Berpindah dari Zona Nyaman untuk Pemerataan Penduduk
Di pinggir jalan mendekati area lampu merah, beberapa anak usia SD melawan terik matahari yang menyengat. Tidak mengindahkan kulit yang terbakar atau petir yang menyambar saat hujan. Langkah mereka mendekat ke setiap kendaraan yang berhenti saat lampu merah menyala, lalu menengadahkan tangan atau terkadang ada yang menyodorkan gelas plastik sisa minuman ringan. Berulang-ulang dan bertahun-tahun dilakukan, meski mereka tahu kegiatan ini tak akan menjadikannya miliuner dan dihormati banyak orang. Namun hidup harus terus berjalan dan perut harus diisi dengan makanan. Dengan mengerahkan segala upaya, bisa dipastikan kalau penghasilannya dalam sehari hanya cukup untuk mengenyangkan perut saja.
Selain anak-anak, remaja hingga orangtua pun tak ingin kalah memelas diri pada setiap kaca mobil yang berhenti. Terkadang mereka berteduh di bawah pohon menunggui anaknya yang sedang berjuang mengais rizki di bawah lampu merah. Dari seorang yang berbaik hati, paling tidak mereka mendapat Rp 500, Rp 1.000 atau bahkan lebih kalau nasib sedang baik. Setiap hari yang mereka lakukan adalah meminta dan membelanjakan apa yang didapatnya dalam sehari tanpa mengembangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Tak lain dari dalam diri mereka lahirlah pribadi yang manja, malas, dan enggan bekerja.
Keramaian kota mereka manfaatkan untuk mendapatkan uang. Yang menjadi permasalahan adalah di masa depan akan jadi apa generasi ini. Tentu jawabannya tak boleh sama dengan aktivitas yang mereka lakukan saat ini atau generasi sebelumnya. Kalau-kalau penghasilan dalam sehari tidak banyak karena nasib sedang tidak mujur, tak menutup kemungkinan mereka akan memaksakan diri untuk mendapatkan uang dengan segala cara misalnya dengan mengambil tanpa “permisi” di tengah keramaian. Dari hal kecil ini akan menjadi embrio lahirnya kriminalitas di tengah perkotaan.
Mereka, para penengadah tangan itu adalah bagian dari masyarakat yang tak memiliki cara ampuh untuk mengembangkan diri. Lingkungan dan segala yang ada di dalamnya telah bersaing secara ketat untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing. Faktor utama yang mendasari adalah banyaknya jumlah penduduk yang ada di daerah itu, padahal ketersediaan alam maupun sumber daya lainnya sangat terbatas. Mengutip kalimat Mahatma Gandhi, bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu manusia. Nah, yang menjadi polemik adalah saat ini manusia yang serakah tidak hanya satu namun hampir semuanya serakah demi menjaga eksistensinya.
Dampak tidak terpenuhinya kebutuhan manusia di perkotaan semacam ini disebabkan karena banyak hal. Yang paling mendasar adalah kepadatan penduduk yang menghuni suatu daerah di wilayah yang sempit. Untuk itu harus ada pemerataan penduduk sehingga mereka bisa menggali potensi diri dengan leluasa atau setidaknya bisa membuka lapangan kerja sendiri. Memang rupiah yang didapat tidak akan semudah seperti saat mereka menunggu lampu merah seharian, namun ini akan lebih mendidik dan dapat mengurangi risiko yang kemungkinan akan terjadi. Bisa meminimalisir tingkat kriminalitas, kemacetan lalu lintas, dan kepadatan kota.
Mereka mungkin tak pernah tahu bagaimana mengembangkan potensi diri untuk meninggalkan pola lama menengadahkan tangan. Langkah awal yang pertama dapat dilakukan adalah dengan berpindah dari zona nyaman di pinggir jalan. Mereka harus mencoba memberanikan diri untuk berpindah tempat ke daerah yang masih jarang penduduknya. Di daerah baru tentu lahan masih berpontensi untuk mereka olah, barulah hasilnya dapat dijual atau dikembangkan lebih luas.
Langkah awal ini juga harus dibarengi dengan pendidikan paling mendasar untuk memotivasi mereka. Pemerintah adalah kalangan yang seharusnya paling banyak ambil bagian untuk langkah awal ini. Selain itu akan lebih berjalan beriringan apabila para pemilik modal juga ikut serta membuka lapangan kerja bagi mereka. Cara ampuh untuk membekali mereka adalah dengan memberi kredit lunak untuk dikembangkan.
Baik pemerintah maupun pihak swasta dapat memberi pelatihan kepada masyarakatnya untuk menciptakan ide kreatif demi meraih rupiah seperti yang mereka harapkan sebelumnya. Berpindahnya kelompok masyarakat ini ke daerah yang masih jarang penduduknya akan memberi dampak positif untuk persoalan kepadatan penduduk di perkotaan. Siapa pun pada akhirnya akan dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus memasang wajah melas di samping kaca mobil atau di emperan toko.
Perpindahan mereka akan memeratakan persebaran penduduk baik di kota yang padat penduduk maupun di desa atau yang masih jarang penduduknya. Bukan hanya sesaat saja mereka diperhatikan, namun pemerintah maupun swasta harus memberi pendampingan sampai mereka dapat hidup mandiri. Kota nantinya dapat menjadi pasar empuk bagi masyarakat untuk menjual hasil usaha atau kerajinan, sedang kota dapat menyediakan bahan dasar yang dibutuhkan. Keduanya dapat berinteraksi dengan baik dengan lingkungan dan masyarakat yang seimbang pula. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H