Mohon tunggu...
Rahmad Nuthihar
Rahmad Nuthihar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

ada untuk belajar, menghargai hidup

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Media Massa dan Penggunaan Bahasa

27 September 2013   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:20 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Menjamurnya media massa baik media cetak maupun media elektronik di Aceh saat ini telah menjadi  hitam di antara putih penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang diatur dalam Undang-Undang 24 Tahun  2009. Meskipun keterbukaan informasi dan pers adalah pilar ketiga bangsa Indonesia dan diharakapkan oleh semua pihak, tetapi hal ini justru merusak kaidah bahasa Indonesia, serta berdampak negatif  terhadap  kalangan akademisi. Seakan tak peduli kaidah bahasa, para jurnalis tersebut terus menyajikan berita yang kadang kala penulisannya tidak benar sama sekali.

Penggunaan bahasa indonesia sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (a) bahasa negara (b) bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, (c) bahasa resmi perhubungan  pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan, (d) bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi moden (Halim, 1976 : 145).

Keteraturan berbahasa adalah cerminan pribadi yang teratur. Begitulah kata-kata bijak yang acap diucapkan para linguis. Perlu dicermati bahwa kesalahan penulisan bahasa Indonesia dalam media massa di Aceh ini berujung pada empat hal kesalahan. Pertama, salah diksi. Kata salah ini sendiri diantonimkan dengan 'betul' yang pada prinsipnya apa yang dilakukannya itu tidak betul, serta tidak menurut norma dan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi kemungkinan penulis tersebut khilaf. Jika kesalahan ini dikaitkan dengan penggunaan kata, maka penulis tersebut pastinya belum tahu kata yang tepat untuk dipakai.

Kedua, penyimpangan yang dapat diartikan penyimpangan dari norma yang ditetapkan. Wartawan terkadang dalam menulis berita mengabaikan, enggan serta tidak mau menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana semestinya. Dan sebenarnya wartawan ini telah mengetahui norma yang sebenarnya, tetapi dia memakai norma lain yang dianggap lebih sesuai dengan konsepnya atau dalam istilah bahasa Aceh meukire, artinya mencomot yang orang lain pernah tulis. Hal ini sendiri cenderung ke pembentukan kata, istilah, slang, jargon dan prokem.

Ketiga, pelanggaran. Hal ini memang cenderung bersifat negatif. Umumnya si wartawan dengan penuh kesadaran tidak mau mengikuti norma yang telah ditentukan, sekalipun ia mengetahui bahwa yang telah ia lakukan berakibat tidak baik. Terkadang dalam penulisan berita sering kali berujung pada ketidakmampuan pembaca menangkap pesan yang dituliskan oleh wartawan. Dengan kata lain dikatakan, wartawan atau penulis tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat.

Keempat, kekhilafan yang  merupakan proses psikologis wartawan dalam menuliskan berita,  hal ini menandai seorang khilaf menerapkan teori atau norma yang memang benar-benar diketahuinya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kurang telitinya saat menulis pat ranup hana mirah, pat peunerah hana bajoe. Kesalahan ini sendiri di luar dari keinginan si wartawan ataupun redaktur yang betugas. Biasanya redaktur  telah mempercayakan penuh akan kemampuan wartawan tersebut dalam menulis berita, sehingga tidak perlu dikoreksi lagi.

Ke depan diharapkan kepada pengelola media massa tersebut tidak sembarang mempublikasikan berita tetapi harus jeli mengoreksi penulisan bahasanya kembali dengan mengutamakan kaidah bahasa Indonesia. Disamping itu, pembekalan tetang pengetahuan bahasa kepada jurnalis sangat perlu dilakukan. Hal itu mengingat selama ini selain adanya fenomena interferensi bahasa daerah ke bahasa Indonesia juga masih banyaknya ditemukan kesalahan baik leksikal maupun gramatikal.

Melirik media-media ternama, mereka memiliki redaktur bahasa yang tugasnya mengoreksi kesalahan dalam penulisan tersebut. Barangkali ada baiknya para pengelola atau pemilik media juga memiliki redaktur bahasa. Kondisi di Aceh hal itu dapat dilakukan misalnya dengan "memanfaatkan" keberadaan para sarjana basahasa yang menurut hemat penulis mereka pasti bersedia membantu pekerjaan tersebut. Tentu saja para sarjana yang berkompeten, khususnya di bidang bahasa. Profesi sebagai jurnalis adalah pekerjaan yang mulia karena memberikan informasi kepada khalayak ramai. Oleh karena itu, gunakanlah bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan kaidah bahasa yang ada. Jika menggunakan bahasa Indonesia, gunakan secara baik dan benar.(*)

Oleh Rahmad Nuthihar

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun