Mohon tunggu...
Eko Joko Susanto
Eko Joko Susanto Mohon Tunggu... -

Tenaga Pengkaji

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Salahkah Mereka Berunjuk Rasa?

3 April 2012   01:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salahkah Mereka Berunjuk Rasa?

Unjuk rasa. Inilah salah satu hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat lapisan bawah untuk menyampaikan aspirasi nya. Apakah hal semacam ini dilarang? Tentu tidak, karena itu adalah bentuk koreksi yang dilakukan rakyat kepada penguasa atas setiap kebijakan yang diambil nya. Bahkan dalam UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi pun mengatur tentang hal itu, yaitu di pasal 28 tentang kebebasan mengemukakan pendapat. Lalu apakah cara mengemukakan pendapat seperti iu efektif? Apakah ada kata sepakat atas semua permasalahan yang terjadi?

Berunjuk rasa tidaklah salah asalkan disampaikan dengan cara yang benar. Fakta yang terjadi di lapangan adalah unjuk rasa umumnya disertai dengan bentrok antara para pengunjuk rasa dengan petugas keamanan yang bertugas mengamankan proses tersebut. Pantaskah bentrokan terjadi antara sesama rakyat yang saling menginginkan kebijakan yang memihak mereka? Lalu siapa atau sistem seperti apa yang salah di negeri ini?

Eksekutif, legislatif, dan Yudikatif

Seorang pejabat tentu nya telah mengetahui apa peranan dan kewenangan yang dimilikinya. Pihak eksekutif sebagai pimpinan tertinggi dalam menjalankan pemerintahan, tentu mengetahui mana kebijakan yang terbaik untuk rakyatnya. Setiap kebijakan yang dimabil tidak mungkin dapat mengakomodasi kepentinagn ratusan juta penduduk di negeri ini secara keseluruhan. Ia hanya berharap bisa menciptakan formulasi kebijakan yang memihak rakyat banyak sebagai kelompok mayoritas, bukan berarti menomorduakan golongan minoritas. Sebaliknya, kekuasaan legislatif disamping berwenang menyusun rancangan undang-undang untuk kepentingan rakyat, juga harus menjadi wakil bagi rakyat. Seorang wakil rakyat sudah pasti wajib menjadi penyalur aspirasi bagi setiap kehendak rakyatnya.

Sudah dapat diprediksi apa jadinya jika fungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat ini tidak maksimal. Tentu rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya tidak percaya lagi dengan wakil nya yang seharusnya menjadi sarana untuk penyaluran keinginannya yang duduk di lembaga legislatif. Rakyat akan lebih memilih untuk menyalurkan aspirasinya secara langsung dengan turun ke jalan-jalan. Inilah cikal bakal adanya unjuk rasa. Selama ini, pihak yang selalu dipojokkan dengan adanya unjuk rasa adalah pemerintah, dalam artian kekuasaan eksekutif, sebagai bentuk ketidakpuasan atas kebijakan yang diambilnya. Pihak legislatif umumnya lebih "aman". Padahal jika diperhatikan, unjuk rasa merupakan bentuk kurang berfungsinya wakil rakyat secara sempurna. Sebagai wakil rakyat, kekuasaan legislatif bisa saja mempertemukan antara rakyat dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk mencari titik temu. Pihak yudikatif sebagai pengadilan tertinggi tidak hanya berperan memutuskan kebijakan yang diambil pemerintah apakah sesuai undang-undang atau belum, tetapi juga layak melakukan penilaian dari sisi keadilan. Jika ketiga fungsi ini telah melaksanakan peranannya dengan baik, dipastikan tidak ada lagi masyarakat yang turun ke jalan.

Unjuk rasa seperti apa?

Tidak jarang kita jumpai para pengunjuk rasa menyandera kendaraan operasional milik pemerintah. Sepertinya mereka anti dengan kendaraan berplat merah. Padahal kendaraan operasional semacam itu tidak lah mengerti apa-apa, tidak ada kaitanya sama sekali dengan pengambilan kebijakan. Berbagai dampak yang terjadi akibat adanya unjuk rasa, tidak satu pun dampak yang memiliki arti positif. Kemacetan lalu lintas, kelumpuhan aktivitas para pengunjuk rasa, belum lagi jika unjuk rasa disampaikan dengan cara yang kurang baik, sangat dimungkinkan timbul korban. Bahkan unjuk rasa yang terjadi dewasa ini sering kali disertai dengan hujatan dan makian kepada pejabat pemerintah yang terkait langsung dengan pengambilan kebijakan. Jika pejabat yang dimaki tidak terima, bisa terjadi tuntutan hukum yang berakibat panjang. Tentu hal ini bukan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah. Padahal masalah utama belum dicapai kata sepakat, karena memang jarang ada diskusi dalam mencari solusi. Memang sangatlah sulit untuk mengkritik suatu sistem yang besar dan telah tersusun dengan sedemikian rapinya.

Apalagi umumnya jika seseorang telah bersatu dalam kerumunan masa, logika pribadi akan sedikit berperan, yang kebanyakan dipakai dan mendominasi adalah logika kelompok tersebut. Hal ini menyebabkan diskusi mengenai kehendak rakyat menjadi tidak terstruktur. Penyampaian aspirasi cenderung hanya mengedepankan emosi. Tentunya warga sekitar lah yang kena getahnya. Seperti unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM misalnya. Tidak jarang mobil operasional milik pertamina disandera oleh para pengunjuk rasa. Padahal mereka hanyalah eksekutor atas kebijakan pemerintah yang tidak tau apa-apa. Pada akhirnya proses penyampaian aspirasi lewat unjuk rasa pun tidak akan membawa hasil sesuai apa yang diharapkan.

Unjuk rasa sebaiknya hanya dilakukan sebagai upaya terakhir setelah semua jalan permufakatan tidak mencapai kata sepakat. Umumnya para pengunjuk rasa hanya sekadar menyampaikan apa yang ia inginkan, tanpa menyampaikan alternatif solusi atas permasalahan yang terjadi. Seandainya para pengunjuk rasa menyertakan alternatif solusi, tentu belum dilakukan pengkajian yang mendalam, guna menilai apakah usulan tersebut layak diterapkan ataukah tidak. Hal ini dapat dimengerti karena kelengkapan sumber data atas kebijakan yang diambil sepenuhnya berada di tangan pemerintah.

Mungkinkah ada cara penyaluran aspirasi selain dengan berunjuk rasa? Saya rasa ada. Jika masyarakat tidak puas atas kebijakan yang diambil pemerintah, dapat disalurkan apa sebenarnya kehendak rakyat melalui perantara modern, sepeti media elektronik, media cetak, jejaring social, dan masih banyak lagi. Mungkin ini salah satu cara yang tidak perlu turun ke jalan sehingga merugikan pihak lain yang sebenarnya tidak terlibat. Cara kritikan seperti ini sebenarnya cenderung lebih efektif, karena pejabat yang bersangkutan akan memungkinkan membaca setiap apa saja yang disampaikan masyarakat. Kritikan pun dapat disampaikan kapan saja, baik di waktu luang maupun sambil bekerja, sehingga tidak akan menggangu aktivitas utama orang yang bersangkutan maupun masyarakat lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun