Mohon tunggu...
Nursodik El Hadee
Nursodik El Hadee Mohon Tunggu... -

Muda berkarya, tua bahagia dan istri sholeha, dan mati masuk syurga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebuah Perspektif Pribadi

12 Juni 2012   01:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Implementasi Ideologi Demokrasi Pancasila (IDP)

dan HAM di Indonesia

Setiap ideologi yang dianut oleh suatu negara pada dasarnya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di negara tersebut, termasuk penerapan hak-hak asasi masyarakatnya. Seperti kita ketahui seksama negara-negara Barat, seperti Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan masyarakatnya untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Sehiigga hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang “kebablasan” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan bebas, dan sebagainya.

Berdasarkan sejarah yang pernah terjadi di negara-negara Barat, maka jelas bahwa masyarakat akan mengalami dampak negatif jika hak-hak asasi setiap individu dibebaskan tanpa batas, namun masyarakat juga akan mengalami dampak negatif jika hak-hak asasi setiap individu terlalu dikekang. Berbeda dengan negara Indonesia yang menganut ideologi Demokrasi Pancasila, sehingga implementasi hak asasi manusia di Indonesia seharusnya berjalan dengan baik sesuai dengan landasan pada sila-sila Pancasila. Menurut ideologi tersebut, hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia pada dasarnya diimplementasikan secara bebas, namun tetap dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain. Jadi, pada dasarnya ideologi yang dianut oleh negara kita ini memberikan kebebasan dalam penerapan hak asasi manusia namun hal tersebut belum sepenuhnya tertata dengan baik, perlu dikaji ulang karena realita yang terjadi penerapan Hak Asasi Manusia masih simpang siur, mengapa berikut ini akan saya kronologikan:

Telah diketahui dahulu pada masa Orde Lama yang menganut sistem pemeritahan otoriter, segala kekuasaaan dan kebebasan rakyat masih terkekang oleh pemerintah, rakyat pada waktu itu masih seperti seekor anak itik yang selalu dierami oleh induknya. Analogi tersebut menunjukkan bahwa hak-hak dan kebebasan aspirasi rakyat masih dalam suatu payung otoriter penguasa. Begitu pun pada masa orde baru, Ideologi yang dianut indonesia masih terjadi penyimpangan, pasalnya seluruh hak-hak rakyat masih berada dalam ambiguitas penguasa. Kemudian sejak era reformasi, masa perubahan diamana berbagai produk hukum dilahirkan, aspirasi kebebasan rakyat pun mulai terbuka lebar-lebar. Rakyat seperti sudah keluar dari tirai jeruji kepenguasaan kaum diktator.

Simpang Siur Masa Reformasi

Selama kurang lebih 12 tahun terakhir ini, rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan politik yang luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan, yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Melalui berbagai Literasi media hampir semua lapisan rakyat Indonesia sudah dapat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa rasa takut atau was-was seperti pada zaman Orde Baru. Rakyat Indonesia relatif bebas mengkomunikasikan gagasan dan informasi yang dimilikinya. Rakyat menikmati pula hak atas kebebasan berkumpul, mengadakan pertemuan-pertemuan seperti, seminar, konferensi dan rapat-rapat. Rakyat tak lagi dalam ambiguitas harus izin pada penguasa Orde Baru.

Pada masa ini juga rakyat Indonesia menikmati kebebasan berorganisasi. Mula munculnya  partai-partai politik sebagai wahana untuk memperjuangkan aspirasi politiknya,dan organisasi kemasyarakatan lainnya sebagai tempat diskusi masalah untuk kesepakatan bersama. Namun Kemajuan era reformasi di Indonesia selama ini masih tampak belum bisa memberikan efek yang baik, dan memanfaatkan segala implekatif atau penerapan ideologi demokrasi tersebut.Hal ini mengasumsikan bahwa Demokrasi Indonesia pada masa reformasi masih berada dalam kemandekan. Jika diamati dari berbagai sedut pandang, secara objektif. Memang tampaknya permasalahan-permasalahan indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran (kasus) baik itu yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) atau demokrasi itu sendiri. Contohnya kasus Triksakti, Semanggi I, kasus mesuji, dan kasus yang lagi booming yakni korupsi.

Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia semestinya harus diimbangi dengan perlindungan hukum. Tapi realita berbalik rakyat dan pemerintah terkadang tak mengimbangi hal tersebut. Hal ini yang memprihatin, seringkali dalam peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan seolah-olah tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kekerasan tersebut.

Oleh karena itu, yang menjadi kekhawtiran penulis yakni  bilamana kemudian menjadi sebuah budaya pembiaran (culture of impunity) yang terus merasuki sistem hukum dan aparaturnya, seperti polisi, jaksa dan hakim, terutama ketika aparat penegak hukum harus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan polisi dan tentara. Budaya pembiaran inilah yang menghambat setiap upaya penegakan hukum. Budaya impunity itu bila dibiarkan terus berkembang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan menghancurkan kedaulatan hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem demokrasi di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun