Mohon tunggu...
Nursodik El Hadee
Nursodik El Hadee Mohon Tunggu... -

Muda berkarya, tua bahagia dan istri sholeha, dan mati masuk syurga

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Garis Perjalanan Hidup

5 Januari 2013   17:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:28 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nothing is Impossible .” Sebuah ungkapan yang tepat dimana tidak ada suatu yang tidak mungkin, semuanya itu tergantung pada diri, bagaimana mengubah yang abstrak menjadi nyata dan keberanian diri untuk menerjang liku kehidupan. Dunia ini ibarat sebagai arena bermain sepak bola, dimana kita berani menggiring bola dengan lincah melawan gerak-gerik para pemain lain yang sama-sama bertujuan untuk mencetak GOAL.

Besarnya keinginan untuk bisa mendapat beasiswa Kuliah, semakin tumbuh dalam semangat ini. Keyakinan bahwa ada hal yang bisa dicapai, atau tidak mustahil untuk digapai “ Another is Possible”. Semangat untuk terus melanjutkan pendidikan itu semakin menggebu mengingat pengalaman hidup saya sebagai anak dari keluarga yang hidup pas-pasan. Yang bertempat tinggal disebuah desa kecil, Sebuah desa yang mayoritas penduduknya terisolasi terhadap mitos, bahwa “Sekolah hanya cukup sampai, SD, atau SMP, kesempatan dan pengalaman sekolah tinggi atau kuliah hanya tersedia bagi orang-orang tertentu saja, Bahkan keinginan bersekolah tinggi dibatasi pada kelangan orang yang mempunyai derajat tinggi, memiliki sawah ber-hektar-hektar, atau mereka yang orang tuanya bergelimang harta. Ini lah yang menjadi enigma masyarakat DesaTenajar, Cangkingan, Indramayu. Sebuah desa yang terbesar memproduksi TKW ke Luar Negeri, trafiking, tradisi dan budaya yang timpang gender, serta bangunan sosial masyarakat yang masih menempatkan pendidikanpada taraf rendah (subordinat). Hal ini mengakibatkan masyarakat desa tenajar-cangkingan terjangkiti ungkapan tradisi; “sekolah tak usah tinggi-tinggi, selepas SD atau SMP langsung kerja, atau kawin itu lebih baik”.

Situasi ekonomi dan pendidikan di desa itu, memaksa saya untuk mengikuti Urban orangtua. Orang tua yang menjalani hidup sebagai buruh pabrik di Kota Jakarta, membuat penghidupan keluarga hanya cukup untuk makan dan sekolah. Itu pun sudah Alhamdulillah. Kehidupan metropolitan dengan sulitnya penghidupan disana, apalagi pada masa Orde Baru dilematik Aksi Buruh, membuat orangtua ku dipindahkan pekerjaannya di Tangerang. salah satu kabupaten di provinsi Banten, yang dulunya masih menyatukan diri dengan provinsi Jawa Barat.

Krisis dan Titik Nadir

Pada pertengahan 1998, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia. disertai kemarau panjang dan paceklik. Kondisi ini yang menyekik para pekerja buruh, mereka di putus hubungan pekerjaannya (PHK).

Begitu pun ayah saya, tak ketinggalan salah satu korban krisis yang hingga sekarang harus berhenti sebagai buruh. Keputusan untuk meniti hidup lewat jalan lain pun, sudah terpatri dalam diri ayah. Seorang pekerja yang kini hanya bermodal sepeda motor untuk menjajakan jasa nya antar jemput, pulang pergi para dokter di salah satu puskesmas Cikupa, Tangerang.

Terik panas matahari, hujan kini telah menjadi teman ayah bekerja. Sungguh begitu berat beban, dan pengorbanan ayah saya saat itu. Ketika itu saya menduduki kelas enam SD, saya pulang pergi diantar ayah ke sekolah. Kadang saya merasa malu dengan identitas dan kondisi kehidupan kami.

Namun realitas Hidup layaknya roda yang terus berputar, tidak ada seorang pun yang bisa menebak kearah mana roda kehidupan akan membawa takdir kita, kadang nasib membawa kita kepada titik zenith, kadang pula nasib membawa kita kepada Titik nadir, dimana seseorang berada dititik paling rendah. Ketika itu saat-saat paling gelap, terpuruk kepada sesuatu yang tidak meyakinkan, saat semuanya bertolak belakang dengan harapan kebahagiaan, saat itulah bersamaan, keluarga saya di coba dengan pertengkaran besar orang tua, Ibu saya meminta cerai.Hati saya menjadi gundah mendengar pernyataan Ibu. Entah apa alasan Ibu saya berkata demikian, keesokan hari Saya melihat selembar surat dikamar, surat untuk anaku tersayang, Nursodik

“Sayang, Ketika api telah membakar diri, takan kuasa untuk menahan panasnya. Begitu pula Ibu Nak, Ibu takkuasa menahan diri untuk pergi meniggalkan mu, Ibu pergi dulu, pergi untuk menenangkan hati. Mungkin suatu saat jika Allah SWT masih meminta Ibu untuk kembali, Ibu akan kembali bersama anak ku sayang, belajar yang rajin, sayang. Jangan lupa sholat dan jaga kondisi mu baik-baik, Nak.”

Salam sayang Ibu””

Setelah membaca surat dari ibu, rasanya berat mata ini untuk tidak menetesakan air mata, saat-saat paling buruk, dan paling sulit dalam fase kehidupan saya. Ketika harapan,kebahagian, cintahilang dan pergi. Ketika kemarahan, kebencian berkumpul mengusutkan hati dan pikiran. Dan ketika itu juga aku berusaha tegar, dan menuliskan balasan surat untuk Ibu,

Ibu….

Aku ingin dirimu menatap mataku dengan lembut

Dan berkata bahwa cinta maha karya indah penuh kasih adalah Anak mu

Ibu….

Ruang yang mampu memberiku warna yang berbeda, Yang membuatku tersenyum, dan bersemangat menjalani hari demi hari itu hilang bagai ditelan kepergianmu

Ibu….

Kini aku hanya bisa merasakan cintamu dalam angan,

Aku tak jua menahan rindu pelukanmu

Ucapan “selamat tidur sayang” kini tak lagi ku dengar

Ibu…

Aku ingin kau membuka hati yang tertutup rapat oleh serpihan luka

Yang lama terpendam

Dan kembali bersama merangkai lembaran kehidupan penuh cinta.

*Anakmu yang mendamba mu

Sekian lama perjalanan ini kulalui dengan waktu-waktu yang berjalan. Fatamorgana kehidupan yang hampa dari bayang-bayang semu, tajamnya liku kehidupan hingga mencapai < 45 derajat dari kemiringan sudut realita yang ada. Membuat saya sadar betapa lemahnya diri ini, saya harus sabar dan tegar menjalaninya, Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik. Hanya itu yang saat ini berada dalam benak hati saya. Kedatangan Ibu dan kembali bersama, berkumpul bersama, merangkul kebahagiaan dengan keharmonisan keluarga merupakan harapan dan tujuan utama saya. Saya harus berjuang bagaimanapun keadaannya, berat atau ringan. Tak lupa diiringi do’a di rajut pasrah (tawakal) kepada sang Pencinta Hamba-Nya.

Akhirnya berkat kuasa Ilahi, perlahan demi perlahan menembus batas impian, Ibu saya kembali setelah dijemput sang Ayah. Rasa Syukur yang mendalam, serta rasa bahagia berbalut air mata membuat aku semakin percaya dengan kata” Nothing is possible “ ; ketika Tuhan sudah “kun fa yakun”, maka segala sesuatu akan mungkin terjadi.

Pesantren dan Nilai-nilai Kepribadian

Sisi lain sebuah Garis Kehidupan saya, selain dukungan keluarga, keinginan diri untuk memutuskan meniti jenjang pendidikan selanjutnya tercapai, melalui sebuah lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yakni Pesantren. Di pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, yang diasuh oleh empat kyai kharismatik, K.H AR. Ibnu Ubaidillah Syathori, dan Kyai Nyentrik Husein Muhammad, Dr. K.H Akhsin Sakho Muhammad, dan K.H Mahsun Muhammad, MA. Bersama bimbingan beliau lah aku menghabiskan masa remaja dan melewati jenjang pendidikan menengah di pesantren itu.

Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat dengan sistem asrama (komplek), dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui pengajian (sorogan, bandungan, halaqah) atau madrasah dibawah kedaulatan Kyai. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang kental dengan beragam corak yang berkaitan dengan nilai-nilai Agama, kini semakin tumbuh dan berkembang diberbagai pedesaan dan perkotaan.

Tranformasi nilai-nilai yang ditanamkan di pesantren sebagai lembaga pendidikan mempengaruhi luas pemikiran saya. Kemampuan berwawasan secara kritis, kemampuan untuk meyesuaikan diri dan kecerdasan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari saya mulai kuat terbangun, terpatri dalam benak pikiran saya sebagai Manusia yang berdimensi “Intelektual Muslim”.

Di penghujung masa sekolah di pesantren, tiba-tiba muncul pikiran untuk bersekolah ke Mesir, Universitas Al Azhar, Kairo. Berkas-berkas pra syaratan, formulir dan hafalan pun sudah saya siapkan selama 3 tahun di Pondok Pesantren itu. Namun apadaya, kedua orang tua tak mengizinkan, lagi pula saya bukanlah orang yang istemewa, walau beberapa kali mendapat ranking “lumayan” di madrasah, tak jua mengisi ruang kosong otak ini.

Namun ada hal yang membuat saya masih tetap berdiri tegak diatas bumi pertiwi, yakni “Ambisi dan Mimpi “. Dua kata yang menjadi pegangan saya, ketika saat dimana saya harus tetap tegar terhadap pasang surut kehidupan.

Menerjang Batas Mimpi dan Ambisi 2011

Banyak orang besar mengatakan “Lanjutkan Ambisimu, The Dreams Will Come True”. Hakikatnya setiap orang memiliki mimpi, harapan dan cita-cita hidupnya. Melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi adalah mimpi saya, setelah lulus di MA Nusantara Ponpes Dar Al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon. Saya memulai memikirkan untuk kuliah, berbagai persiapan sudah saya lalui, dari mulai mengisi form pendaftaraan di berbagai Universitas Negeri dan Luar Negeri (Swasta), hingga saya terdaftar menjadi salah satu peserta penerima Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), awalnya memang karena dorongan guru di Sekolah, namun karena saya mempunyai ambisi yang kuat untuk kuliah, akhirnya saya memutuskan dengan “bismillahirrahmanirrahim” saya akan maju mengikuti Tes PBSB itu. Saya teringat orang-orang besar dahulu, mereka memulai segalanya dari mimpi, Lewat mimpi banyak orang menghasilkan karya besar. Seperti, Walt Disney, pemimpi yang terkenal dan mampu menciptakan aneka tokoh kartun serta mendirikan rumah produksi film, “Disneyland”. Kemudian John F Kenedy, mantan presiden Amerika, bermimpi membawa manusia ke bulan. Dengan adanya Apollo, impiannya menjadi kenyataan. Selain itu juga terbukti Neil Amstrong menjadi orang pertama yang mendarat di bulan.Menerjang batas mimpi adalah salah satu pelajaran yang saya dapat dari pengalaman-pengalaman orang-orang besar menjadi stimulus bagi saya untuk melanjutkan ambisi bersekolah setinggi-tinggi nya. Keyakinan untuk bermimpilah selagi masih hidup, itu membantu saya dalam mengartikan setiap detik kehidupan, merangsang sel otak saya bahwa “The dream will come True”. Namun saya juga mengerti semua itu hanya fatamorgana, tanpa diiringi usaha dan do’a.hingga pada akhirnya mengantarkan saya pada pengalaman yang luar biasa.

2 Juni 2011, Setelah mengikuti tes seleksi di MAN 1 Bandung, Akhirnya kabar yang saya nanti-natikan itu datang juga!Selembar kertas bertuliskan: “SELAMAT”, Anda terpilih Peserta penerima Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementerian Agama RI tahun 2011/2012 pada Perguruan Tinggi IAIN Walisongo Semarang. Rasanya waktu itu saya adalah orang yang paling bahagia dan paling beruntung. Bayangkan dari enam ribu pelamar, nama saya merupakan salah satu yangterpilih dari seluruh Indonesia. Ini sungguh nikmat dan kasih Tuhan kepada saya .

”Hadza Min Fadli Rabbi”, mungkin inilah yang namanya ” berkah”, dan keajaiban do’a dari orang tua, kyai, guru, dan teman-teman yang kerap mendukung dan memotivasi saya.

Babak baru jadi Mahasiswa

Welcome to semarang, in University of Astronomy Islamic

Perasaan tegang dan excited untuk memulai kuliah di luar daerah, dan bertemu para cendikiawan muda se-Indonesia mulai merajai hati saya. Pilihan program Studi Konsentrasi Ilmu Falak yang belum pernah saya tahu tentang ilmu itu memenuhi beban pikiran saya. Ditambah kuliah di IAIN yang dulu kata ustadz di pesantren terkenal dengan kebebasan berfikirnya. Corak pemikiran keagamaan yang progressif membuka ruang kebebasan berfikir, no claim of truth. Dalam suasana demikian selain model dan lingkungan belajar yang penuh kebebasan berfikir kian menumbuhkan semangat saya untuk belajar menjadi lebih baik (dalam kadar kemampuan saya sendiri), terutama masalah kajian Ilmu Falak konsentrasi program studi yang saya ambil, yang kini sedikit kiranya orang yang mumpuni menguasai ilmu tersebut. Dengan tekad yang melekat kuat dalam benak ; Another is possible, segala hal adalah mungkin.

Belajar di perkuliahan memang membuatku kaku, karena harus jungkir balik aktif dalam ruang kelas. Tidak seperti di pondok dan MA dulu, yang metode pembelajarannya masih tergantung Guru yang mengajarkan. Berbeda dengan di kuliah di kampus, dosen hanya datang, menjelaskan sedikit, lalu dilanjut dengan diskusi, debat pendapat mengkritik dll. Ini yang membuat kaku saya ketika harus berbicara mengungkapkan pendapat. Namun dengan yakinnya, akhirnya tak butuh lama untuk bisa beradaptasi di kampus, saya menjadi lebih sering bertanya, mengkritik dan berdiskusi tentang masalah kajian ilmu falak, yang menjadi satu tujuan penuh, ”Hidup dan mati untuk falak”. Tak ada usaha yang tak mendapat balasan, salah atau benar semuanya dapat pahala. Begitu juga dalam hal belajar mencari ilmu, tak perlu takut salah, jika tak ingin lebih baik. Sebuah prinsip hidup yang memang diyakini saya sebagai salah satu pembangkit semangat untuk menjadi ilmuan, wabilkhusus dalam kajian Falak dan Astronomi. dengan modal bismillah saya memulai kehidupan baru di dunia Kampus.

Dunia Kampus Vs Pesantren

Di tengah era globalisasi dan modernisasi. Metode pembelajaran, kurikulum, dimensi keilmuan, serta nilai-nilai yang diterapkan di lingkungan pesantren sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh Kampus, sebagai lembaga pendidikan tinggi pada umumnya. Dunia Kampus yang kontras dengan kehidupan Pesantren, yang notabene merupakan lembaga keagamaan yang berbasis pada Al-Qur’an dan sumber-sumber hukum islam lainnya. Sementara Kampus kebanyakan mengajarkan ilmu-ilmu yang berbasis pada teoritis, riset, dan pengkajian ilmu-ilmu secara metodologis. Selain berbasis pada sumber-sumber hukum islam, keilmuan di pesantren juga pada umumnya bersumber dari kitab klasik (Kitab Kuning). Sedangkan di dunia kampus mayoritas ilmu itu bersumber dari dunia barat.

Saya masih ingat pesan kyai saya dulu di pondok, ketika di kampus hati-hati dengan beragam corak pemikiran, kultural dan pencitraan pondok pesantren jangan sampai luntur terendam liberalisme kampus. Namun realita membuat terbelesitnya hati ini saat dihadapkan dengan problema lingkungan dan budaya kampus berputar 180 derajat dengan keadaan di Pondok Pesantren. Yang mana kedaulatan berfikir atau berijtihad sepenuhnya tergantung kyai (tabi’, taqlid).

Beralihnya dari dua dimensi yang berbeda antara dunia Kampus dan Pesantren, menyuguhkan kepada saya untuk bisa mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran terhadap hiruk pikuk atmosfir kehidupan kampus yang modern, berbenturan dengan basic santri dalam lingkungan pesantren yang cenderung masih tradisional. Selain itukeragaman budaya dan pola belajar dalam suasana demokratis dan egaliter yang diterapkan para dosen kepada mahasiswa sangat bersinggungan pada tata cara dan pola belajar-mengajar pada kitab Ta’limul Muta’alim yang diajarkan di pesantren. Sejatinya menurut perspektif pribadi bahwa kehadiran pondok pesantren dan dunia Kampus, diantara keduanya saling melengkapi satu sama lain dalam menjawab dan memecahkan persoalan hidup dalam kehidupan bermasyarakat.

Tentu saja saya harus memaklumi situasi mahasiswa di kampus dengan santri pondok pesantren. Karena kepekaanterhadap situasi dan kondisi yang terjadi sedikitnya bis membantu saya dalam beradaptasi menyesuaikan diri dan berkembang menyusuri alur berfikir di dunia kampus. Hingga membuat ketertarikan saya untuk menoreh tinta keilmuan di kajian jurnalistik kampus. Saya bergabung pada LPM Zenith CSS MoRA IAIN Walisongo, sebuah LPM yang berprospektif untuk mengasah kemampuan menulis dalam lingkup kajian Falak. Berawal dari ketertarikan mewujudkan saya hingga saat ini aktif menulis di berbagai media, walau hanya beberapa media yang pernah memuat tulisan saya. Namun saya optimis suatu saat torehan tulisan saya layak untuk masuk dalam media kepenulisan dunia.

Manfaat dan Harapan

Akhirnya saya sangat merasakan besarnya manfaat dari pengalaman saya selama menjadi keluarga besar penerima beasiswa Kemenag RI, yang berlingkup pada keorganisasianCommunity of Santri Scholars Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA). Pertama saya memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan potensial akademik di kampus tercinta IAIN Walisongo Semarang, Kedua atmosfer kehidupan yang saya hirup sebagai mahasiswa berhadapan dengan para mahasiswa lain se-indonesia memberi pemahaman tentang kepekaan terhadap realitas kehidupan dalam konteks budaya di Kampus. Ketiga saya merasakan bahwa program penerimaan santri berprestasi (PBSB) membantu dalam mengembangkan bakat dan minat saya dalam menulis, dan membuka jendela lebar-lebar bahwa banyak pengetahuan dan pengalaman yang luas berorganisasi dan mencetak kader-kader pemimpin yang mengabdikan kepada masyarakat, pondok pesantren, negara dan bangsa. Karena sebaik-baik orang yakni orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Ada satu hal yang bisa diambil pelajaran dari perjalanan hidup saya: segala sesuatu yang menjadi kelemahan dalam hidup saya ternyata menjadi sumber kekuatan yang luar biasa , yang mampu mengubah hidup saya menjadi lebih bersyukur. Mimpi, harapan, tekad yang kuat is possible menembus batas impian.

*Mahasiswa Penerima Beasiswa Kemenag RI 2011, IAIN Walisongo Semarang, alumni Pondok Pesantren Dar Al –Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun