Mohon tunggu...
Gilang Parahita
Gilang Parahita Mohon Tunggu... Dosen - Hai! Saya menulis di sini sebagai hobi. Cek karya-karya saya!

Feminis, romantis, humoris.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

'Bule Hunter' dan Watak Kolonial

10 Maret 2014   03:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang menggunakan kata 'open-minded' sudah hampir pasti liberal. Pikirannya bebas, perilakunya bebas. Bisa dibaca saya mau bilang apa dengan kata 'bebas' itu. Dan pria-pria asing yang pergi jauh dari negaranya apalagi menetap untuk beberapa lama, sudah pasti mereka 'open-minded'. Mereka tidak mempersoalkan perempuan-perempuan yang dikencaninya dulu-dulu pernah ngapain aja, seakan-akan perempuan-perempuan itu lahir manakala bertemu dengan pria-pria asing itu. Tentu hal itu bikin perempuan mana pun klepek-klepek.

Stereotip 'open-mindedness' itu jika diteruskan akan begini hasilnya: cewek yang jalan sama cowok bule berarti sudah 'ngapa-ngapain'. Jadi, cewek Indonesia yang mau pacaran sama cowok bule berarti mau 'ngapa-ngapain'. Padahaaal, kalau mau 'ngapa-ngapain', sama cowok lokal juga bisa. Secara teknis, malah LEBIH bisa. Lihat saja, bayi-bayi yang dibuang karena tidak diinginkan juga jarang yang keturunan asing, melainkan lokal semua.

Jadi, sebetulnya saya menulis ini mau bilang setuju atau tidak setuju dengan 'bule hunter'? Kenapa nada-nadanya nyinyir, tetapi juga membela?

Saya sebetulnya bermaksud untuk mengatakan bahwa pada zaman globalisasi dan demokrasi ini, cinta bisa jatuh ke siapa pun, mau rasa lokal atau asing. Alih-alih menjadikan stereotip dan inferioritas menjadi alasan untuk mencintai sosok-sosok dari ras berbeda, semestinya biarlah cinta itu yang bicara. Selain itu, watak orang Indonesia juga masih mendua terhadap hubungan-hubungan beda ras. Satu sisi dianggap menambah gengsi si cewek dan perbedaan yang ada (seperti beda agam) lebih bisa diterima, sisi lain si cewek dianggap melewati batas norma susila.

Jika posisinya dibalik: yang asing adalah ceweknya, yang lokal adalah cowoknya gimana dong?

Saya tidak bisa menggeneralisasikan. Namun tadi malam saya mendapat cerita dari seorang kenalan perempuan dari Jerman. Rupanya ia pernah berpacaran dengan orang Indonesia. Baru putus dari kekasihnya tiga minggu lalu setelah 1,5 tahun pacaran. Kok, lama juga pacaran?

"Ya, karena kami cuma pacaran online," kata Dania terbahak. "Saya tidak bisa terima kata 'No' dari laki-laki. Setelah kami sering bertemu, dia banyak bilang 'No'. Aduh. Aku dibesarkan oleh ibu tunggal, saudaraku juga perempuan. Selama ini kami hanya bertiga, perempuan semua. No man."

Mungkin mantan Dania itu juga tidak tahu bahwa Jerman adalah salah satu negara yang praktek kesetaraannya cukup maju di Eropa. Andaikan ia tahu. :)

***


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun