Bahasa Indonesia itu bahasa kuper, kalau mau ke luar negeri maka harus bisa bahasa lain selain bahasa Indonesia. Itu yang dikatakan beberapa orang. Kata-kata tersebut lumayan berpengaruh pada saya yang notabene belum pernah sama sekali keluar dari negeri kelahiran saya. Namun, semua itu berubah saat saya memutuskan nekat pergi ke tanah Arab meskipun tanpa ketrampilan bahasa Arab sekalipun.
Yah, memang waktu saya pergi ke Arab bukan untuk jadi pegawai, tetapi untuk ibadah umroh. Tapi ya biar bagaimana juga kalau pergi ke suatu negeri maka kuasai bahasa negeri tersebut, yah minimal setidaknya harus bisa bahasa Inggris --yang katanya disebut sebagai bahasa Internasional--. Namun dengan bekal kemampuan bahasa Inggris yang biasa-biasa saja saya memberanikan diri untuk pertama kalinya melangkahkan kaki ke negeri orang.
Namun setelah sampai di Bandara di Madinah, nyatanya bahasa Inggris saya tidak terlalu banyak berguna, petugas imigrasi yang menyebar stempel di bandara ternyata banyak yang tidak bisa bahasa Inggris, akhirnya ketika ada pertanyaan yang dilontarkannya dalam bahasa Arab, saya menjawabnya dengan bahasa Indonesia plus sedikit bantuan bahasa isyarat. Dan ajaib, komunikasi antar bahasa itu berjalan tanpa ada rasa kikuk.
Mungkin aneh, begitulah awalnya saya kira. Namun setelah masuk kota Madinah dan Mekah, akhirnya saya menyadari bahwa bahasa Indonesia jauh lebih populer dibandingkan bahasa Inggris. Para pedagang, pegawai hotel, sampai petugas masjid rata-rata lebih 'fasih' berbahasa Indonesia dibandingkan Inggris. Saya selalu teringat seruan para askar Masjid Nabawi Yang dengan lantang berkata "Ibu! Ibu! Maju", saat meminta para jamaah berwajah Asia melayu (tak peduli Malaysia atau Indonesia) agar memenuhi shaf depan yang masih lowong, atau seruan "Ibu! Ibu! Periksa" ketika memasuki pintu gerbang masjid yang artinya setiap orang harus berhenti dan antri untuk diperiksa isi tasnya satu demi satu). Yang paling berguna bagi saya, adalah ketika selesei shalat shubuh, para jamaah yang ingin masuk ke Raudah (yang terkenal sebagai salah satu tempat diijabahi doa) dikumpulkan sesuai rumpun bahasa untuk kemudian diarahkan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat berada di Raudah. Hal itu untuk mencegah para jamaah melakukan bid'ah dalam ibadah, dimana semua nasehat dan ceramah para askar diucapkan dalam bahasa Indonesia yang fasih sehingga mudah untuk dipahami.
Cerita lucunya, saat membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang, saya bertanya pada pedagang kaki lima tentang harga barang dagangannya. Saya katakan padanya, "Kam hada?" yang artinya 'berapa ini?', kalimat itupun merupakan salah satu beberapa patah kalimat yang saya pelajari sebelum berangkat umroh. Namun bukan jawaban bahasa arab yang saya dapat, pedagang intu memandang saya sebentar lalu berkata, "Indonesia?" yang saya jawab dengan anggukan, kemudian dengan sumringah pedangang itu berkata, "lima real, indonesia lima real saja". Saya melongo, tau gitu saya tidak perlu repot-repot bertanya dalam bahasa arab kikuk.
Itu adalah pengalaman saya membeli barang pertama kalinya di Arab, pada pembelian berikutnya, baik itu beli nasi kebuli di emperan, atau kebab di restoran, atau coklat-coklat di mall, hampir saya selalu menanyakan dengan kalimat bahasa Indonesia, 'berapa harganya?', yang kemudian langsung mendapat jawaban jelas pula dalam bahasa Indonesia yang sama.
Namun bukan hanya terkait bahasa saja Indonesia berjaya di negeri minyak itu. Dalam hal transaksi jual beli, mata uang Indonesia adalah salah satu lembaran familiar di tanah Arab. Pernah suatu ketika saat membeli makanan di sebuah restoran saya kehabisan lembaran uang real saya, lalu saya menyodorkan lembaran dolar amerika yang sengaja saya bawa untuk jaga-jaga. Namun petugas kasir menolak uang dolar saya. Saya jadi bingung, trus saya harus bagaimana, sementara letak mesin ATM terletak di suatu tempat antah berantah yang tidak saya tahu sama sekali. Kemudian petugas itu bertanya pada saya, "Indonesia?" saya mengangguk, "Rupiah, bayar rupiah saja". Lagi-lagi saya melongo... Lho, ternyata bisa tho beli pake uang rupiah?.
Tahu begitu saya seharusnya tak perlu repot-repot menukarkan uang di money changers sebelum berangkat umroh. Bahkan di pedagang emperan pun pernah saya iseng-iseng membeli barang dengan mata uang rupiah. Dan ternyata memang laku. Pedagang Arab lebih menerima uang rupiah dibandingkan dolar Amerika, apalagi dolar Hongkong atau Euro, bisa jadi akan ditolak mentah-mentah oleh para pedagang.
Tentunya bahasa dan uang Indonesia lebih familier di kalangan masyarakat Arab bukanlah tanpa sebab, karena setiap tahunnya, jumlah jamaah baik haji maupun umroh asal Indonesia selalu mendominasi pemandangan tanah Arab, tentu saja yang tidak terlupa adalah banyaknya tenaga kerja Indonesia yang meskipun berkali-kali didera berita penyiksaaan oleh majikan Arab, tetap saja tak menyusutkan angka statistik tenaga kerja Indonesia yang berhijrah ke Arab demi mengumpulkan lembaran-lembaran real.
Meskipun Indonesia terkenal dengan banyaknya kasus pejabat korup, hukum belum ditegakkan secara adil dan merata, kemiskinan yang tak kunjung habis, juga drama terorisme yang terus tayang berulang sambung menyambung bak sinetron, setidaknya saya boleh berbangga menjadi orang Indonesia. Meskipun terkadang masyarakatnya sendiri malu-malu berbahasa ibu pertiwi, sehingga dalam setiap percakapan tak lupa menyisipkan kata dalam bahasa Inggris agar tampak intelek dan keren, namun rasanya cukup melegakan saat melihat kenyataan bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa paling populer setelah bahasa Arab dalam denyut masyarakat negeri para nabi. Siapa sangka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI