Mohon tunggu...
Gilang Parahita
Gilang Parahita Mohon Tunggu... Dosen - Hai! Saya menulis di sini sebagai hobi. Cek karya-karya saya!

Feminis, romantis, humoris.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Bukan Nama Istri di Belakang Nama Suami?

20 Februari 2014   00:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KITA mengenal nama Ani Yudhoyono, Tien Soeharto, Ainun Habibie, Herawati Boediono, Khofifah Indar Parawansa. Tidak mungkin membaliknya menjadi Susilo Bambang Herawati, misalnya. Apakah penyematan nama belakang suami itu hanyalah sekadar branding bagi istri-istri pejabat, politsi perempuan, atau adalah persoalan yang lebih kultural di baliknya?

Sejak semula saya melihat plang petunjuk tempat praktek ibu saya beberapa tahun lalu, saya protes dalam hati. Plang itu berbunyi nama Ibu saya lalu diikuti singkatan nama tengah dan nama belakang utuh suaminya (Ayah saya). Padahal, menurut saya nama Ibu lebih modis daripada nama Ayah yang ke-Jawa-jawa-an. Lalu saya perhatikan pula nama-nama teman perempuan di Facebook yang sudah menikah. Sebagian menggunakan nama-nama suami di belakang nama asilnya. Mereka yang mengunakan nama belakang suami itu tidak selalu ke-Barat-barat-an, banyak yang muslimah kaffah.

Saya sendiri tidak pernah berfikir apalagi bercita-cita menjadi Gilang Cruise meski menikah dengan Tom Cruise sekalipun. Alasannya sederhana: lha itu kan bukan budaya kita. “Budaya kita” yang mana memang? Nah, di sinilah sulitnya karena Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa. Tetapi dalam konteks saya, “budaya kita” itu adalah budaya Jawa. Dalam budaya Jawa, pengubahan nama lebih dikenal karena terjadinya akil balik, atau kedudukan sosial meningkat misalnya Raden Mas Jatmika menjadi Sunan Agung Anyakrakusumo, atau karena sakit misalnya dari Prihatin menjadi Sandra Dewi, (atau ada faktor lain yang belum saya ketahui?). Dan juga, yang paling nyata adalah tidak dikenal sistem nama keluarga  atau kemargaan (surname) dalam budaya Jawa.

“Budaya kita” yang lain terbentuk dari nilai-nilai Islam. Istri-istri Muhammad selalu bernama belakang (binti) Ayah, bukan Muhammad. Binti Ayah menunjukkan istri adalah darah keturunan Ayah. Menjadi istri seseorang tidak lantas memutus tali petunjuk kesedarahan (nasab) dengan Ayah. Toh menggunakan nama familial dari Ayah tidak lantas menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap suami. Jadi, ketika para feminis Barat banyak yang mengkritisi penggunaan nama belakang suami bagi perempuan-perempuan yang menikah, Islam telah lama menyadari lebih pentingnya menunjukkan nasab daripada nama belakang suami.

Mengganti nama belakang istri dengan nama familial suami adalah budaya Barat. Di negara-negara Uni Eropa, transfer nama belakang istri menjadi nama familial suami adalah praktek yang umum, ada yang disertai dengan aturan legal, ada yang hanya kultural, namun beberapa tahun belakangan kecenderungan untuk memilih tetap menggunakan nama asli atau menggabungkan nama familial Ayah dan suami cenderung meningkat tahun ke tahun (baca di sini).

Kalau begitu, di Indonesia mengapa banyak istri pejabat dan politisi perempuan, maupun perempuan-perempuan kebanyakan lainnya yang menggunakan nama suaminya sebagai surname? Justru ketika praktek itu hanyalah informal (tidak disahkan secara hukum dan tidak ada aturan hukum yang mengharuskan transfer nama sebagaimana di negara-negara Barat), penggunaan nama suami itu perlu dipertanyakan. Apakah karena ingin dikenal juga sebagaimana suaminya dikenal? Apakah karena bangga dengan suami? Apakah karena sekarang suami “telah memiliki” hak penuh atas istri?  Atau tiadanya identitas diri lain selain menjadi istri seseorang? Atau derajat dan martabat suami lebih tinggi daripada istri? Esprit d’corps keluarga?Atau apa? Apa pun alasannya, jika hal itu berlaku konsisten, suami berganti, tentunya nama belakang istri itu turut berganti. Oh, betapa perempuan menjadi tidak punya stabilitas identitas diri.

Saya bukan sok feminis. Saya juga bukannya tidak sentimentil dengan keluarga batih. Tetapi, alangkah lebih adilnya jika istri dapat selalu ajeg menggunakan nama pribadinya pada berbagai kesempatan, entah pada hasil karyanya, maupun nama akunnya di Facebook. Sebab, saya melihat adanya kemandirian identitas dan kepercayaan diri pada perempuan-perempuan yang menggunakan namanya sendiri di berbagai kesempatan tanpa dia harus menjadi seorang feminis. Seperti yang pernah ditulis oleh Jill (baca di sini), “mungkin tidak pernah ada kajian serius dalam hal penggunaan nama familial suami di belakang nama istri namun nama diri yang temporer pada diri seorang perempuan mengindikasikan perempuan itu tergantung pada sesuatu di luar dirinya, meski tak selalu seperti itu”.

Jika penggunaan nama suami di belakang istri hanya karena istri SANGAT MEMUJA suaminya, saya kepingin juga melihat B.J. Habibie yang memuja istrinya memakai nama: B.J. Besari. Tukeran nama, gitu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun