Mohon tunggu...
faaqih irfan djailani
faaqih irfan djailani Mohon Tunggu... -

Saya orang yang suka membaca dan menulis. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gerbong Tak Bertuan

2 Agustus 2010   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setiap hari, setiap jam, setiap detik, dan setiap menit, ia selalu berada di situ. Dipayungi sebuah tempat yang cukup melindungi dari terpaan sinar matahari atau rintikan dan derasnya hujan, ada kesetiaan yang kurasakan dari dirinya. Rel di dalam tempat bernama hangar itu sudah lama menjadi pijakannya.

Dari luar kuperhatikan bahwa dirinya seperti menyembul dari dalam kegelapan hanggar meskipun itu di siang hari. Tak ada seorang pun yang mau ke sana kecuali jika diperlukan. Misalnya para petugas keretaapi yang hendak memeriksa keadaan hanggar dan juga keretaapi beserta gerbong-gerbongnya. Namun, dia terkadang hanya dilewati saja. Dilihat sekilas tanpa diperhatikan dan sepertinya ada rasa hati-hati juga dari para petugas keretaapinya.

Jika malam tiba hanggar itu tetap gelap. Sebenarnya tidak gelap hanya saja lampu penerang yang terpasang di langit-langitnya tidaklah begitu terang seperti lampu-lampu kebanyakan. Jadi aku dapati suasananya sungguh remang-remang. Keadaan itu seperti itu terkadang dalam pandangan orang yang percaya akan mistis akan menilainya sebagai tempat yang mistis dan angker. Rasa itu malah diperkuat dengan sering adanya acara sesajen dan syuting acara-acara yang intinya hanya untuk menunjukkan mereka yang berada di luar dunia manusia berada.

Hal-hal seperti itu muncul karena adanya kepercayaan lisan yang turun-temurun. Konon katanya gerbong itu memang angker karena di dalamnya pernah terjadi banyak kejadian pahit. Ada yang bilang di dalam gerbong itu banyak manusia yang mati dipenggal. Ada juga yang bilang manusianya dibiarkan dalam keadaan kelaparan lalu tewas serta kabarnya lagi gerbong itu pernah menjadi tempat bunuh diri sepasang kekasih yang lari dari orangtuanya karena cintanya tak direstui.

Karena seperti itu maka sering saja ada yang mendengar suara-suara dan teriakan-teriakan minta ampun dan minta tolong. Bahkan katanya ada yang sempat melihat di tengah malam gerbong itu bergerak sendiri perlahan keluar dari hanggar.

Aku sejujurnya tidak begitu percaya dengan semua hal tersebut bahkan aku menilainya mengada-ngada. Kenapa? Ya karena sekarang zaman modern. Zaman yang penuh dengan rasionalitas. Jadi, semua harus mengandalkan akal dan pikiran. Untuk itulah semua-semua yang ada harus dicerna dengan dua unsur tersebut. Bagiku keadaan gerbong yang seperti itu bisa saja dikarenakan keadaan orang-orang yang sedang berhalusinasi atau berfatamorgana. Kalaupun pernah terjadi kejadian yang pahit tentulah seharusnya itu tidak terlalu dibesar-besarkan.

Aku sendiri percaya dengan keberadaan makluk dari luar dunia manusia. Mereka juga seperti manusia dan ada dimana-mana namun tak terlihat. Namun dengan cara seperti ini bukannya malah menambah rasa ge-er mereka karena mereka senang kehadirannya yang gaib dipuja-puja bak dewa dan Tuhan.

“Sebenarnya sih ini masalah percaya nggak percaya, Ran,” ujar temanku, Anto ketika aku dan dia sedang memandang gerbong itu dari kejauhan pada suatu hari sehabis pulang dari kampus, “Jujur gue sendiri malah mengalami kejadian aneh waktu di situ,”

“Apaan memangnya?” tanyaku heran tapi seakan-akan bisa menebak apa yang ingin ia jawab, “Teriakan-teriakan? Gitu? Gue yakin itu mah suara kucing,”

“Ah, ngaco lo!” ujar Anto, “Kucing lha suaranya kaya gitu. Udah tau kucing meong-meong,”

Aku pun tertawa,

“Becanda, cuy!” kataku, “Ya gue yakin itu suara binatang malam kaya burung hantu atau mungkin juga musang. Kan lo tahu di belakang hanggar itu ada kali,”

“Tapi suara binatang malam nggak kaya gitu lagi,” kata Anto, “Masa iya kaya suara manusia yang ajalnya mau habis,”

“Bisa aja lha,” kataku, “Udah banyak contohnya. Kaya suara ayam ketawa dikiranya itu setan sedang ketawa,”

“Ya kalo ayam ketawa mah gue tahu,” kata Anto, “Sekarang gue mau bilang aja gue pernah ngalamin kejadian aneh aja. Tetapi bukan pas di sana melainkan pas motret,”

“Apaan?” tanyaku lagi, “Ada penampakan?”

“Bukan. Foto gue masa nggak bisa kecetak. Kosong. Terus pas mau gue pindahin ke komputer. Nggak bisa. Ngadat,”

“Komputer lo banyak virus kali?”

“Lha kalo banyak virus mah itu sekarang udah pada hilang sama anti-virus gue,”

“Tapi bisa aja kan. Bukannya ada virus yang nggak bisa diberantas,”

“Itu pasti ada. Tapi kalo misal ini virus tentulah dampaknya tidak terlalu besar. Masih bisa ditangkal. Yang jelas gue heran aja kenapa ada yang menghambat prosesnya,”

Begitulah Anto. Ia sepertinya sudah terpengaruh oleh kepercayaan lisan para penduduk sekitar hanggar keretaapi mengenai kemistisan tentang gerbong yang sekarang diam dengan kesetiaannya di dalamnya. Bukan hanya Anto beberapa keluargaku seperti bapak dan adikku malah demikian. Bahkan adikku pernah ditemui sebuah sosok besar ketika ia sedang bermain petak umpet di dekat gerbong itu. Sejak saat itu ia tidak mau lagi main petak umpet.

Aku memang benar-benar masih heran kenapa juga harus ada hal-hal seperti ini. Sejujurnya aku memang pernah merasakan kejadian aneh dengan gerbong itu. Pada waktu itu aku sedang iseng-isengnya ingin menyendiri karena sedang merasa malas dengan keadaan di rumah. Kebetulan gerbong ini yang menjadi tujuanku. Maka pergilah aku ke hanggar dan kemudian duduk di dekatnya sambil memandang.

Jujur gerbong berwarna merah ini sangat anggun. Jumlah kacanya kira-kira 7 atau 8 di kiri dan kanan dan di bagian badan samping terdapat sebuah tulisan yang aku tidak mengerti bahasanya. Kalau kata temanku sih bahasa Belanda. Aku lalu berpikir kalau ini pasti gerbong buatan Belanda.

Aku merasa tenang dengan keadaan hanggar dan gerbong yang sepi. Seperti tidak ada yang mengangguku. Tetapi tiba-tiba saja aku merasa aneh. Beberapa kali ada yang mencolekku dan bahkan tertawa-tawa mengejek. Aku langsung bereaksi dengan berteriak,

“Woi, siapa di situ? Kalo lo memang jantan keluar! Jangan kaya banci deh!”

Suara itu malah setelahnya tidak ada lagi dan hilang ke seantero hanggar. Aku kemudian malah terus berada di situ sampai sore ketika aku merasa cukup untuk menyendiri. Esoknya aku ceritakan kejadian ini pada keluargaku. Kata mereka aku itu sedang diganggu penghuni gerbong. Tetapi aku tampik,

“Mana mungkin paling orang iseng. Buktinya dia nggak berani saat aku berteriak,”

“Bisa saja mereka takut kamu,” itu kata ibuku yang juga diamini oleh bapakku, “Kamu tahu kan kejadian adikmu ditemuin,”

“Iya, aku tahu,” jawabku, “Paling dia lagi kecapekan karena cari tempat ngumpet,”

“Kamu ini kalau dibilangi selalu saja tidak percaya”

Memang sekali lagi aku tidak percaya dengan semua hal yang berbau mistis. Bagiku hal tersebut malah membuat manusia menjadi malas untuk maju karena tergantung pada kekuatan di luar nalar. Lalu buat apa guna akal pikiran yang diciptakan Sang Pencipta? Tentu agar manusia itu maju bukan selama dalam koridor yang masih halal. Hal-hal seperti malah seperti menuntun ke arah yang musyrik. Padahal bapak-ibuku sudah pergi haji dan dua-duanya berpendidikan tinggi masih saja percaya dengan yang seperti itu. Meskipun aku pernah mengalami kejadian aneh di gerbong tak bertuan itu apakah harus aku ikut-ikutan percaya? Aku rasa tidak. Aku yakin dia hanya butuh perawatan untuk dibersihkan. Kalau sudah bersih tentu ia akan enak dilihat dan tidak kumuh meskipun ada keanggunan dalam kekumuhannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun