[caption id="attachment_308847" align="aligncenter" width="404" caption="Acara tujuh bulanan (foto afrisal)"][/caption] Kejadian ini sebenarnya telah berlalu 5 bulan yang lalu namun baru sekarang terpikir untuk menulis setidaknya berbagi informasi tentang budaya yang mulai di tinggalkan atau mulai jarang di lakukan. Tradisi tujuh bulanan yang di lakukan di pedalaman Kalimantan Barat sudah sejak lama mulai di tinggalkan. Memang sudah di sepakati bersama keluarga besar bahwa pada saat umur 7 bulan kehamilan akan di lakukan tradisi 7 bulanan, sebagai seorang pendatang yang mulai menetap di pedalaman Kalimantan Barat maka saya menurut saja tradisi yang ada. Tepat 7 bulan saya di telpon untuk pulang dari tempat kerja untuk melaksanakan tradisi 7 bulanan dengan melewati jalan dengan motor sejauh 310 km dari Kabupaten Ketapang menuju kecamatan Manis Mata yang merupakan bagian wilayah Kabupaten Ketapang yang ditempuh dengan 7 jam perjalanan, memang sebenarnya bisa di tempuh dengan cepat jika jalannya baik namun karena jalan jelek dan harus melewati sungai untuk menyeberang sehingga harus di lewati selama 7 jam. Setelah sampai dirumah keesokkan harinya di mulai tradisi pada pagi harinya karena siang harinya saya harus pulang lagi ke tempat kerja. Saya dan istri hanya memakai sarung seperti gambar di atas dan saya di suruh menggendong kelapa yang bertunas menuju ketempat penyiraman/dimandikan dengan air 7 kembang yang telah disiapkan setelah itu kami sampai di suruh duduk berdua kemudian di tutupi dengan kain kuning selanjutnya di mandikan dengan air menggunakan daun pelepah pinang. Setelah di mandikan kami di suruh meminum air doa selamat yang telah di lakukan sebelum acara kemudian istri saya di suruh meminum air dari perasan rambutnya yang harus di telan selanjutnya di letakkan 1 telur ayam kampung yang harus kami pijak secara bersama sampai pecah. Tibalah saatnya para sesepuh atau orang tua yang memandu tradisi ini untuk memecahkan kelapa tua tepat di atas kepala kami berdua secara tiba-tiba kelapa tersebut jatuh di depan kami dengan posisi terlentang tiba-tiba sesepuh tersebut berteriak ' anaknya perempuan karena kelapaya terlentang' dan jika tertutup maka prediksinya laki-laki, saya yang masih kedinginan karena disiram air hanya bisa berkata dalam hati " kok benarnya prediksi sesepuh ini karena sebelum kehamilan istri saya telah saya lakukan pemeriksaan USG telah saya ketahui jenis kelaminnya perempuan tanpa memberitahu pada pihak keluarga". Setelah mandi 7 bulan selesai maka secara bergantian istri saya yang mengangkat kelapa untuk naik ke atas rumah, kemudian di rumah telah di siapkan oleh ustad untuk di bacakan doa selamat dengan mengundang orang kampung baik yang muslim maupun non muslim. Menurut pengakuan sang sesepuh kampung tradisi ini telah lama tidak dilakukan menurut pengakuannya terakhir lima tahun yang lalu. Banyak maksud yang tersirat dari tradisi ini seperti mengendong kelapa harapannya agar anak kami dapat berguna untuk masyarakat, agama, dan negara. Karena semua bagian kelapa berguna atau dapat dimanfaatkan dan mengendong kelapa secara bergantian bermakna setiap suami istri mempunyai peran masing-masing dimana tugas hak dan kewajiban harus di taati. Memecahkan telur secara bersama bermakna jika ada masalah dalam keluarga harus di selesaikan secara bersama-sama dan meminum air dari aliran rambut yang disiramkan harapannya agar kelahiran lancar seperti derasnya air jatuh dari untaian rambut. Biasanya peliputan tradisi yang ada di pedalaman Kalimantan Barat yang saya lakukan "aktor utamanya" adalah orang lain namun kali ini saya dan istri yang menjalani tradisi ini. Terlepas dari semua kronologis acara yang pasti saya menganggap ini wujud rasa syukur kepada ALLAH SWT bahwa sampai umur kehamilan 7 bulan masih di beri kesehatan dan keselamatan serta juga sebagai wujud berbagi kebahagiaan pada masyarakat kampung. salam planter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H