Mohon tunggu...
Rahmad Nuthihar
Rahmad Nuthihar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ada untuk belajar, menghargai hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Headmaster not 'Hero' di Dunia Pendidikan

21 September 2013   18:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Alangkah terkesimanya saat saya membaca koran Serambi indonesia edisi Rabu, 4/9/2013 yang didalamnya memberitakan tentang pelantikan Kepala Sekolah (Kepsek) sebanyak 64 orang di Meulaboh. Tidak berakhir di situ, seakan tidak mau kalah dengan Meulaboh, Jumat 06/9/2013 orang nomor satu di Aceh Barat Daya melantik kepala sekolah sebanyak 90 orang. Jumlah yang lebih banyak dibandingkan Meulaboh. Sebernanya ada apa dengan pelantikan kepala sekolah itu secara besar-besaran? Apakah hanya sekadar membuktikan bahwa bupati punya berwenang untuk menunjuk, mengangkat, melantik serta memberhentikan orang nomor satu di sekolah itu?


Berbicara tentang prosedur pengangkatan Kepsek semua merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 28 Tahun 2010, dan ada banyak tahapan yang harus dilalui oleh guru untuk menjadi kepala sekolah dan tidak terkesan semudah melempar telor dan langsung jadi. Pada Bab II syarat-syarat guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah, dijelaskan, persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah meliputi; memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal (Pasal 3 Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010).


Menjadi kepala sekolah adalah posisi yang sangat signifikan terhadap keberhasilan visi dan misi lembaga pendidikan itu sendiri. Hal ini dilihat pada peranan kepala sendiri yang mencakupi kepemimpinan formal, kepemimpinan administratif, kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan tim Sergiovanni (1991). Pada point Kepemimpinan tim, peran Kepsek haruslah membangun kerja sama yang baik di antara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi sekolah secara optimal. Maka seorang yang dipercayakan menapuk jabatan sebagai Kepsek haruslah orang-orang yang berkompetensi, pengalaman dan yang terpenting diterima oleh semua kalangan. Diterima oleh semua kalangan yang saya maksudkan di sini adalah peka terhadap lingkungan dan menjalin silahturrahmi dengan semua pihak, baik itu muspika setempat maupun masyarakat sekitar. Sehingga harmonisasi pendidikan di dalam masyarakat bisa tercipta.


Kembali pada persoalan tentang pelantikan kepala sekolah besar-besaran, sepertinya kepala dinas pendidikan Aceh harus mengevaluasi mengenai kriteria dan syarat-syarat menjadi kepala sekolah. Pada hakikatnya pelantikan kepsek itu sendiri cukup bagus, karena yang menduduki kepsek itu pada dasarnya orang-orang yang sama dan dialihtempatkan ke sekolah yang lain. Penyegaran ini juga sudah semestinya dilakukan untuk mengantisipasi tingkat kejenuhan dan pendistribusian secara merata, sehingga tidak ada alasan "Karena Si Pulan kepala sekolah maka mutu pendidikan dan kelulusan UN di sekolah itu tinggi." Akan tetapi, kembali lagi pada profesionalitas seorang personal yang bakal dijadikan kepala sekolah. Diharapkan dinas pendidikan haruslah se-selektif mungkin dalam meluluskan calon kepala sekolah.


Pendidikan di Aceh krisis moral
Sepekan lalu kita sudah melewatkan momen bersejarah dalam dunia pendidikan yakni Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) yang peringatannya dipusatkan di Darussalam, Banda Aceh 2 September lalu. Berjelang beberapa hari setelah peringatan Hardikda itu, kabar yang tidak menyenangkan pun mencuat hingga menjadi isu nasional lantaran mengenai kuesioner yang menanyakan ukuran organ vital umat adam ini. Dimana kuesioner tersebut dianggap melanggar hak privacy seseorang dan diberikan kepada orang yang belum cukup umur yakni siswa SMP kelas 1 Sabang.


Seakan ingin menjadi training topic di jejaring sosial, pendidikan di Aceh kembali dilanda krisis moral diantaranya penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah siswa ke MAN Model Banda Aceh. Akibatnya beberapa siswa MAN Model terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Pendidikan di Aceh saat ini benar-benar dilanda krisis moral, konon lagi berbicara tentang kualitas dan kelulusan Ujian Nasional, provinsi di ujung Sumatera ini, menduduki posisi paling terakhir di Indonesia.
Jika kita mencari kambing hitam menyangkut keterpurukkan dunia pendidikan di Aceh sepertinya tidak akan pernah bertemu dan sudah menjadi lingkaran setan. Jika dibetulkan satu, maka masalah lainnya akan menyusul. Pemerintah sepertinya harus bekerja keras guna membangkitkan kembali muruah pendidikan Aceh yang bernafaskan islam. Penamanan nilai-nilia keislami menjadi jalan keluar untuk masalah krisis moral itu sendiri. Pogram gubernur yang sudah dicanangkan beut ba'da magrib haruslah benar-benar dijalankan di seluruh pelosok negeri Aceh ini. Dengan hal ini, dampak positif nantinya pada anak bangsa selain memangkas waktu untuk berkeluyuran di malam hari, pengajian ini sendiri adalah alternatif pendidikan islami yang bersifat non formal tanpa mengenal usia, sehingga siapa-saja dapat bergabung di dalamnya.


Selain itu, peningkatan mutu pendidikan ini sendiri harulah dimulai dari guru itu sendiri. Kedinamisan guru dalam pembelajaran sangatlah menentukan output yang baik seperti yang dinginkan dalam hasil pembelajaran. Dinamika guru dalam pembelajaran ini berhubungan langsung dengan peserta didik, diantaranya; bahan ajar, suasana belajar, media sumber belajar, guru sebagai sumber belajar. Maka seorang yanng menjadi guru bukanlah orang-orang asal-asalan dan terkesan fakultas keguruan adalah tempat pelarian mahasiswa yang tidak lulus di kedokteran atawa teknik.


Salah seorang pakar pendidikan Benjamin S. Bloom pada tahun 1956 mengatakan, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. 1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin (wikipedia). Oleh karana itu, ke depan kita harapakan dunia pendidikan di Aceh akan berubah menjadi lebih baik. Dengan alokasi dana yang melimpah sudah saatnya Aceh meninggal ketinggalan dari provinsi lain di dalam hal pendidikan. Karena pada intinya tidak ada manusia yang bodoh melainkan malas, dan kepada guru yang ada di Aceh mari kita optimalkan kegiatan pembelajaran, karena mendidik menentukan kehidupan putra-putri penerus bangsa. Semoga!

Rahmad Nutihar, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Syiah Kuala

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun