Mohon tunggu...
Rifai Asyhari
Rifai Asyhari Mohon Tunggu... -

Mahasiswa salah satu kampus negeri di kota Jogja. Kopi hitam berampas. otakwedus.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melawan Itu Baik

22 Juni 2014   19:20 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:49 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saat masih duduk di bangku sekolah, bapak ibu guru kita banyak menjelaskan ajaran moral tentang mulianya sikap patuh atau nurut. Sebaliknya, mereka tidak mengindahkan sikap membangkang dan melawan. “jadi anak yang patuh yaa nak, jangan suka bandel (melawan).” Kata ibu guru.

Sayangnya, kita yang dulu masih lugu tidak banyak menanyakan mengapa. Hanya mengiyakan, manut dan perlaahan tertanam dalam kesadaran. Hingga hari ini, kita tidak sempat menanyakan kejelasan sikap itu, dan ternyata ajaran manut jelas masih terngiang di kepala. Tak ada pertanyaan lebih tentang alasan logis mengenai sikap yang konon dianggap mulia. Yang kita tahu, penurut akan sukses. Ya, kita diajarkan sikap tanpa landasan mendasar dan pemetaan terperinci.

Kisah-kisah usang disampaikan untuk menguatkan tidak baiknya melawan. Sebut saja kisah Maling Kundang si anak durhaka yang dikutuk menjadi batu sebagai simbol representasi buruknya sikap melawan. Saya setuju dengan yang satu ini. Namun di sisi lain, jarang sekali dikisahkan perjuangan merebut kemerdekaan dalam konteks melawan. Sejarah hanya dibagi sebatas dongeng masa lalu tanpa pesan moral.

Model ajaran seperti ini terkesan menggenalisir setiap perkara. Pokoknya manut apapun keadaanya. Padahal, dalam kehidupan ada banyak hal yang dengan sikap manut tidak boleh dilakukan. Seperti halnya keadaan bangsa kita saat ini. Korupsi, pencurian kekayaan negara oleh asing, gaji buruh yang rendah dan peraturan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat tidak bisa didiamkan dengan manut. Manut yang katanya baik dalam hal ini menjadi tindakan buruk. Karena denganya terhadap kondisi semacam ini berarti mendiamkanya terus berlarut-larut.

Maka sebaliknya, sikap membangkang dan melawan perlu kiranya dijadikan ajaran moral, dalam konteks tertentu pastinya. Dalam konteks penindasan, pengambil alihan hak dan kecurangan.

Bagaimana memulainya, dengan mengajarkan apa itu hak dan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang harus didapatkan dan kewajiban adalah sebaliknya. Negara mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak, dan kita juga tahu kalau tidak membayar maka kita didenda, mungkin juga dipenjara. Sebaliknya, sebagai rakyat kita punya hak mendapatkan kehidupan yang layak. Kalau saja ternyata negara belum memberikanya, maka kita punya hak menuntutnya, menuntut sesuatu yang harusnya kita dapatkan. Dalam konteks ini, manut adalah tindakan konyol.

Melihat kondisi bangsa yang seperti ini saya kira revolusi ajaran moral perlu segera dilakukan. Baik oleh lembaga pendidikan fromal maupun non formal, pendidikan dalam rumah misalnya. Jika anak-anak selalu diajarkan nurut tanpa pertanyaan berarti sejatinya telah membunuh eksistensinya yang mengada sebagai manusia karena berfikir.

Mungkin orang tua atau guru-guru terlalu sering mengatakan “udah nurut aja gak usah kebanyakan nanya.” Dan cepat marah tatkala anak terlalu banyak bertanya. Parahnya lagi anak-anak sering ditipu dengan mitos-mitos irrasional, “hayooo nanti dikutuk kayak maling kundang,” terhadap semua konteks kehidupan.

Terlebih melihat sejarah feodalisme yang lama langgeng di bumi nusantara. Dulunya, orang meganggap segala hal adalah takdir Tuhan hingga orang bersikap pasif terhadap dunia. Seperti adanya raja dan rakyat. Menjadi raja dimaknai seperti nabi, utusan tuhan yang telah digariskan yang kemudian membuatnya pasrah menjadi rakyat jelata, meski kelaparan dan miskin. Kiranya itulah yang menjadi kegelisahan Tan Malaka hingga mengarang buku Madilog atau Tjokroaminoto dengan strategi Djawa Dipa.

Mental lama itu yang menciptakan kemandekan. Mental abdi dan budak dalam bentuknya yang halus. Manut memasrahkan kehidupan dalam keberuntungan dan berharap bejo sampai perubahan datang dengan sendirinya. Kalau begitu lebih baik tidur tak usah bekerja dan berharap tiba-tiba perut kenyang.

Kalau manut saja, dan kondisi tak kunjung baik berarti perlu melawan. Kalau orang miskin tidak punya pekerjaan apa masih mau hanya diam dan pasrah. Toh Gusti Allah juga pernah berfirman bahwa ia tak akan mengubah suatu kaum sampai kaum tersebut mau mengubahnya. Artinya tindakan manusia juga menentukan takdirnya.

Saya jadi teringat dengan kalimat Dom Helder camara, perintis teologi pembebasan Amerika Latin. Ia mengungkapkan bahwa “Dalam konteks penindasan, netral adalah sebuah pengkhianatan.”

Sudah tahu pejabat korupsi tapi diam saja tidak memberontak, tidak berusaha mendapatkan hak yang harusnya didapatkan. Apa bisa dibenarkan, saya rasa tidak. Motif program Indonesia Turun tangan Anies Baswedan juga dilahirkan dari kondisi semacam ini. Dimana masih banyak orang Indonsia yang baik dan potensial. Hanya saja diam tidak bertindak tak mencoba mengubah apapun.

Pada akhirnya, manut dan melawan akan menjadi tidak tepat kalau didikotomikan dalam baik dan buruk. Semuanya baik dalam konteks tertentu. Hanya saja, karena ajaran “nurut itu baik” sudah terlalu mainstream maka saya ingin berbagi konsepsi yang masih jarang diteriakkan bahwa “melawan itu baik.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun