Bagiku sebulan adalah sebuah penghabisan pertama dari sebuah bulan dalam tiap tahun. Ketika mendengar kata sebulan seperti keharusan berpuasa aku rasakan itu begitu lama apalagi jika berlibur dari aktifitas rutin dalam waktu yang seperti itu. Tak ada yang bisa dilakukan seutuhnya dalam waktu sebulan memang kecuali menunggu dan menunggu aktifitas seminggu yang akan dilakukan dalam jangka waktu tersebut.
Bagi orang yang sedang memadu kasih kata sebulan seperti diibaratkan fase pertama dari hubungan mereka dan seringkali dinyatakan bahwa fase ini adalah evaluasi yang terkadang tidak begitu menyenangkan.
Namun pada kenyataannya bagiku sebulan merupakan waktu yang teramat pendek jika ternyata yang menghadapinya adalah orang-orang yang sudah tak boleh berurusan dengan hidup. Dari kata itu kau mengerti kan maksudku?
Seperti biasa di sore yang dingin karena habis turun hujan dari tadi siang aku nikmati diriku di halaman belakang sambil meneguk secangkir teh hangat yang hanya sekedar menemani dan mengusir rasa dingin di seluruh tubuh. Rintikan air bekas hujan masih terlihat di mana dan itu nyata bagiku. Dalam waktu ini aku tak mau melihat televisi apalagi mendengar radio. Berita-berita yang mereka tawarkan terkadang absurd dan dibuat-buat.
Selain teh hangat ada juga handphone yang sengaja aku taruh di meja tempat bersandar mereka berdua. Aku harus menyertakan handphone karena bagaimanapun untuk saat ini dialah sumber informasi pertamaku. Handphone hitam itu terlihat begitu mengkilap terkena siraman lampu teras yang sudah aku nyalakan. Kali ini memang tak ada kabar muncul dari dia.
Bel rumah tiba-tiba berbunyi. Aku sesaat tersentak dan bertanya dalam hati siapa gerangan. Apa itu temanku, saudaraku atau yang lainnya. Lalu buat apa mereka di sore yang seperti ini ke sini. Datang tanpa ada pemberitahuan. Kuteguk teh hangat dan kutinggalkan dia bersama handphone hitam. Kutelusuri beberapa ruangan untuk mencapai ruang tamu dan lalu membuka pintu.
Betapa terkejutnya aku bahwa ternyata apa yang ada di hadapanku memang seorang temanku. Eva namanya.
“Hai, Gus, mengganggu ya?” tanyanya sambil menyebut nama panggilanku.
“O, nggak,” jawabku sedikit berpura-pura karena aku adalah orang yang sebal jika di dalam waktu sendiri diganggu, “Ayo, masuk,” kataku tanpa basa-basi lagi.
Ia masuk sambil melipat payung hijau-kuning yang tadi bersamanya lalu menaruhnya di tempat payung. Aku suruh dia duduk dan kemudian hendak bergegas dan ketika itu ia berkata,
“Jangan repot-repot, Gus,” katanya, “Gue cuma sebentar kok,”
“Lha, emangnya lo nggak kedinginan,” kataku,
“Udah, nggak usah,” ujarnya lagi mendesakku dan terpaksa aku turuti.
Aku lalu duduk di sampingnya. Melihat raut wajahnya yang terlihat pucat. Entah pucat karena sakit atau hal lain dan bajunya yang berwarna putih. Antara wajah dan baju itu kulihat menjadi bentuk persamaan yang menyatakan ia memang sedang tidak begitu ceria.
“Lo sakit?” tanyaku kemudian memulai pembicaraan.
“Nggak kok, Gus,” jawabnya.
“Tapi kenapa lo pucat?” tanyaku tambah penasaran.
“Oh, ini,” jawabnya sambil meraba mukanya, “Ini nggak apa-apa,”
Terlihat seperti ada yang disembunyikan,
“Mengapa sih lo harus berbohong?” tanyaku menyindirnya untuk memaksa ia berkata jujur.
Ia terdiam. Kuperhatikan wajah manisnya yang sawo matang mulus mendominasi gerak wajahnya. Wajahnya kemudian ditundukkan lalu berkata,
“Apa lo mau dengar apa yang gue katakan?”
Mendengar itu aku hanya menjawab,
“Kan lo ke sini pasti ada maksudnya kan. Masa iya gue cuma harus melihat pucatnya wajah lo,”
Kuakui aku jengkel juga dengan wanita yang pernah menjadi pacarku ini. Ketidakterusterangannya.
Ia tiba-tiba berbicara sambil merubah nadanya,
“Ya udah kalo gitu dengerin!”
Aku tentu saja terkejut.
“Gue dikit lagi mau mati!”
Aku tentu tambah terkejut lagi ketika ia bilang seperti itu. Kata-kata yang sungguh menakutkan.
“Lo kenapa sih?” tanyaku pelan.
Ia menjawab seperti tadi,
“Gue dikit lagi mau mati tau!”
Aku hanya terdiam mendengar ia berkata. Aku bingung mau apa. Kulihat ia terdiam, menangis lalu memelukkku.
“Gus, maafin gue yah selama ini,” ujarnya sambil menangis pelan.
“Lo sebenarnya kenapa sih?” tanyaku tambah bingung dan terkejut atas tindakannya.
“Gue mau mati, Gus,” katanya, “Gue divonis dokter bakal mati,”
“Apa?”
Ia lalu lepaskan pelukannya dan mulai bercerita. Kuperhatikan setiap kata dan raut wajahnya. Terlihat ada tanda-tanda tidak rela dalam kesedihan yang dibalut kepucatan tersebut. Kata-katanya begitu pelan bagiku dan ketika ia selesai bicara gantian aku yang memeluknya serta mencium dahinya. Baru aku ketahui bahwa ia terkena sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan karena belum ditemukan obatnya sama sekali. Penyakit itu ia derita selama setahun dan sejak saat itu ia sudah berobat kemana-mana bahkan ke dukun sekalipun. Namun memang hasilnya nihil. Karena dokter yang berulang kali dikunjunginya bingung akhirnya pasrah dan menyatakan bahwa hidupnya hanya tinggal sebulan.
“Apa menurut lo sebulan adalah waktu yang lama?” tanyanya kemudian.
“Bagi gue iya,” jawabku.
“Mengapa lo berkata seperti itu?” tanyanya malah heran dan sedikit geram.
“Ya…karena…,” belum sempat menjawab seutuhnya ia memotong.
“Dengar ya, Gus,” katanya, “Apa yang lo bilang itu salah. Bagi gue udah nggak ada kata lama lagi apalagi bagi orang yang sudah tidak akan berurusan dengan hidup lagi,”
“Maaf, kalo gue tadi menyinggung lo,” kataku berapologi.
Ia lalu kembali memelukku dan berkata,
“Gue cuma minta satu permintaan dari lo, Gus,”
“Apa?”
Ia berkata pelan,
“Setubuhi gue, Gus,”
Terang saja aku terkejut mendengar kata-kata itu.
“Maksud lo apa?” tanyaku, “Kalo lo mau mati seharusnya mendekatkan diri kepada-Nya,”
“Gue emang mau mendekatkan diri kepada-Nya,” jawabnya dan aku bingung.
“Jangan bingung, Gus,” katanya lagi yang sepertinya bisa membaca rautku, “Bersama dengan lo aja adalah mendekatkan diri kepada-Nya karena lo adalah makluk ciptaannya yang terindah,”
“Jangan melantur, Eva,” kataku tegas, “Gue nggak bakal melakukan hal itu,”
“Kenapa, Gus?” tanyanya sambil menajamkan matanya, “Lo tega? Lo nggak kasihan? Ternyata gue salah menilai lo, Gus!”
“Ma..,” aku hendak menjawab tetapi dia tiba-tiba beranjak dari hadapanku dengan perasaan marah,
“Eva, tunggu,” kataku mencegahnya. Kupegang tangannya tetapi ia berusaha melepaskan. Dan kemudian aku peluk dia dengan erat. Menciumi wangi tubuhnya yang begitu membius dan seketika itu aku berkata,
“Gue mau kok,”
Begitulah. Aku akhirnya menyetubuhi dia pada waktu itu juga di kamarku. Untuk kali pertama aku menikmati tubuhnya. Ia begitu senang ketika aku mau menuruti permintaannya. Dalam hati aku berkata apa yang aku lakukan adalah dosa. Akan tetapi Eva sepertinya bisa membaca pikiranku dalam keremangan itu dan berkata,
“Ini bukan dosa, Gus. Yang lo lakukan adalah pahala karena lo menyenangkan orang lain,”
Ciuman perpisahan menjadi tanda ia mengakhiri kunjungannya ke rumahku. Ia berkata lagi,
“Jika gue udah nggak ada cuma berharap nama gue tetap di hati lo. Jika lo punya anak perempuan tolong namai dia dengan nama gue,”
Aku hanya terdiam tak menjawab karena aku tak begitu yakin jika menjawab. Eva yang melihatku seperti memakluminya. Ia lalu pergi di antara siraman lampu jalanan yang terlihat berpendar cahayanya karena hujan tadi dan menghilang.
Lepas dari itu aku masih memikirkan tindakanku tadi bersama dia. Ia datang untuk meminta perhatianku dengan melakukan itu. Tetapi anehnya kenapa ia memintanya di saat ia sudah mau mendekati ajalnya? Setelah putus sama dia aku sudah jarang berhubungan dan sudah tidak mau tahu lagi tentangnya. Yang aku tahu setelah putus adalah dia bekerja di salah satu perusahaan. Pertanyaan itu terus menggelayut di pikiranku hingga aku tertidur.
Sebulan kemudian aku dapatkan kabar bahwa ucapannya menjadi kenyataan. Ia pun meninggal. Aku yang sedang berada di luar kota karena sebuahn urusan tentu saja terkejut dan tiba-tiba merasakan kesedihan. Aku menangis sesunggukan. Kusadari ia kini telah tiada. Tentu karena di luar kota aku tak sempat menghadiri pemakamannya dan baru bisa datang ke makamnya beberapa hari kemudian.
Kupandangi makam dengan kayu putih yang menjadi penanda di kepalanya. Di situ tertera tulisan nama, tanggal lahir, dan wafatnya. Tanah itu masih merah dan wangi karena ada taburan bunga di atasnya. Aku rasa tadi baru saja ada orang yang datang. Aku bertanya dalam hatiku apakah ia berbahagia atau sebaliknya. Semoga Tuhan mengampuni dosanya.
Angin bertiup kencang setelah itu dan aku merasa melihat sesosok wanita di depanku,
“Apa itu lo, Eva?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H