Kadangkala akan timbul permasalahan ketika kita sulit membedakan mana itu sebuah buruk sangka atau saatnya kita waspada terhadap suatu hal. Su’udzon atau buruk sangka adalah sifat dimana seseorang memiliki fikiran negatif terhadap orang lain atau terhadap suatu hal. Husnudzon atau baik sangka merupakan sifat seseorang yang memiliki pikiran positif kepada orang lain atau terhadap suatu hal. Kedua sifat yang saling berlawanan itu sangat tipis adanya ketika kita dihadapkan pada permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada suudzon, ada husnudzon, ada Fadli Dzon, ketua DPP Partai Gerindra. Hehe gak nyambung ya..... Berikut ini akan saya sajikan sebuah studi kasus yang mungkin dapat menjadi bahan rujukan untuk berfikir.
Studi Kasus 1.
Teman saya sebut saja Budi bekerja di sebuah perusahaan kemitraan ayam sebagai seorang Petugas Penyuluh Lapang (PPL). Pekerjaannya adalah menjalin komunikasi dengan peternak dimana fungsi manajemen yang meliputi ; pemeliharaan, kontrol, dan hasil dibebankan kepadanya. Peternak adalah mitra kerja dari perusahaan Budi bekerja. Budi memiliki sifat selalu berbaik sangka kepada siapapun. Dia tidak pernah memiliki pikiran negatif. Kepada peternak dia selalu menanamkan positif thinking. Namun karakter masing-masing individu manusia itu tidaklah sama, pasti ada sifat baik dan buruk. Sifat baik dan buruk tersebut juga sangat tergantung kepada sebuah kondisi dan keadaan. Dimana ketika seseorang mengalami kesulitan keuangan misalnya, mungkin orang yang semula jujur menjadi jahat. Lebih tepatnya adalah satire Bang Napi : “Kejahatan bukan hanya adanya niat, tetapi juga adanya kesempatan. Waspadalah... waspadalah...... Demikian juga peternaknya Budi, ada yang baik, ada juga yang suka “membegal”.
Sifat baik yang dimiliki Budi memang membuat banyak peternaknya menjadi sungkan dan malu jika melakukan hal-hal yang kurang baik. Namun ada juga beberapa peternak yang memang memilliki karakter dasar sebagai “perampok”. Mereka pintar memanipulasi data terutama dengan permainan pakan dan “pembanalan” ayam. Dengan ataupun tanpa sepengetahuan Budi, mereka melakukan praktek kerja kotor tersebut. Akibatnya ketika praktek kotor berlangsung dan ketahuan sehingga peternak tidak lagi dipercaya oleh perusahaan dan diberhentikan pola kerjasamanya maka terjadilah penumpukan pakan bermasalah. Pakan fiktif tersebut menumpuk jumlahnya hingga puluhan bahkan ratusan sak sehingga Budi bertanggungjawab terhadap masalah tersebut. Sebagai konsekuensinya, Budi harus kerja keras menagih pakan kepada peternak tersebut.
Budi sebenarnya sama sekali tidak memiliki buruk sangka dan selalu berfikiran positif. Akan tetapi dia tidak memiliki sifat waspada. Sifat waspada adalah bentuk kehati-hatian yang diperlukan agar senantiasa teliti dan hati-hati dalam mengambil setiap keputusan.
Studi Kasus 2.
Teman saya yang lain sebut saja namanya Helmi, dia juga bekerja di perusahaan kemitraan ayam. Helmi ini memiliki sifat yang berbanding terbalik daripada sifat si Budi. Helmi selalu berburuk sangka kepada siapa saja dan memiliki pikiran yang selalu negatif. Peternak yang dia pegang juga selalu dicurigainya sehingga muncul rasa tidak senang kepada Helmi. Setiap kali mengunjungi peternak maka selalu saja ada hal-hal kecil yang dipermasalahkan. Saking tidak nyamannya maka peternak yang baik dan yang “nakal” sangat jengkel. Suatu waktu peternak baik yang dicurigai merasa risih dan didalam hatinya mengancam akan “balas dendam”. Maka ketika ada kesempatan, peternak yang baik tersebut pada akhirnya menjadi “nakal” juga akibat terlalu dicurigai. Apalagi peternak yang memang sudah memiliki karakter “maling” pasti juga melakukan aksi pencurian dengan angka yang lebih besar tentunya. Walhasil pakan dan ayam pun “dibanal”nya. Helmi juga bertanggungjawab penuh terhadap aksi perampokan yang dilakukan peternak tersebut.
Sifat negatif thinking dan buruk sangka yang dilakukan Helmi membuat orang menjadi tidak senang. Sifat terlalu hati-hati tersebut juga menyebabkan Helmi kesulitan dalam pengembangan usaha perusahaan. Setiap mencari peternak baru dia pasti akan berfikir seribu kali karena pikiran negatifnya. Di dalam hatinya selalu muncul “jangan-jangan calon peternak itu nakal”. Maka perusahaan pun kesulitan mencari mitra baru.
Sifat terlalu hati-hati dan waspada yang ditunjukkan Helmi yang berdampak terhadap buruk sangka menyebabkan dia tidak disukai oleh kebanyakan orang. Bahkan sikap buruk sangka tersebut mengakibatkan kerugian yang lebih besar pada perusahaan Helmi.
Lha trus aku kudu piye?????
Pertanyaan yang muncul adalah sebaiknya kita berbaik sangka atau berburuk sangka? Nah, jawaban dari pertanyaan ini tentu saja kita wajib berprasangka baik terhadap siapapun. Namun harus diimbangi dengan sifat waspada dan kehati-hatian. Memang susah dalam menempatkan diri pada posisi seimbang ini. Bahkan mungkin seseorang yang kenyang pengalaman pun masih kesulitan menempatkan diri di posisi tengah-tengah. Melenceng sedikit saja berarti buruk sangka. Kendali masing-masing individulah yang akan mampu menempatkan posisi seimbang.
Berbaik sangka adalah sifat mulia, sedangkan berburuk sangka adalah sifat durjana. Berbaik sangka yang dibarengi pikiran positif tidak boleh meninggalkan kehati-hatian. Sedangkan berhati-hati dan waspada tidak boleh menimbulkan sikap buruk sangka dan pikiran negatif. Anda bisa? Silahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga masih belajar dan ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dilakukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI