[caption id="" align="alignleft" width="405" caption="Tsunami Itu"][/caption] Sore ini sebenarnya cerah tapi entah kenapa aku ingin sekali ke sini, tempat kita dulu selalu duduk sehabis latihan fotografi. Di bawah angka 1 yang terbuat dari stainless steel itu. Aku ingin, benar-benar ingin, kesini. Untuk melihat kamu, walau hanya bayang samarmu. Heran, setelah adzan Isya tiba-tiba udara berubah. Gerimis kembali turun. Tak lama hujan kian melebat. Bandung saat ini memang sedang musim hujan. “Pantas tadi panas sekali,” kata seorang laki-laki kurus pada temannya. Mungkin mereka anak-anak Akutansi semester 1. Beberapa memegang Accounting Principles-nya Kieso, beberapa bercerita tentang balance sheet. Arah datangnya tepat dari kelas Pengantar Akutansi. Panas? Ah cerah kok siang tadi, pikirku. Mungkin mereka saja yang kepanasan otaknya memikirkan angka-angka kredit dan debit. Hujan ini ternyata membantuku melihat bayangmu. Di sini, di bawah angka 1. Dulu, kau pernah memberi kehangatan padaku. Ya persis disaat hujan-hujan seperti ini. Saat itu, kita pacaran sudah delapan bulan. Sejauh itu kau baru “bisa pegang tanganku”. Untuk mengelus pipi atau bahkan mencium kening saja kau belum pernah melakukannya. Kontras sekali dengan pembawaanmu yang terkesan berandal. Suatu sore, hari selasa juga seperti hari ini, atau tepatnya malam, kita pulang latihan. Kita selalu sengaja memutar. Melewati FE dan Ruang Seni. “Biar lebih lama bisa pegang tanganmu, Lin!” katamu dengan wajah yang tak berani menatap mataku. Aku tahu kamu pemalu. Karenanya aku tertawa. Ternyata kamu berani juga. Aku setuju saja. Kita selalu diam-diam menyelinap pulang. Hanya Fauzi, Siska, dan Agung yang tahu kita pacaran. Siska dan Agung malah tahu sejak pertama kali aku kenal kamu. He…he…, lucu juga mengingatnya! Aku ingat, saat itu aku sedang mengambil angle masjid dengan Pentax K-1000. Aku berteriak-teriak pada Siska agar menjawab hasil hitungan lightmeter untuk pilar masjid yang terakhir. Saat itu, kamu yang kala itu memakai baju Bad Religion berkata “Pakai F30, 1/125 detik.!”. Aku terheran, seraya mengernyitkan hidungku. Tak lama, “F30, 1/125 detik!” teriak Siska diseberang sana. Kamu tertawa. Astaga……, taring kananmu gingsul, Gi! Sejak saat itu aku menyebutmu Gigi. Itu karena taringmu yang gingsul. Habis, namamu susah sih. Eh, sekarang aku ingat: Sancyaki. Sancay, katamu sambil tersenyum. Aku terkekeh. Memangnya ini Meteor Garden. Aku bilang pada Siska cuma naksir karena pribadi kamu. Kalau dari fisik jelas masih banyak teman lain yang jauh lebih tampan. Tapi kamu punya sesuatu yang lain. Dibalik kesan kamu yang nerd juga nge-punk, aku tahu hati kamu justru lebih halus dari Pram yang menjadi idola mahasiswi-mahasiswi. Aku bilang pada Siska paling cuma sebulan aku naksir kamu. Setelah 6 bulan ternyata aku tetap naksir kamu, Siska mentertawakan aku. Rasain, begitu dia bilang. Aku sudah bilang bingung, tadinya aku tak mau berpacaran denganmu. Sebab banyak yang mengejar aku. Tapi tidak tahu kenapa tahunya mentok juga. Sudah bingung, sebab aku pikir, aku ge-er saja terhadap sikapmu yang kok aneh (he…he…!). Buat seorang yang pemalu seperti kamu, aku menilai itu sesuatu hal yang berani. Biasanya kamu selalu membuat puisi-puisi manis seperti yang aku minta. Tapi saat itu, di dalam mobil Starlet merahmu, kamu mengatakan………, begitu deh! Malu ih mengingatnya! Meski memang tidak seperti yang banyak orang lakukan, aku tahu kalau maksud kamu adalah menjalin hubungan yang lebih. Kamu tidak berkata “Maukah kau jadi pacarku?!” Tapi kau dengan caramu. Dengan hatimu. Gaya pacaran kita umumnya adalah hunting foto. Disana kita melihat berbagai objek, atau kamu berikan jaket lusuhmu untuk menutupi kamera dan badanku dari hujan. Sampai suatu saat, ketua jurusanku tiba-tiba berada di depan kita. “Linda, kenapa kamu biarin teman kamu basah? Kamu kan pakai dua jaket,” tanya ketua jurusanku. Lantas kamu menjawab dengan seenaknya, “Tidak apa-apa kok Pak. Saya lagi cari inspirasi. Lagian gerah.” Aku tersenyum sekaligus terheran-heran. Masa Bandung lagi hujan dan dingin begini disebut gerah. Dasar gokil! Hujannya kian deras Gi! Gi inget tidak Senin dulu itu? Kita lari-lari sambil menenteng kamera dari samping Gedung Sate bagian Barat, terus menumpang berteduh di kanopi gedung yang tadi kita ambil gambarnya. Kita sedikit basah karena angin menyebabkan air hujan tiris. Tiba-tiba kamu selipkan tasmu di antara badan kita. Lalu kamu raih aku dengan lembut, ketika kau melihat aku terkantuk-kantuk bersandar kedinginan. “Ngantuk, Lin?” Sial, sudah tahu begitu kok malah bertanya. Aku pindahkan tasmu ke bawah kaki. Aku sandarkan kepala di pundakmu tanpa penghalang tadi. Pertama setelah delapan bulan berpacaran! Ah! Aku menikmatinya. Meskipun aku ragu dengan kamu. Sekilas aku lihat wajahmu kikuk dan degup jantungmu keras memacu. Kamu salah tingkah. Tapi aku menikmatinya. Aku nyaman berada disamping kamu yang begitu terjaga. Aku yakin bersamamu akan aman. Kemudian aku tertidur sejenak dalam sandaranmu. Terbangun ketika tiba-tiba aku merasakan hembusan hangat berada di depan mukaku. Aku memandangmu. Kau terpaku. Kelopak mataku sayu. Syahdu. Kau bilang, “Tidur ya!” Aku hanya mengangguk. Berharap kamu meneruskan apa yang tadi kamu mau. Jantungku mulai berdetak keras. Berharap sesuatu yang lembut dan indah mengisi hari ini. Kamu diam lama. Lalu menyibakkan rambutku yang basah. Bibirmu meluncur tepat di keningku. Gila, aku hampir kehilangan keseimbangan saking terkejutnya, Gi! Kamu yang begitu pemalu pada perempuan. Tenyata. Kamu memberlakukan aku dengan hormat. Berbeda dengan pacar-pacarku dulu. Disaat seperti ini mungkin mereka bisa berlaku lebih dari apa yang kamu buat. Kamu malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Mungkin itulah cara kamu mengungkapkan rasa padaku. Tidak mengedepankan nafsu. Tapi sungguh itu adalah kelembutan yang luar biasa, menurutku. Kemudian kita berdiam diri dengan tetap pundakmu aku jadikan sandaran. Hujan reda dan kita saling berbimbingan berlari-lari kecil menuju jalanan Cimandiri. Dalam angkot kosong, kau berkata, “Maaf Lin.” Aku heran, dan kau jawab pertanyaanku dengan “Aku tadi terbawa suasana. Bukan maksudku menggunakan kesempatan, Lin. Tadi aku benar-benar ingin melakukannya pada orang pertama yang benar-benar aku sayangi. Kamu kan tahu sendiri biasanya aku seperti apa.” Aku tersenyum dan mengeratkan genggamanku. Kemudian kau menarik tanganku ke depan dadamu lantas sesaat mencium lembut jemariku. Rasa aneh yang nikmat lagi-lagi menyerang ulu hatiku. Ah! Sebuah mobil tiba-tiba lewat di depanku. Kencang. Aku terkejut. Kesal karena bayangmu segera melenyap. Namun himpunan bayangmu datang lagi ketika aku menatap ke depan. Di situ, dulu ada lapangan bola. Entah sekarang, sepertinya sudah tidak ada lagi. Dulu aku sering menunggumu ketika anak-anak Mapala sedang bermain bola, ya di sini ini. Melihat kau teriak-teriak, berlari kencang, dan tertawa terbahak. Sedangkan aku makan kwaci sambil tersenyum sendirian, sampai bibirku jontor. Biasa, gara-gara garam kwaci. Bagaimana tidak jontor melihatmu bermain sambil becanda terus di lapangan. Jelas tak matching dengan posisi kamu, penyerang yang larinya kencang sekaligus piawai menjebol gawang. Wih! Terus agak tersembunyi di sana ada ruang himpunan mahasiswa jurusan IESP yang dulunya markas anak eksponen 66 Bandung. Aku ingat ketika kau, entah dalam rangka apa, diklatsar pecinta alam. Kau lari, bilang mau ke WC tapi malah ke telepon umum di pojok tembok itu. Kau bilang, kau ada dua puluhan uang receh, jadi bisa mengobrol lebih dari setengah jam. Bayangkan, itu sudah hampir jam sebelas malam. Bukan malam minggu pula. Malam jumat. Untung saja ibu dan ayah sedang pergi ke Padang. Kalau tidak, bisa-bisa diintrograsi. Tidak sampai “dinyanyiin” sih, tapi pasti nanyanya aneh. Kamu lalu laporan, “Banyak nyamuk Lin, genit-genit seperti kamu.” Sial, aku disamakan dengan nyamuk. Aku tanya “Gatal tidak?” Jawaban kamu pasti jayus: “Tidak kok, cuma sedikit pedes!” Beberapa hari kemudian kamu bercerita lagi. Katamu, sehabis menelpon aku, kamu “dikasih” norit dan pil kina dalam jumlah yang banyak oleh ketua diklatsarmu. Ha…ha…ha…, rasain! Sebab waktu ditanya ke WC lama benar, kamu jawab sakit perut. Ketua diklatsarmu memang baik. Dia kan harus bertanggungjawab ke rektor. Tapi kasihan juga pas sih dengar kamu mabuk gara-gara kelebihan dosis. Wah… wah…! Banyak kenangan kita ya! Tapi yang paling aku ingat adalah ketika kita tiba-tiba bertemu di pameran buku. Begitu ketemu, aku langsung marah. Sebab sebelumnya kamu batalkan janji kita karena ada perlu katamu. Nyatanya kamu malah ada di pameran buku. Bertiga dengan teman-teman barumu yang berjenggot dan aktif di DKM Masjid Universitas. Tiga bulan sebelumnya, sikap kamu memang menjadi aneh. Kamu seperti orang asing di depanku. Bahkan kamu seakan-akan berusaha menjauh. Meski aku yakin sebenarnya bukan itu yang kamu mau. Wah! Jengkel. Kamu bilang: “Maaf Lin. Tadi aku ada halqah, eh pengajian dulu. Kebetulan memang dekat pameran buku tempatnya.” Aku kesal tapi tidak bisa protes sebab alasan yang kamu bilang pengajian. Biar begini aku masih menghormati orang untuk belajar agama. Kebetulan ayahku memang muslim yang taat. Tiap beberapa bulan sekali dia selalu pergi ke luar kota bahkan luar negeri untuk pergi khuruj. Tapi tetap perubahanmu membuat aku tidak mengerti. Penampilanmu yang nge-punk sekarang berubah menjadi lebih rapih. Sikapmu yang cuek tapi pemalu malah semakin pemalu dan tertutup terlebih kepada teman-teman perempuan. Siska malah pernah bilang kalau kamu sekarang malah hanya tersenyum saja bila disapa. Lantas pergi tanpa berkomentar apa-apa. Begitu juga padaku. Telepon-telepon jenaka dan hangatmu mulai jarang aku dengar. Biasanya kamu nongkrong di tempat jualan gorengan bareng teman-teman mapalamu, sekarang mereka bilang juga tidak tahu keberadaanmu. Padahal aku berharap masih bisa menyusuri jalanan Bandung sambil mencari objek-objek menarik buat kita ambil gambarnya. Bayang-bayangmu lenyap lagi sejenak, saat aku sadar hujan telah habis. Kulangkahkan kakiku meninggalkan angka 1 seraya berbisik, “Kutinggalkan sepotong cinta kita disini, Gi.” Lalu ingatanku melayang pada beberapa hari berselang. Kau yang tadinya menjauhi aku tiba-tiba menghubungiku. Lantas mengajakku untuk mau menerima khitbah kamu. Itu yang kamu bilang tentang melamar dalam bahasa baru kamu. Aku terhenyak. Gila pikirku. Baru sebelas bulan pacaran. Kau bilang kau serius. Sebab Islam mengatur seperti demikian. Kamu tidak ingin aku terjebak dosa yang disebabkan rasa sayangmu kepadaku. “Ini sesungguhnya yang aku mau. Yang sesuai dengan aturan-Nya,” pinta kamu. Aku tahu kamu takut kehilangan aku. Aku terpaku dan tak terasa butiran air mata jatuh membasahi pipiku, “Tidak akan ada yang dapat memisahkan kita, Gi. Asal kamu kembali menjadi Gigi-ku yang dulu!” “Ada. Ada yang dapat memisahkan kita,” jawabmu, “Ada, Lin! Maut dan keimanan kita!” Dadaku bergegup keras. “Ya, maut…..,” sahutku berbisik. “Tapi bukankah keimanan kita sama, Gi? Aku muslim, kamu pun muslim.” “Ya benar. Tapi muslim yang seperti apa?” jawabmu. Lalu kau berikan sebuah buku berwarna putih dengan tulisan merah menyala. Bertulisankan “Sistem Pergaulan Pria-Wanita dalam Islam”. Aku menatap dalam buku tersebut. Biasanya aku kesal apabila kau sudah berbicara tentang pergaulan pria-wanita dalam Islam. Tapi saat itu rasanya nilai buku itu terlalu sakral. Dalam hati aku berjanji akan membaca buku itu dan mengikuti saranmu untuk mendiskusikannya dengan Mbak Novi. Kakak angkatanku yang aktif di DKM Masjid Universitas. Seperti kau saat ini. Tanpa membiarkan aku berbicara lagi, kau lantas pergi meninggalkanku. Di tengah hujan rintik-rintik. Kau hanya berkata, “Tolong pikirkan permintaanku, Lin!”. Kau lantas pergi menuju serombongan mahasiswa yang membawa spanduk & bendera. Esoknya. Tak sengaja kita berjalan bersama. Lalu kita berpisah di unit lima gedung fakultasku. Sebelumnya kau sempat berkata, “Hari Ahad aku akan pergi ke Aceh menjadi relawan disana. Bersama teman-teman. Mungkin sekitar dua mingguan aku disana. Afwan, kalau kemarin aku terlalu memaksa. Aku tunggu jawabanmu sepulangku dari sana.” Aku menggangguk, tak terasa aku menggegam keras buku pemberianmu. Kembali air mataku menetes. Aku ingin mengucap sepatah dua patah kata sebelum kau pergi. Tapi kau mungkin tidak mau kalau aku berkata berduaan. Siska tiba-tiba sudah mengamit lenganku sementara aku masih menatap punggungmu. Rupanya angkot malam ini sudah habis. Kelas fotografi malam ini memang menyita waktuku. Teknik kamar gelap butuh waktu yang banyak. Kuhentikan sebuah taksi. Sopirnya memandangku heran. Biarlah! Terserah apa yang mau dipandangnya melihat seorang cewek sendirian di malam hari. Yang jelas ini hari pertamaku menggunakan kerudung meski belum seperti apa yang dijelaskan dalam buku yang seminggu lalu kau berikan padaku. “Ah Gi, kenapa harus kau,” bisikku. Air mataku menetes. Lagi-lagi menetes. Sekali lagi kugenggam buku putih pemberianmu dan kuraih sebuah koran hari ini dari dalam tasku. Sekali lagi kubaca sebuah berita di kolom kiri atas. Mengenai meninggalnya dua orang relawan Aceh akibat terjatuh ke jurang ketika sedang membawa obat-obatan. Salah seorang dari kedua orang itu adalah kamu, Sancyaki kekasihku. Disudut hatiku, kulihat kau. Lengkap dengan senyum gingsulmu. Catatan Paska Tsunami Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H