DULU sekali, ketika saya masih kuliah S1, saya memiliki seorang teman laki-laki yang sampai sekarang kami masih berhubungan baik. Ia warga Perancis yang saat itu sedang melakukan riset geografi di Jawa Timur, terkait dengan lumpur Lapindo. Saya sempat mampir ke kampus saya untuk urusan kecil yang singkat bersama teman saya itu. Setelah itu saya pergi mengantarnya ke suatu tempat yang terkait dengan risetnya.
Berminggu-minggu sesudahnya, saya digosipin sebagai 'bule hunter'. Dasarnya sederhana saja: punya temen cowok bule. What? Rupanya beberapa teman melihat saya di kampus dengan teman Perancis itu. Lantas, mengikuti stereotip 'cewek sawo matang jalan sama cowok bule', saya dibilang 'bule hunter.' Saya tidak tahu dari mana istilah itu berasal namun konotasinya negatif: cewek lokal yang ngejar-ngejar cowok bule, apa pun motivasinya. Tetapi ada kesan dari istilah itu posisi sosial si cewek lebih inferior daripada si bule.
Mungkin saja, entah di mana, memang ada cewek-cewek Indonesia yang sengaja mencari pria asing untuk dijadikan kekasih dan kalau bisa suami. Jadi, seperti ada kesengajaan untuk jatuh cinta pada golongan ras kulit putih. Segala macam cara ditempuh untuk dapat mendapatkan calon-calon buruan. Mulai dari menjadi tour guide, counterpart pada student exchange, ke pub, bekerja di perusahaan asing, online dating, wisata ke tujuan-tujuan populer bagi pria asing, dan sebagainya.
Mengapa sampai ada kelompok perempuan yang secara sengaja mencari pasangan pria asing? Saya menduga ada beberapa alasan untuk itu, meski sebagian besar alasan itu lebih banyak didasarkan pada stereotip yang berkembang.
1) Warisan watak korban penjajahan
Warisan watak kolonial bahwa orang kulit putih lebih baik tidak hanya di diri perempuan 'bule hunter' itu, tetapi juga pada masyarakat Indonesia. Contoh riilnya begini. Pernikahan beda agama antara orang Indonesia sulit diterima bagi keluarga kedua belah pihak. Akan tetapi, pernikahan beda agama antara orang Indonesia dengan orang Perancis lebih bisa diterima oleh orang Indonesia. Hal itu pernah saya ketahui sendiri. Jadi, seakan-akan menikah dengan pria asing apa pun agamanya -atau tidak beragama sekalipun- seakan lebih bisa diterima keluarga Indonesia karena kulitnya mampu mengangkat derajat keluarga itu.
2) Pria asing menerima kesetaraan gender
Pria kulit putih KONON lebih menerima ide bahwa perempuan adalah partner dalam berumahtangga, bukan pembantu. Ketimbang dengan pria lokal yang umumnya masih membayangkan perempuan lebih banyak berperan di domestik, pria kulit putih KONON lebih bersedia mengambil pekerjaan domestik. Wanita-wanita berkarir maju di dalam maupun luar negeri saya kira lebih bisa mengantisipasi agar 'konon' itu menjadi kenyataan.
Konon-konon saya kapitalkan karena memang belum tentu prakteknya seperti itu. Banyak juga yang saya lihat pria asing tertarik dengan perempuan Indonesia yang masih konservatif pemikirannya dalam berumahtangga. Stereotip pria kulit putih dan wanita Indonesia yang simpang siur itu malah bisa berakhir pada semakin kuatnya posisi masing-masing gender pada peran-peran tradisional.
3) Open-mindedness 'tingkat dewa'?
Open-minded bisa berkonotasi positif. Dalam hal ini saya gunakan konotasi yang cenderung negatif.