Mohon tunggu...
Rahmad Nuthihar
Rahmad Nuthihar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ada untuk belajar, menghargai hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PKA : Pekan Komersial Aceh

28 September 2013   19:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

DEMAM PKA (Pekan Kebudayaan Aceh) saat ini sedang melanda warga di provinsi paling barat wilayah Tanah Air ini. Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, yang menjadi tempat perhelatan event budaya aneuk nanggroe, kini ramai dikunjungi warga dari berbagai kabupaten/kota di Aceh. Pergelaran PKA VI yang dipusatkan di Taman Ratu Safiatuddin di kawasan Lampriet, Banda Aceh, sejak ajang budaya itu digelar (20-29 September 2013) disesaki oleh warga pada siang maupun malam hari.


Akibatnya, kemacetan pun tak terelakkan lantaran para penjual kali lima (PKL) membanjiri area yang ada di sekitar tempat berlangsungnya pesta akbar seni dan kebudayaan. Sangat disayangkan bilamana lokasi berlangsugnya PKA ini disalagunakan dan dijadikan tempat komersial untuk menjual barang-barang dagangan. Meskipun lapak yang untuk berjualan sudah disediakan oleh pihak panitia, namun para PKL ini kerap kali mengabaikannya dan menjadikan sembarang tempat untuk menggelar barang dagangannya. Dan terjadilah pergesaran maksud agenda empat tahun ini justru menjadi tempat komersial serta mengabaikan tujuan diadakannya PKA itu sendiri.


Berdesak-desakan
Di samping itu, kekecewaan para pengunjung antara lain pintu masuk arena PKA ini terbilang sempit. Para pengunjung sering kali berdesak-desakan untuk masuk ke dalamnya, yang menyebabkan rawan terjadinya tindak kejahatan dan pelecehan terhadap kaum perempuan. Penulis secara langsung melihat kaum laki-laki sengaja berdesak-desakan dengan perempuan dan maaf cakap menyentuh tubuh si perempuan.


Berbagai cemooh juga kerap dilontarkan masyarakat Aceh di jejaring sosial baik di twitter, maupun facebook mengenai acara dan hal-hal yang dipamerkan di anjungan dan stand-stand kabupaten/kota yang ada di arena PKA. Keaslian atau orisinalitas budaya Aceh pun cenderung diragukan. Pasalnya, hanya beberapa kesenian dan kebudayaan Aceh yang diperlihatkan serta diperlombakan di pentas PKA VI ini.
Sungguh miris jika melihat hal yang terjadi di sana. Acara yang dibukakan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono Jumat pekan lalu, kini seperti pasar malam. Kebanyakan kita dapati mulai dari pintu masuk di PKA VI adalah para penjaja makanan, acecories PKA dan tempat hiburan seperti tong setan menjadi tujuan utama para pengunjung dan mengesampingkan maksud utama untuk melihat kebudayaan Aceh.


Lebih anehnya lagi, Pekan Kebudayaan Aceh ke VI ini justru meniadakan penampilan seni tutur Aceh berupa pembacaan hikayat Aceh. Sejatinya, bahasa Aceh bukan hanya sebagai bahasa percakapan, tetapi juga memiliki tradisi sastra lisan yang meluas dalam masyarakat Aceh. Jenis sastra lisan yang dikembangkan melalui media bahasa Aceh antara lain: Sindiran dan montera, hadih maja (peribahasa Aceh), puisi rakyat, ceritera, prosa rakyat, nyanyian rakyat (Depdikbud: 1984).

Padahal, kenyataan yang kita dapati saat ini adalah populasi para seniman tutur ini jumlahnya semakin sedikit dan semakin langka. Hanya sebagian saja yang masih aktif dan berperan mengabadikan seni tutur ini. Dengan kata lain, pemerintah sendiri tidak berupaya melestarikannya, justru lebih memilih menampilkan musik dangdut dan menghadirkan para artis ternama di panggung PKA VI ini.


Dibandingkan dengan ‘Piasan Seni' yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, justru penampilan seni tutur Aceh berupa pembacaan hikayat Aceh (ca'e) ada dipertunjukkan di sana. Walaupun dalam acara tersebut juga diselip dengan penampilan musik modern, dan kontemporer. Pertanyaan pun berkembang mengapa hal ini bisa terjadi dan pihak manakah yang salah? Menurut hemat penulis sendiri, yang paling bertanggung jawab dan berhak disalahkan adalah pihak penyelenggara yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh.


Kurangnya pengetahuan dan eksistensi Disbudpar dalam hal seni dan budaya Aceh adalah sebab musabab yang saat ini terjadi. Ketika seseorang yang tidak cukup pengetahuan dan malu bertanya maka dianya akan mementingkan ego diri sendiri dan kelompoknya. Jika kita berpikir secara logis, buat apa stand mobil murah itu ada di arena PKA; Apakah produk teknologi transportasi ini termasuk budaya Aceh? Untuk apa, kalau bukan untuk menghasilkan ‘Rupiah' dari penyewaan lapak? Sungguh miris hal ini terjadi.


Pengevaluasian dini, sudah sepatutnya dilakukan jauh-jauh sebelum penyelenggaran acara. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi seperti saat ini. Dua kabupaten di Aceh yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah juga tidak ikut serta dalam PKA VI. Layakkah disebut PKA VI ini berhasil secara menyeluruh?


Steril dari PKL
Ke depan kita mengharapkan pelaksanaan PKA tidak terkesan seperti "pekan komersial Aceh" yang dipenuhi dengan para pedagang kaki lima (PKL). Pihak penyelenggara acara harus mampu mensterilkan lokasi PKA dari PKL ini. Sehingga kenyamanan para pekunjung bisa tercipta.


Selain itu, Penataan tempat pakir harus menjadi prioritas utama sehingga tidak menimbulkan kemacetan. Peluasan pintu masuk utama ke Taman Ratu Safituddin pun menjadi hal yang sangat urgent sehingga tindak kejahatan berupa pelecehan terhadap perempuan bisa diminalkan. Pihak polisi syariat (WH) diharapkan ditempatkan di setiap pusat-pusat keramaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun