Oleh Pancajihadi Al Panji, S.Pd
Silang sengketa ex NV. Maatschappij tot Exploitatie der Tegalworoelanden cukup menarik untuk diulas, selain ada nurani yang tercabik ada juga sisi manusia mengekspose keserakahannya. Bila kita memperhatikan perkembnagan persengketaan ini memang cukup menarik tidak hanya ada yang unjuk gigi dengan menutup jalan tol, perang opini, mobilisasi masa sampai sampai yang terakhir mengerahan personel kepolisian dalam jumlah besar plus preman-preman bayaran dan mungkin ini paling besar dalam sejarah eksekusi setelah Indonesia merdeka.
Silang sengkata tanah ini tidak hanya sekarang, Ini pernah pernah terjadi sekitar tahun 1906 pemegang hak konsesi NV. Maatschappij tot Exploitatie der Tegalworoelanden yaitu warga keturunan Goan Soen Hin bersengketa dengan Tan Tek Hiem yang kemudian dimenangkan dan dikuasai oleh Tan Tek Hiem sampai tahun 1949. Kalau toh sekarang ada persengketaan ini merupakan pengulangan sejarah. Sebagaimana yang tercatat dalam dokumen yang disimpan di
Lembaga Koninklijk Instituut Voor Taal di Leiden Belanda. Dalam sejarah Karawang pun tercatat banyak pejabat tinggi Karawang masuk hotel prodeo gara-gara tanah ini.
Menurut buku STATISTIEK betreffende de bevolking van Nedeilandscb-Indië over 1894. Handelingen der bahwa NV. Maatschappij tot Exploitatie der Tegalworoelanden memiliki hak konsesi seluas 55.173 Hektar ,yang terbentang sepanjang sungai Tjitarum mulai dari wilayah Sumedangan dan Tjiampel. Tanah ini tersisa 350 hektar yang menjadi silang sengketa kemudian mencuat sampai level nasional, banyak yang bersimpati dan berempati sampai-sampai buruhpun ikut solidaritas mendukung penolakan eksekusi, namun sayang eksekusi berjalan dengan mulus karena tidak adanya perlawanan yang berarti. Padahal sebuah media meramalkan akan terjadi Mesuji ke dua padahal katanya ada 1200 petani akan terancam dan katanya lagi akan resistensi dari para petani menentang eksekusi tersebut. Namun gerakan-gerakan ini lebih didominasi oleh para pengadvokasi sebut saja LSM dan Ormas. Apakah ini betul petani yang diadvokasi atau ada kekuatan-kekatan lain yang yang mengatasnamakan petani. Penulis curiga jangan-jangan ini permainan kotor para spekulan tanah yang sengaja menjual nama petani agar tujuannya bisa tercapai.
Bila kita amati gugatan yang berujung PK, Merupakan gugatan Amandus Juang dan Minda Suryana yang mewakili 49 petani yang luas tanahnya bila digabungkan hanya 74 hektar. Sementara petani petani yang lain tidak menggugat ke pengadilan. dan 74 hektar ini diduga sudah dimiliki dan dikuasai oleh Konglomerat Karawang Amen Corporation. Bahkan menurut mantan petinggi SEPETAK bahwa yang diadvokasinya hanya 10 hektar karena menurutnya pemilik tanah tersebut tidak pernah menjual ke siapapun dan menuntut sertifikat. Yang anehnya dalam pergerakanya malah yang menonjol para aktivis yang menurut beberapa sumber dibayar oleh Amen Corporation.
Opini kita memang ter bentuk baik bentukan Podmoro maupun Amen Corporation seolah olah yang bertikai adalah para petani dengan Agung Podomoro Land. Memang ini perbuatan yang tidak patut cenderung menghalalkan cara sampai sampai menjual nama petani. Kita mungkin lupa bahwa di Desa Mulyasejati Ciampel pun ada kasus tanah yang sama ex NV. Maatschappij tot Exploitatie der Tegalworoelanden seluas 1500 hektar yang dicaplok pemerintah dan kemudian disewakan ke pengusaha Korea namun kasus Mulyasejati ini tidak sehebat di tiga desa yang ada di Teluk Jambe ini. kemungkinan yang di Ciampel tidak ada konglomerat yang memiliki kepentingan dan tidak ada LSM atau Ormas yang menutup jalan tol.
Yang lucunya lagi, mantan bupati Karawang Dadang S Muchtar dalam di akun facebooknya berjanji akan terus memperjuangkan petani-petani yang didzolimi, Kemana dia selama menjabat bupati? bukanya dia banyak diuntungkan dengan bekas tanah tegalwaroe landen ini atau jangan jangan ia hanya membela kepentingan Amen Corporation yang merupakan kolega terdekatnya.
Kita memang maklum Bupati Ade Swara lemah baik itu dari gaya dan kualitas kepemimpinanya dan kita mesti Ingat sekelas militer Sumarno Suradi, Ahmad Dadang dan bahkan Dadang Subandi Muchtarpun tidak becus menyelesaikan masalah ini. Kalau merasa lemah sebaiknya bupati membust task force yang berasal dari muspida dan elemen masyarakat yang bertugas mengawasi dan memediasi pasca eksekuasi
Keputusan pengadilan sudah inkracht,terlepas putusan itu hasil sogokan atau tidak, Kita harus menuntut Agung Podomoro Land jangan besar kepala sebaiknya duduk satu meja dengan yang petani sesungguhnya dengan menawarkan solusi yang terbaik terlebih pernah berjanji saat eksekusi dibacakan bahwa APL tidak akan menggusur pemukiman warga dan akan menghibahkannya. Ini harus betul betul dilaksanakan dan meminta APL agar menghargai warga yang sudah memiliki sertifikat yang sah di tanah tersebut. .
Malu rasanya kita hidup berbangsa dan bernegara kalau kita memperebutkan kebenaran hanya memakai kaca mata uang. Eksekusi dengan pasukan yang begitu besar nampak tidak berjalanya inteligen atau ini hanya show of force kepada konglomerat lain. LSM dan Ormas seharusnya betul betul berjuang tanpa harus menunggu sang pemesan .Masih banyak tugas tugas yang perlu kita kerjakan agar karawang lebih baik.
Penulis adalah seorang Pendidik dan sekjen LSM Kompak Reformasi Karawang
Hp.081210329342