Adalah salah jika pasar ritel modern dianggap memberi kontribusi pada penurunan kemiskinan. Menurut pendukung berdirinya pasar ritel modern, pasar ritel modern akan menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran. Padahal, berdirinya pasar ritel modern di suatu wilayah justru mematikan peluang banyak orang menjadi pedagang maupun menurunnya omset pedagang di pasar tradisional (menurut sebuah riset yang pernah dilakukan oleh seorang kawan) sehingga pasar ritel modern justru meningkatkan kemiskinan. Keuntungan yang didapat oleh pasar ritel modern dimiliki individual (pemilik), bukan karyawan. Sementara, keuntungan di pasar tradisional didapatkan oleh para pedagang kios sehingga terjadilah distribusi pendapatan yang lebih tersebar. Belum lagi jika kita melihat kuli angkut di pasar tradisional yang laiknya kereta dorong di mall bisa mendapatkan rezeki.
Dan, kuliner-kuliner yang makcus banyak ditemukan di pasar tradisional ketimbang di pasar modern.
Semestinya pemerintah melindungi keberadaan pasar tradisional dan menegakkan peraturan. Peraturan tidak hanya ditegakkan jika berhadapan dengan pedagang pasar, melainkan juga pengelola. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan kepala pasar tradisional berpeluang menjadikan penjabatnya kaya. Pengelola pasar laiknya manajemen mall atau pasar ritel modern, namun keberadaan pengelola pasar tradisional seakan hanya sebagai 'preman' penarik uang sewa belaka namun tidak memenuhi hak-hak pedagang.
Sekali-kali, janganlah kita berkata para pedagang sulit diatur, melainkan: duh, pengelola pasarnya nakal. Kue basah kok dibakar...kalaupun kue basah dibakar....harusnya tidak segede itu apinya, kecuali kalau kue basah itu disiram bensin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H