejenisnya yang biasanya dipakai oleh para pencari hiburan akhir pekan dari luar daerah atau untuk kepentingan lainnya, kini harus ‘dialihfungsikan’ sebagai rumah sementara “rombongan HmI”. Di pinggir jalanan pun, demikian. Algaka para kandidat gentayangan sana-sini. Mulai dari Billboard, Baliho, Spanduk, Pamflet hingga selebaran beragam ukuran dan motif, tergantung kemampuan finansial sang kandidat. Parade atribut ini tak kalah dengan apa yang dilakukan para wakil rakyat kala ‘berjuang’ mendulang suara.
Beberapa di antara algaka itu cukup memenuhi standar estetika. Selain karena letak dan cara peletakannya yang tepat, juga karena didukung struktur muka yang agak tertib yang sayangnya hanya dianugerahkan pada sebagian kecil kandidat. Sedangkan sebagian besar, algaka itu sangat ‘mengkhawatirkan’, tidak hanya karena tidak memenuhi standar estetika, tetapi juga standar etika dan logika. Pemilihan lokasi pemasangan yang salah, cara memasang dengan memaku di pohon, menempel permanen pamplet di dinding-dinding gedung, inkonsistensi antara eksperesi wajah dengan citra yang hendak dibangun sebagaimana pesan tagline di bawahnya, dsb. Dalam hal ini, keberadaan algaka kandidat Ketum Kohati PB di beberapa titik, sedikit mengaburkan fakta ini, setidaknya mendamaikan mata sejenak. Yang paling meresahkan, tagline-tagline itu banyak yang aneh. Sebut saja di antaranya, “HmI Bergerak” (memangnya HmI selama ini ngapain?) , “HmI Untuk Rakyat” (memangnya selama ini untuk siapa?). Ini menegaskan, seorang intelektual (tak peduli karbitan atau orisinil), pada akhirnya menutut diberi ruang untuk menumpahkan hasrat narsisnya.
Apanya yang salah? Adalah hal lazim dalam suatu Kongres, suksesi kepemimpinan juga adalah bagian penting di dalamnya. Jadi ‘wajar’ saja jika algaka para Kandidat gentayangan dimana-dimana, apapun genrenya. ‘Wajar’ juga ketika salah satu Kandidat menggunakan jasa billboard demi memastikan foto berikut slogannya dilahap mata publik, tidak hanya oleh keluarga besar HmI. Dalam perjalanan pulang sore itu (10/12), saya masih sempat melirik Bilboard itu, rupanya masih tegak menantang langit. Hanya satu hal yang terbesit di benakku, “berapa biaya untuk itu”?
*********
Suatu sore, saya mengantar 7 orang peserta dan penggembira ke bandara Internasional Sultan Kasim II. Kongres sudah selesai dan semua harus dipulangkan bertahap. Kalau biasanya hanya ada petugas bandara yang melayani, kali ini harus ‘dilayani’ oleh ‘security’ berseragam loreng. What’s up bro? Dasarnya memang selalu ‘shock’ kala mendapati urusan sipil dicampuri militer, nalar saya meliar. “sebegini wow kah keberhasilan media menggiring opini publik tentang premanisme HmI selama Kongres sampai-sampai urusan kepulangan pun pihak bandara harus melibatkan Loreng?”. Penggunaan jasa loreng bukan kali ini saja, setidaknya sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya di malam hari ketika keributan pertama pecah. Di beberapa titik jalan yang dianggap paling sering dilalui kelompok penggembira, dijaga pasukan loreng lengkap dengan bedilnya.