Sosok paruh baya yang begitu luar biasa hadir dalam kehidupan saya terlahir di sebuah kota di daerah Jawa Timur, 45 tahun yang lalu. Anak ke-empat dari lima bersaudara yang telah begitu hebatnya menginspirasi hidup saya ini adalah seorang wanita biasa yang sudah mulai terlihat tua. Rambutnya pun sudah tak bisa dikatakan hitam sempurna (terkombinasi uban-uban), wajahnya yang dulu segar kini mulai menyusut seiring bertambahnya usia, bahkan gigi-giginya yang dulu kokoh itu sekarang mulai tanggal karena termakan zaman. Terlihat bahwa berat sekali beban hidup yang harus Ia lalui, nampak tergambar jelas diraut wajahnya. Tubuhnya tak terlalu tambun atau kurus sangat nyaman untuk dipeluk, kulinya juga bersih, kuning langsat, khas wanita Jawa.
Ia adalah sosok yang begitu hangat dan ceria, hingga teman-temanku tak segan menyapanya dengan sebutan “ Tante Win” memang terkesan agak lucu, tapi Ia selalu tersenyum bahkan terlihat senang dengan sebutan itu.
Satu hal yang paling melekat dan selalu teringat dalam diri saya ketika Ia berkata “ Hidup ini adalah titipan, jalani apa adanya dan teruslah bersyukur”. Ya.. itulah kata-kata pamungkas yang begitu Ia pegang teguh dalam menjalani kehidupanya. Bersyukur dan selalu bersyukur. Ia adalah sosok istri yang tak banyak menuntut pula, baginya apapun yang ada sudah dirasa cukup bahkan sangat cukup. Tak pernah kudengar Ia mengiba meminta sesuatu pada suaminya.
Setiap adzan subuh mulai mengalun dengan indahnya, kesibukanya adalah membuyarkan mimpi-mimpi indah kami dan menyuruh kami untuk bergegas berwudhu dan sholat. Jika aku malas bangun, tak segan-segan Ia mengulurkan jari-jarinya dan beraksi diarea perut ini, hingga menimbulkan kontraksi luar biasa. Aku tertawa sambil terbangun, sedikit kujulurkan lidah ini sebagai simbol bahwa aku berhasil mempermainkanya.
Aku jadi mengingat sebuah kenangan yang kulalui bersamanya, kenangan yang membuatku makin yakin bahwa aku tak kan mampu hidup tanpa campur tangan nya. Saat itu aku divonis dokter mengalami radang usus buntu dan harus segera dioperasi. Lima hari empat malam yang kelam kulalui didalam sebuah kamar berukuran 3x4 meter tanpa hiburan, ditemani makanan aneh, sebuah selang infus dan itu sungguh menyiksa. Ia menemaniku 24 jam, membimbingku jika aku ingin ke kamar kecil, membersihkanku dengan kain basah (sebagai pengganti mandi yang tak mungkin aku lakukan karena jahitan yang masih belum kering), menyuapiku jika aku lapar, menceritakan banyak hal yang terjadi di luar sana jika aku mulai bosan, dan kurasa perawat professional pun kalah hebat darinya. Lima hari empat malam itu tak pernah aku lupakan, selama itu Ia merawatku dengan begitu sabar dan tak kenal lelah, entah dengan apa aku bisa mengganti semua perjuanganya.
Bagiku Ia adalah sebuah lentera yang tek pernah padam menerangi hidupku, sosoknya menjadi inspirasi nyata agar aku lebih mantap mengarungi buasnya kehidupan.Tak pernah aku bayangkan jika suatu saat nanti aku harus mengarungi masa depanku tanpa kehadiranya, mungkin bagaikan raga tanpa tulang yang menyongkongya.
Hanya ucapan terimakasih yang dapat aku persembahkan untuk mu yang telah ada dan begitu tulus menyayangiku, you’re my everything for me. I Love You my Hero, dialah IBU ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H