Mohon tunggu...
Basyar Dikuraisyin
Basyar Dikuraisyin Mohon Tunggu... -

Sederhana tapi kaya prinsip. Pendiam tapi kreatif. Sekali melangkah tergapailah prestasi. Barangkali terlalu sombong untuk diberitahukan, aku juga tidak menyadari hal itu. Tapi begitulah kata teman-teman, hehehe

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hukum Indonesia Menanti Reformis

31 Januari 2011   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:01 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Barangkali virus-virus positivisme dalam ilmu filsafat sudah merasuk pada hukum Indonesia meliputi perangkat dan sistemnya. Pengertian hukum adalah undang-undang, dalam pemikiran tersebut, jauh dari keadilan. Sebab yang menjadi acuan dalam peradilan bukan bagaimana mencari keadilan, melainkan teks undang-undang yang kaku.

Melihat pada sumber lahirnya hukum Indonesia, yang terjalin atas 3 'rahim'; pertama, Sistem Hukum Barat, merupakan warisan penjajah kolonial Belanda. Mengandung maestream individualisme. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata. Kedua, Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadian suatu bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan. Ketiga, Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Dari catatan sejarah, gagal menempati posisi sebagai pedoman Negara.

Ketiga sumber itu, nampak tumpang tindih dan simpang siur dalam pengaruhnya. Mengakibatkan acara peradilan stagnan dan terkesan berpihak pada satu arah. Warisan belanda sejak tahun 1918-sekarang, yang disesuaikan dengan pola budaya saat itu, berimplikasi cukup parah, karena imparsial dengan budaya kita. Sedangkan hukum adat, jika tidak dikerangkeng dengan hukum nasional akan melahirkan main hakim sendiri. Yang terakhir, hukum islam bukan sebuah system hukum tapi agama.

Sebagai imbas percikan pola tersebut, rakyat kembali menelan pil pahit atas sandiwara peradilan yang tidak humanis. Peradilan tidak lagi berazaskan principil of equality. Tapi, sudah menjadi milik mereka yang berkuasa yakni "mafia hukum".

Fakta menunjukkan aparat penegak hukum tidak sejalan dengan pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Mafia peradilan melibatkan para penegak hukum mulai dari pengacara, aparat kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan. Sekarang ini banyak dikenal makelar kasus (markus) yang memiliki hubungan dengan para pejabat di instansi penegakan hukum.

Melihat fakta ini, terlihat 'ada' yang bermain di belakang layar dengan kekuatan yang sistematis dan terorganisir yakni "mafioso peradilan" betul-betul telah mengecambah hingga membabat habis sistem peradilan di negeri ini.

Pantas jika jargon-jargon bermunculan, misal "peradilan kelabu", "mafia peradilan". Setelah banyak julukan yang menyakitkan menorehkan nama Indonesia menduduki peringkat paling tinggi sebagai negara yang banyak memiliki kasus korupsi. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, pernah menjuluki Indonesia sebagai "the envelope country", karena segala hal bisa dibeli, termasuk hukum. Yang bersalah bisa bebas dan yang benar bisa dihukum.

Betapa urgen peradilan. Karena menyangkut harga diri dan kebenaran. Maka tidak sepatutnya menjadikan undang-undang sebagai landasan berpijak. Karena sudah jelas undang-undang kita tidak secara totalitas produk sendiri. Namun melibatkan konstruk sosil masyarakat perlu dipriotaskan. Yaitu peradila yang bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara.

Berkaca pada problem hukum yang tak kunjung usai. Dan sepi dari nilai keadilan. 2010 tahun yang akan kita jalani. Membutuhkan reformis atau "pahlawan baru". Sanggup mengubah hukum dari segala aspek. Mengkuliti performance segala lini, yaitu; system, perangkat dan kultur masyarakat. Dan pahlawan itu, bisa muncul dari mana saja, seperti presiden, DPR atau bahkan dari rakyat.

Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan Civitas LAPMI SINERGIA HMI Cabang Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun