Mohon tunggu...
Nurul Hilmah
Nurul Hilmah Mohon Tunggu... -

Nama saya Nurul Hilmah.Saya adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN SU. Sekarang saya tengah sibuk kuliah dan berorganisasi. Saya mengikuti salah satu organisasi intra kampus, yaitu DInamika (lembaga pers mahasiswa). Saya menjabat sebagai reporter sekaligus editor. NB : saya suka baca dan nulis :-)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penantian Ran untuk Zafran (Part II)

11 Mei 2014   17:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:37 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

3 Juni 2008

Malam ini tidak sunyi lagi

Aku tak tau mengapa

Tapi yang pasti sejak kata-kata itu merasuk di jiwa...

Aku percaya bahwa aku tak sendiri

Ada kau di sini yang membuat hati ini semakin yakin...

Sinichi Kudou...

Jika kisah ini sudah berjalan semestinya, maka aku akan menulisnya, sama dengan kisah-kisah sebelum ini. Bukan, bukan karena aku seorang penulis amatir tapi karena aku lebih suka bercengkrama dengan tulisan. Tulisan itu sebuah kebebasan. Seperti burung yang tak ingin memiliki kaki, dia hanya ingin memilki sayap agar bisa terbang bebas tanpa batas. Terkadang aku tidak terlalu menyukai bangunan tinggi menjulang bahkan tanpa malu mencakar langit. Itu menghalangi setiap burung-burung yang terbang. Mungkin itu penyebab burung jarang sekali berada di kota-kota besar, seperti Medan, Jakarta, Surabaya. Entahlah...

Tulisan seperti apa yang kau suka? Tulisan cengeng, sombong, sok kuat, atau berusaha bahagia? Aku tak tahu. Keberadaanmu saja masih samar-samar. Beberapa tahun lalu, atau lebih tepatnya ketika kita masih kecil, kita tak saling menyapa. Aku hanya tau namamu, bahkan kau juga. Sekarang kita malah dipertemukan di Facebook ini. Kata orang Facebook adalah salah satu dunia maya. Banyak yang meragukan perkenalan lewat FB, tapi kita, kita tidak meragukan ini bahkan aku tidak sedikit pun ragu denganmu. Sebenarnya yang terekam dalam memoryku ini bukan kamu yang sekarang, tapi kamu sewaktu kecil. Apa kamu tau bagaimana wajahku saat ini?

###

11 November 2008

Malam ini kembali sepi. Sesepi hilangnya percakapan manis itu. Katanya, ia akan datang menjemputku, mengajakku bermain di tepi pantai sambil membuat istana pasir. Ruang dan waktu tak lagi sama. Hingga saat ini tidak ada jawaban. Dan kenangan itu hanya menjadi sebuah kenangan. Aku percaya, kelak jika ia pulang dari perantauan itu, ia akan datang, bernegosiasi dengan ayah untuk menentukan tanggal pernikahan kami. Aku percaya. Angan ini masih saja mengusik kejadian beberapa waktu lalu. Ketika aku ceritakan kejadian itu dengan Kak Ki, teman sekelas, teman satu organisasi dan teman satu KKN. Katanya dia salut dengan Sinichi Kudou. Semua cara pendekatan yang ia lakukan sangat bagus.

“Itu bagus caranya mendekatimu, Ran!” ujar Kak Ki sambil memainkan laptopnya

“Bagusnya gimana coba Kak?” tanyaku polos

“Dia tidak tergesa-gesa mendekatimu. Datang ke rumah, minta izin dengan orangtuamu, terus memperkenalkan kamu dengan teman-temannya. Caranya cukup bagus,” Kak Ki menjelaskan panjang lebar.

“Iya kak. Tapi apa benar dia mencintaiku? Selama ini saja dia enggak pernah bahas soal cinta. Emang dia sering menelponku, itu pun kami selalu bahas masa depan. Katanya aku harus cepat tamat kuliah. Palingan kalau bahas soal pacaran dia selalu bilang kalau aku enggak boleh pacaran selama kuliah Kak. Cuma itu, takut ganggu pelajaran katanya Kak!” sambungku lagi.

“Kalau soal itu Kak gak tau Ran. Cuma Sinichi yang tau perasaannya sendiri.”

“Tapi aku berharap, dia punya perasaan yang sama sepertiku Kak. Semoga saja.”

Hingga kini aku masih belum menemukan jawaban yang pasti. Entahlah. Biarkan saja waktu yang angkat bicara. Aku di sini selalu melihatnya melalui jarak jauh.

###

Siang itu matahari tidak terlalu terik, hanya menyisakan bayang-bayang semu ketika kami menoleh padanya. Mereka, anak-anak MIS dan MTs Alwashliyah, berlari-lari kecil di pinggiran pantai, berenang-renang dengan gaya seadanya, lalu mereka saling tertawa riang memercikkan air ke arah teman-temannya yang belum basah. Sedangkan aku masih hanyut dalam angan-angan semu, memikirkan seseorang yang jauh di sana dan sesekali menulis namanya dalam bebatuan-bebatuan, menghapusnya kembali dan melemparkannya ke tengah sungai.

“Aku tenang sekarang,” ucapku pada Dita yang menghampiriku.

“Maksudnya?” dia menimpali.

Aku tersenyum, “Ternyata dia di sana tidak pernah melupakanku, buktinya tadi malam dia menelpon.”

Dita membalas senyumku, “Aku rasa dia menyukaimu.”

“I hope it,” aku menoleh padanya.

“Aku senang melihatmu sudah menambatkan hatimu pada satu orang. Bang Zafran pasti sangat mencintaimu Ran, buktinya untuk apa dia selama ini menelpon jika tidak memiliki maksud lain? Aku yakin dia tak ingin melihatmu pacaran dengan orang lain. Makanya dia melarangmu. Dan aku juga yakin, kalau kamu sudah tamat kuliah, dia pasti datang dan mengungkapkan seluruh perasaannya padamu Ran. Percayalah kawan!” jelas Dita yang sudah tahu seluk beluk penantianku.

Aku hanya tersenyum sambil menatap langit di pantai ini. Anak-anak itu masih saja asyik berenang-renang ketepian. Besok rencananya kami, seluruh anggota KKN akan pergi ke Tangkahan, tempat wisata alam di Langkat ini. Dan esok pula aku akan melihat-lihat rumput, tanah, air yang sempat terinjak oleh Bang Zafran. Beberapa waktu lalu ia pergi ke sana. Katanya ia bertemu dengan Olive, seekor gajah betina. Dalam foto yang ia tandai di Facebook seminggu yang lalu mengusikku. Dan aku kembali memikirkannya. Masih terselip pertanyaan dalam batin ini. Untuk apa dia menandai namaku dalam fotonya? Walaupun aku tahu bahwa bukan hanya aku saja yang ia tandai. Apa ini caranya agar aku tidak melupakannya? Aku butuh jawaban pasti. Di Tangkahan, ada jejak kerinduan mengintip dari balik dedaunan kering yang jatuh ketika ia hadir di sana, dan aku akan menagih janji sang daun.

###

Jejak perjalan ke Tangkahan tak semulus yang kupikirkan. Sosok lain hadir mengguncang. Aku serasa berada dalam dua lingkaran yang memaksaku untuk menanti. Lingkaran pertama mengatakan kalau aku harus tetap menunggu Bang Zafran, sedangkan lingkaran kedua memaksaku untuk memberi kesempatan pada Bang Wildan, lelaki mendekatiku sejak awal mula pergi ke Tangkahan ini. Bang Wildan adalah salah satu warga Batang Serangan, tempat kami KKN.

Sejak berada di Tangkahan, dia selalu memiliki waktu untuk bersamaku, padahal aku sama sekali ingin menghindarinya. Ia mengajakku pergi ke daerah air terjun, menatap pelangi dalam air di bawah air terjun, bahkan ia mengajariku untuk lebih pandai lagi berenang. Dan aku hanya menurut saja. Saat itu aku hanya menganggapnya sebagai teman. Tidak ada maksud lain. Dan ternyata aku sepenuhya salah. Sehabis berenang-renang, Bang Wildan mengajakku untuk foto bareng, dan aku menolak. Aku menjauhinya. Aku masih asyik menatap air yang mengalir, bebatuan basah di tengah aliran sungai Tangkahan ini, dan dedaunan yang satu persatu jatuh, lalu terbawa air. Kemudian seekor kupu-kupu yang sangat indah datang menjamah dedaunan di pinggiran aliran pantai, sesekali ia terbang ke sana kemari. Dan kupu-kupu itu berhasil mengajakku terbang bersama angan tentang Bang Zafran. Aku masih ingat saat lebaran kedua, sebelum Bang Zafran mengajakku jalan lewat sms, aku sedang mencuci pakaian. Di tengah asyik mencuci, seekor kupu-kupu yang tidak begitu indah datang, masuk ke kamar mandi. Setelah itu, satu sms mendarat ke hape merahku. Dan isinya ajakan jalan dari Bang Zafran. Lantas saja, sejak kejadian itu aku menganggap kalau kupu-kupu adalah pertanda Bang Zafran mengingatku. Dan hari ini aku menemui kupu-kupu yang jauh lebih indah. Ia mungkin menegurku untuk tetap menempatkan hati ini untuk Bang Zafran, dan menolak setiap ajakan Bang Wildan. Aku rasa isyarat ini sudah cukup membuatku bertahan pada sosok Zafran.

###

1 Desember 2008

Langit mendung menghiasi Batang Serangan ini. Bahkan sejak pagi tadi langit mengerang dan terpaksa harus merintikkan beberapa tetes hujan. Masih sama, ada rindu yang terselip di balik udara dingin ini dan berusaha menyampaikan pesan-pesan hati ke Jakarta. Siang ini aku tengah menyiapkan paket telpon kartu AS. Aku sengaja untuk menelpon Bang Zafran. Dan ini untuk pertama kalinya aku menggunakan paket untuk menelponnya.

“Assalamu’alaikum,” ujarku dengan nada yang tidak seperti biasanya, nada ini terlalu sopan.

“Walaikumsalam,” ujarnya yang tak kalah lembutnya.

Jantungku semakin cepat saja berdetak. Kami terus saja bercerita. Bercerita tentang akhir KKN, kerjaannya yang baru, dan sebuah impiannya untuk pulangkampung. Aku tahu, impian lain setelah sukses di perantauan adalah pulang kampuang dan melihat senyum ayah ibu. Dia juga sempat mengajakku untuk pergi bersamanya kalau nanti liburan tiba. Katanya dia dan teman-temannya bakalan pergi ke Danau Toba. Dan aku hanya mengiyakan. Sungguh aku ingin menjawab lebih dari.

Dan malam harinya adalah malam sebuah pengkhiatan hati ini. Bang Wildan mengungkapkan isi hatinya. Dan aku hanya menggangguk, perlahan aku menyadari bahwa seandainya aku sedikit saja bersabar maka Sinichi Kudou pasti bersamaku. Maafkan aku!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun