Siang ini cuaca sangat terasa menyengat. AC dan kipas angin pun tidak mampu mengusir gerahku dan nenek yang kujaga. Malah, bibir nenek tak henti-hentinya mengeluh. "Aduh, kok bisa panas begini sih?"
Aku yang duduk di sampingnya hanya mengumbar senyum tipis, memaklumi keadaannya. Meski aku sendiri juga merasa sangat kegerahan, tapi apa boleh buat. Ku nikmati saja keadaan di sini.
Daripada bengong, kuintip jendela. Mata ini melotot dengan tiba, "Wah, ada sawah. Subhanallah, indah sekali. Cuaca panas seperti ini, sawah itu tetap hijau. Terlihat sekali bahwa sawah itu tidak kekurangan air." Aku dibuat kagum oleh keindahan sawah itu.
Lain di pemandangan sawah yang kulihat di sebelah kanan. Jaraknya lebih dekat dengan posisiku. Tapi, kuperhatikan sawah itu kekeringan. Warna daun padi di sawah itu rada sedikit menguning. Kusimpulkan, mungkin sawah itu kekurangan air, atau kekurangan pupuk. Entahlah.
Setelah puas melongok jendela, aku kembali duduk di samping nenek. Tiba-tiba terbesit dalam otakku, keduanya sama, sawah. Menghasilkan benda yang sama pula, yaitu padi. Tapi kedua sawah itu tumbuh dengan berbeda. Maksudku, sawah yang satu subur, sedang yang satunya lagi kurang subur. Mungkin itu terjadi karena perawatan dari si pemilik sawah itu. Bila cara mengelolanya baik, dengan hati, maka hasilnya pun akan baik. Tapi bila mengelolanya asal-asalan, hasilnya juga akan asal-asalan.
Dan ternyata, apa yang ada dipikiranku itu, dibenarkan oleh kakek. Karena kakek mengenal betul dengan si pemilik sawah itu.
Suatu pelajaran bagiku. Bila aku menginginkan yang baik, maka aku harus baik terlebih dulu. Dan dalam melakukan sesuatu, aku harus menggunakan hati. Bukan karena tuntutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H