Mohon tunggu...
Basyar Dikuraisyin
Basyar Dikuraisyin Mohon Tunggu... -

Sederhana tapi kaya prinsip. Pendiam tapi kreatif. Sekali melangkah tergapailah prestasi. Barangkali terlalu sombong untuk diberitahukan, aku juga tidak menyadari hal itu. Tapi begitulah kata teman-teman, hehehe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Akhir Nasional

17 Desember 2010   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

KELULUSAN UAN, FAKTOR KEBETULAN?

Essai Basyar Dikuraisyin*

Ajang hidup-mati UAN baru saja selesai dihelat. Tinggal menunggu hasilnya. Apakah jumlah kelulusan yang akan jebol lebih tinggi atau sebaliknya. Yang terpenting, melihat catatan sebelumnya, tingkat kelulusan lebih dominan.

Hingga mengokohkan asumsi, bahwa pendidikan telah sukses. Tergagaslah untuk terus menaikkan standarisasi nilai. Dari tiga tahun mutakhir, nilai UAN beranjak dari 5.00,5.25 dan sekarang 5.5. entah tiga atau lima tahun kedepan menjadi 7.5% seperti di Jepang. Pastinya, angka telah menjelma menjadi ukuran kemampuan siswa dalam mengenyam ilmu, rangkaian soal hasil keputusan bersama dewan legislatif pendidikan dengan embel-embel nasional-pun menjadi syarat terjaminnya masuk diperguruan tinggi.

Selain syarat agar melangkah kejenjang yang lebih tinggi, harga diri juga dipertaruhkan. Lihat sebagian trik siswa untuk memperoleh predikat lulus; mendatangi dukun, minta petunjuk para pemuka agama, bahkan paling ironis mareka rela menjual kehormatannya. Mengingat UAN tidak pandai bulu, pintar atau bodoh, semuanya bisa terjadi. Maka bukanmengevaluasi pelajaran, tapi telah merambah pada dunia mistis. Jelasnya, disamping menorehkan kelulusan, memperjuangkan harga diri dilakoni.

Layaknya caleg yang gagal menduduki kursi legislatif; stres, sakit kritis hingga meninggal. Mental seperti siswa sekolah akan lebih terpukul. Tak terbayang di hari pelulusan nanti, dengan standar nilai yang lumayan tinggi, kemungkinan mempersempit celah untuk lulus.

Sisi lain, menuntut lembaga pendidikan yang bertugas menaungi siswanya dari hasil buruk, ‘terpaksa’ melakukan cara apapun. Tak terkecuali memberikan bantuan jawaban. Sebab kegagalan siswa, mencoreng nama guru dan sekolah.. Sangat konkrit alasan guru; pelaksanaan ujian ini hanya legal-formal bukan aspek substansi, maka sudah kewajiban siswa untuk lulus.

Memang jika ditelusuri, UAN hanyalah produk nasional yang mencoba menyeragamkan. Dengan menghilangkan analisa kebijakan otonomi pendidikan. Hasil pendidikan dikerangkeng dalam penjara kecil ‘Ujian Nasional’. Padahal berjuta siswa dengan perangkat kelebihan beragam, dipaksa melewati batu sandungan yang diletakkan dirukun sahnya pendidikan.

Dibalik Simbol Nasional

Sangat nyata, orientasi pendidikan yang memperjuangkan harkat manusia dari belenggu kebodohan, salah kaprah dalam realitas. Mengejar angka dan memperoleh nilai standar ujian, merubah segalanya. Kamampuan berfikir anak didik dibikin frustasi oleh soal-soal yang menurut pembuat soal, merupakan alat untuk mengukur sejauh mana kepandaian anak didik. Belum lagi dengan materi yang diujikan, jauh dari nilai komprehensif-orisiniel. Melainkan bersifat main-main. Karena dari sekian banyak materi, hanya enam. Padahal system evaluasi melingkupi segala aspek materi.

Pendidikan ‘ada’ tidak hanya sekadar menghafal rumus atau transfer ilmu pengetahuan. memang penting, tapi bukan yang utama. Yang terpenting adalah agar anak bangsa lebih merdeka dalam menentukan pilihan, lebih berani dalam bersikap jujur, lebih kreatif-inovatif dan memiliki solidaritas yang tinggi.

Mutu pendidikan bukan ditentukan oleh ujian nasional, melainkan paradigma pendidikan. Selama ini banyak praktisi, akademisi pendidikan kerap menjadikan prestasi, sebagai barometer keberhasilan. Padahal secara substansial, tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji, seperti, korupsi dan manipulasi anggaran.

Lembaga sekolahpun terseret kealam fakir kerontang "menyelamatkan muka" mengejar angka-angka ambius tanpa memiliki waktu untuk menanamkan nilai-nilai. Setting tempat dan waktu tersusun sistematis. Agar pengewas lengah dan tidak mendapatkan ‘bantuan sunyi’. Semuanya terangkai dengan rapi dan disiplin.

Menunggu Unsur “Kebetulan”

Saat ini hingga pengumuman kelulusan, menjadi momen waktu transisi menegangkan. Perjalanan selama tiga tahun akan ditentukan. Bukan rendahnya nilai yang ditakutkan, tapi lulus saja sudah beruntung. Seperti kemarin, anak pintar yang berpredikat tauladan tidak lulus, sementara yang dikenal bodoh mendapat nilai tertinggi. Bukankah ini bukan kebenaran sejati dari hasil pendidikan, melainkan hanya spekulasi kebetulan.

Keberhasilan yang diukur dengan angka telah melahirkan mintal kerupuk, sudah terbayang bagaimana histerisnya anak yang tidak lulus kendati berbagai olimpiade berhasil diraih. Dilain sisi, rona kebahagian bagi yang lulus nampak bahagia, sekalipun kering keilmuan. Karena system ujian adalah bersifat kebetulan. Serta yang merasa biasa-biasa, tidak ada kebahagian dan kehawatiran, karena tanpa diumumkanpun telah diyakini kelulusannya, terkait dengan bantuan internal institusi sekolah.

Tak bisa disanggah, produk symbol akan menghasilkan orang berkarakter symbol. Berangkat dari benih yang ditanam adalah kuantitas maka pastinya akan menghasilkan output yang kering korontang terhadap esensial. Seperti itulah kiranya disertasi yang layak disandang bagi pendidikan kita, diretas dari substansial oleh praktisi pendidikan dulu, sekarang diubah menjadi bentuk pendidikan yang sentralistik, berbau administrasi.

Tak pelak, birokrasi pendidikan yang mengecambah terus menalar pada visi pendidikan. Pendidikan telah dijadikan sarana untuk mencari hidup dunia yang ujung-ujungnya adalah uang. Kesuksesan dinilai teraih jika mendapat perkerjaan yang menjamin kehidupan yang layak. Meledaknya pendaftar di PNS menjadi bukti tak terbantahkan. Imbasnya, jangan heran jebolan universitas unggulan yang kemudian menjabat sebagai dewan dipemerintahan, banyak yang korup. Hasil didikan sekolah negeri, tak terhitung yang sering membuat ulah dikancah legislatif. Sementara didikan swasta terutama di pesantren menjadi penyeimbang atas segala timbulnya persoalan. Hingga Negara sampai saat ini masih utuh, walau statis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun