Mohon tunggu...
Nurlianti Muzni
Nurlianti Muzni Mohon Tunggu... -

satu dari sekian banyak doa yang ku ucapkan...\r\n"sukses kan lah aku, Tuhan. dalam penggapaian kebahagiaan dunia dan akhirat"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pantas Untuk di ‘Benci’

6 Oktober 2011   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rintih hati, tatkala melihat ratusan rakyat jelata berdesakan demi sekantung beras. Badan terhimpit, nafas tersenggal, dan tak jarang, kulit yang terbakar matahari, menguras keringat. Begitu berat yang harus mereka terima. Sedangkan, di tempat berbeda, sekelompok manusia 'kotor' tengah asik dengan sandiwara mereka demi permaian 'judi' dengan uang rampasan dari hak rakyat.

Kotoran-kotoran yang menjijikkan semakin jelas sengaja di tutupi, seakan membutakan masyarakat 'bodoh' untuk terlelap dalam dilematis itu. mereka yang disana berfoya-foya. Melarikan diri dengan uang negara ratusan juta hingga milyaran rupiah. Tanpa pernah sadar, derita dan tangisan jelata yang terkurung di dalam takdir kehidupan yang pilu.

Kini, kebenaran menjadi hal yang sangat langka di jumpai di negeri Indonesia! keadilan, kejujuran, dan kedermawanan, di lakukan hanya untuk menutupi topeng yang penuh dengan orok yang di tumbuhi belatung. Sedang yang mereka tampilkan, hanya senyum mengembang seakan tanpa dosa, untuk memperlihatkan kepada seluruh rakyat, "Kami, peduli pada Kalian!"

Heh.. bosan, benci, dan basi. Melihat semua retorika pemimpin negeri ini. Mereka sekolah, kuliah, dan menimba ilmu, hanya untuk mendapatkan sebuah kunci, pintar mengelabuhi dan membohongi rakyat. itu mungkin!

66 tahun negara ini merdeka. Setelah sekian kali berganti pemimpin. Wajah negara ini, hanya di bolak-balik, tanpa alur yang tak pasti. Sedang, tangis rakyat masih terus mengalir.

Zaman berubah. Dari orde lama ke orde baru. Dari otoriter ke demokrasi. Namun, kita pun masih di sini. Berdiri dengan bayang yang tak sama tinggi. Perjuangan para pejuang pun, hanya di anggap sebagai isapan jempol, yang hanya di hormati pada momentum tertentu, sebagai upacara ceremonial belaka.

Apakah akan selalu seperti ini.? Kami yang hidup di negeri ini? Menikmati dunia yang begitu kejam, di antara lumpur-lumpur yang siap untuk menghisap sewaktu-waktu. Atau, mungkin kah, jika ingin merubah semua nya, kami mesti menjadi orang 'gila', di antara jutaan manusia barat yang juga gila? Haha.. menurut beberapa pengalaman, itu tidak terlalu penting!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun