Mohon tunggu...
Nur Hatimah
Nur Hatimah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nama: Nurhatimah Hobi: memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ Untukmu Ibu ] Lukisan Sang Ibu

22 Desember 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuberikan sepucuk surat cinta untuk ibu dikampung. Walau hanya sebatas lukisan kecil yang menempel pada kertas putih yang telah bercampur tinta hitam didalamnya. Tak ada suara hewan yang terdengar. Gelap. Pertanda hari sudah malam. Lampu dipingiran jalan mulai terlihat terang. Kamar didekat dapur itu masih terlihat gelap. Tak ada penghuni yang datang, hanya seekor tikus hitam yang menyelinap dalam terowongan kecil. Yah, wanita separuh baya yang sedang duduk dikursi coklat itu terlihat melamun. Bajunya kumal dan berwarna hitam. Menunggu datangnya sang angin malam.

Tak terdengar langkah kaki, hanya suara angin yang melintas kencang ditelinganya. Bosan. Kata-kata itu terucap jelas dari bibirnya yang berwarna merah, pilu dan sakit rasanya. Jantungku tak beraturan memandang lukisan sang ibu yang berada didekat dinding putih dipojokan kamar. Andaikan saja semua nyata, pasti ada kebahagian dalam diriku. Aku bukanlah siapa-siapa lagi diantara rerumputan yang tumbuh liar ditengah malam. Wanita tua yang aku rindukan kini ada diluar kota. Hanya lukisan kecil yang selalu aku pandang tanpa bosan. Kisah-kisah pilu bersamanya, membuat pikiranku semakin meledak dalam bisikan angin malam.

Kuungkit masa lalu bersamamu, walau kini aku dalam perantauan. Aku selalu memandang lukisan sang ibu. Lukisan yang tak pernah terhapus dalam memori hidupku. Lukisan yang tak tergantikan selama nafas ini masih berhembus. Lukisan cinta yang kau pandang setiap waktu dalam sholatmu. Beribu lukisan kasih yang tak dapat orang lain berikan padaku. Hanya kaulah lukisan terindah dalam jiwaku. Lukisan hati seorang ibu yang tulus dalam setiap hembusan nafasnya.

“Ibu,” gumamku.

Ketika kumelangkah dalam kegelapan, kau selalu memberikan lilin kecerahan dalam hidupku. Ibuku adalah wanita tangguh yang tak mengenal lelah. Wanita yang telah melahirkanku, memperjuangkan nyawanya demi buah hati tercintanya. Nyawanya menjadi pertaruhan dalam hidupnya. Wanita yang selalu mendo’akanku setiap malam tiba.

Ibuku adalah buruh tani. Ibu yang berbadan kurus dan berambut keriting. Wanita yang aku kagumi. Tak banyak yang ingin aku katakan padanya, hanya sebait surat cinta yang ingin aku berikan. Tak ada tangisan yang membanjiri pipiku, tapi air mata batin yang selalu mengalir dalam hatiku. Ibu, andaikan aku kenang masa itu. Aku ingin menjerit dan meluapkan segala kasih sayangmu padaku. Ibu, masihkah kau ingat! Ketika hujan lebat dipinggiran sawah miliki tetanggamu, dirumah tua yang berwarna hijau. Aku setia menunggumu, hingga akhirnya kaki ini melangkah untuk menjemputmu. Hujan deras tak pernah kuhiraukan. Angin besar yang melintas, tak pernah mematahkanku untuk memegang tangan dinginmu. Ibu, tangisanku meledak. Petir yang terdengar keras diatas langit, tak aku hiraukan. Aku merindukanmu, ibu. Aku pun sibuk mencari kunci motor untuk menjemputmu disawah. Sawah yang terbentang luas. Sawah milik tetangga, entah berapa jam kau menunduk mengarit gerombolan padi yang masih tertanam dipetakan. Kau lakukan itu semua, agar kami tak kelaparan.

Dan ketika kendaraan berwarna orange yang bermerek Vega-R ini berjalan menerjang hujan dan petir. Aku yang tak memakai baju mantel dan hanya menggenakan topi berwarna kuning untuk menutupi kepalaku dari hujan. Aku takut terjadi apa-apa denganmu,” gumamku. Dan aku pun menggigil kedinginan diperjalanan.

Melintasi hutan dan jalan yang naik turun gunung. Aku menunggumu didekat kuburan, disebelah rerumputan yang panjang, dan disebelah jembatan berwarna hitam putih. Yah, kulihat kau menangis dari kejauhan. Apa kau sedih melihatku seorang diri, bu? Berdiri dan menenggok kekanan dan kekiri. Seperti orang kebingungan, tak tahu jalan. Aku hanya berdo’a agar Tuhan melindungimu disetiap langkah yang kau tempuh.

Aku melihat bajumu basah kuyup dan kedua tanganmu menggengam setengah karung bulog yang beisi gabah atau padi didalamnya. Kau hanya memakai tudung coklat untuk menutupi kepalamu dari hujan. Aku pun segera menhampirimu, sedangkan teman-temanmu kehujanan berjalan melintasi air yang mengalir dari setiap perjalanan. Ibu, kau adalah harta termewah yang aku miliki dalam hidup ini. Beribu-ribu ucapan ibu dalam hatiku. Dan tak pernah berhenti.

Ibu, andaikan saja aku tak menjemputmu waktu itu. Kau tak akan menangis dan menggenangnya. Hujan yang turun semakin deras dan disertai petir. Tangan ini ingin selalu menggengammu. Wajahmu pucat dan kedua kakimu gemetaran menahan dinginya hujan. Ibu, dulu ketika aku keinginan kau selalu menyelimutiku dalam hangatnya sarung coklat pemberian kakek. Kehangatan dalam tubuhku adalah karena kasih sayangmu. Tapi, ketika kau kedinginan karena hujan aku tak mampu memberikanmu kasih sayang. Hanya pengorbanan yang dapat aku berikan. Maafkan aku ibu?” gumamku dalam hati.

Ibu, aku selalu berharap kau dalam keadaan sehat. Jangan cemaskan aku yang dalam perantauan. Tak ingin kumendengar kau menangis ketika hujan turun. Aku hanya ingin melihat ibu tersenyum. Pengorbannku tak sebanding dengan perjuanganmu ketika merawat dan membesarkanku. Nyawaku pun akan aku pertaruhkan untukmu ibu, karena kau adalah jantung hidupku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun