Mohon tunggu...
Yuni Herlina
Yuni Herlina Mohon Tunggu... -

kita tau apa yang kita inginkan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ada Cinta di Pohon Durian

15 Juni 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enak, itulah kata sebagian orang ketika ditanyakan pendapatnya tentang durian, tapi tidak menurutku. Aku tak terlalu suka buah berduri itu, baunya terlalu tajam dan menusuk.

Aku lebih suka makan “tempoyak,” hasil fermentasi durian ketimbang buah aslinya ataupun durian yang sudah dijadikan “lempok” (seperti dodol).

Ehm, tapi aku jadi tertarik dengan cerita pohon durian ketika ada pembahasan tentang durian saat lokakarya penulisan di sekolah demokrasi Sanggau bulan lalu. Durian Cinta, karya Alexander Mering, narasumber kami waktu itu. Karya fiksinya itu menyiratkan kekhawatirannya sebagai penulis akan punahnya pohon durian sejak pemerintah mengizinkan pohon durian ditebang.

Lalu kenapa dan ada apa? Tanyaku dalam hati. Tak lama seorang peserta berkomentar, ternyata bagi masyarakat Dayak, khususnya di Kedesaan Lumut, Kec.Toba Kab. Sanggau, tepatnya di Dusun Bungkang dan Dusun Sebandang ada ritual “ gawai buah “ yang dilakukan untuk meminta kesuburan tanah dan supaya pohon buah-buahan berbuah.

Pada ritual ini ada pohon durian yang dikeramatkan, di Bungkang ada Keramat Nek Demang, dan di Sebandang ada Keramat Nek Sudek.

“Bagi para remaja, saat musim durian merupakan momen terindah. Mereka bertemu di tembawang mencari durian, atau buah-buahan lainnya. Ada cinta di sana. Seakan berada di tempat wisata alam tentunya. Sungguh sebuah kenangan indah,” kata Rufinus, salah seorang peserta mencoba mengenang.

Usia tembawang yang masih ada sampai sekarang sudah berabad-abad lamanya. Menyiratkan bahwa pemiliknya sudah banyak. Mereka datang dari berbagai tempat dan berkumpul jika durian berbuah dan sudah masak.

“Biasanya orang Dayak tidak punya catatan silsilah, dengan adanya tembawang akan terungkap bahwa mereka dari keturunan yang sama,” kata bapak yang sekarang tinggal di daerah Sanjan ini.

Jadi ini alasan penting mengapa sebagian orang Dayak tidak boleh menebang pohon durian. Selain menjaga hubungan kekerabatan, tembawang menunjukan bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Dengan sama-sama memiliki tembawang, maka kekerabatan tetap terjaga.

Kawasan tembawang biasanya luas. Jadi ketika musim durian tembawang menjadi ramai. Dibawah pohon durian pemiliknya membuat pondok untuk menunggu durian jatuh. Buah yang jatuh dari pohon lebih nikmat dan gurih rasanya ketimbang buah yang dipanjat dan diperam.

Ada sebagian masyarakat Adat yang tidak boleh memanjat durian dengan alasan tidak boleh melukai kulit pohonnya. Ada mitos bahwa dengan melukai kulit pohon, berarti telah melukai kulit manusia, konon menurut ceritanya durian berasal dari manusia.

Pohon durian bisa tumbuh berdampingan dengan tanaman lainnya. Demikian juga sebaliknya, tidak mengherankan dimana tumbuh durian ada tanaman buah-buahan lainnya. Komplitnya tanaman buah-buahan menjadi sebuah tembawang.

“Tanaman durian juga dapat tumbuh di mana saja, diameter batangnya besar ketika sudah berbuah. Selain buah, batangnya juga dapat dijadikan sebagai ramuan rumah, seperti tongkat, kasau, papan dan lain-lain.” Ungkap Rufinus.

Ia menjadi khawatir ketika keberadaan tembawang semakin terusik, ditambah lagi ketika pemerintah tidak menjaga situs sejarah suatu suku bangsa yang menyimpan kearifan lokal.

“Peraturan Mentri Kehutanan Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Kepala Desa untuk menerbitkan Surat Keterangan Asal Usul telah melegalkan pohon untuk ditebang, atau dijual, Peraturan Menteri tersebut agar ditinjau ulang dan segera dicabut. Sebab akan merusak situs sejarah dan kekerabatan Suku Dayak. Selain itu akan menghabiskan sisa hutan yang selamat dari investor. Hutan alam sudah hampir habis, oleh karena itu pemerintah seharusnya menjaga hutan dari kepunahan.” terangnya dengan nada kesal. (yuni herlina / Rufinus)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun