Mohon tunggu...
naylah azmi
naylah azmi Mohon Tunggu... -

iam simple person

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata Seorang Pramuria

19 Mei 2013   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:21 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 01.00 dinihari ketika aku perlahan-lahan membuka pintu kamar anakku. Dia sudah terlelap. Aku mendekatinya, lalu duduk di pinggir ranjang. Kupandangi lekat-lekat wajahnya yang ayu dan mengecupnya perlahan.

“Ibu menyayangimu,nDuk…” bisikku pelan. Aku beringsut menuju kamar dan merebahkan tubuhku, melepas penat yang telah hinggap. Perjalanan dari kota tempatku bekerja memang melelahkan.

Hari masih pagi ketika aku bersiap hendak bertolak ke kota. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.

“Ibu berangkat sekarang?” tanya Rika, anakku. Aku mengangguk.

“Kenapa?” tanyaku.

Ndakapa-apa. Kapan Ibu bisa libur?”

“Ibundakpunya hari libur. Mungkin lain kali, Ibu sempatkan untuk libur”.

“Sekarang?”

“Belum bisa sayang. Lain kali ya…” bujukku. Rika terdiam. Aku tahu dia kecewa. Tapi, aku sudah janji dengan Om Darmo untuk menemaninya malam ini. Dengan berat hati, kutinggalkan Rika dan pamit pada Bapak dan Ibu.

***

Aku bercerai dengan suamiku, ketika Rika masih berusia 6 bulan. Dia jatuh cinta pada perempuan lain dan pergi meninggalkan kami begitu saja. Padahal saat itu, aku tidak mempunyai pekerjaan. Berat rasanya harus menghidupi seorang anak yang masih bayi sendirian. Menggantungkan diri pada orang tua adalah hal yang mustahil. Orangtuaku bukanlah orang yang berkecukupan. Sekedar bisa makan saja, adalah menjadi kebahagiaan yang tak terkira bagi kami.

Sejak saat itulah, aku bekerja serabutan. Pembantu rumah tangga, buruh pabrik, hingga sekedar mengangkuti pasir di tempat orang yang sedang membangun rumah, aku jalani dengan semangat. Rika bahkan tak pernah tersentuh susu formula. Sebagai gantinya, aku membuat tajin. Air yang tersisa dari rebusan beras. Warnanya putih seperti susu. Tinggal dicampur garam atau gula secukupnya. Itupun sudah membuat Rika jingkrak-jingkrak kegirangan melihatku membawakan minuman wajibnya itu.

Hingga suatu hari, aku diminta oleh Pak Sardi, tetanggaku, untuk menggantikannya menunggu rumah Mbak Kartika. Pak Sardi berprofesi sebagai penjaga dan tukang kebun di rumah itu. Mbak Kartika termasuk orang terpandang di kampungku. Dalam tiga hari ini, Pak Sardi bermaksud ke rumah anaknya di luar kota. Aku hanya bertugas membersihkan rumah itu.

Aku tak begitu kenal dengan Mbak Kartika, sebab belum tentu sebulan sekali dia kesini. Hanya sesekali aku melihatnya melewati depan rumahku. Dia sepertinya bekerja di luar kota.

“ Kamu Rohmanah?” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.

“ Sa…sa…saya Mbak,” jawabku tergagap mendengar suara itu yang ternyata adalah Mbak Kartika.

“ Nggak usah kikuk, Pak Sardi sudah cerita kok. Sebelum ini, kerja dimana?”tanyanya lagi sambil menuangkan air putih.

“ Apa saja Mbak. Saya mengerjakan apa saja yang bisa saya kerjakan.”

Lalu aku bercerita tentang keluargaku. Semuanya aku ceritakan. Aku melihatnya begitu simpati terhadapku.

Malamnya, sewaktu akan pulang, Mbak Kartika memanggilku.

“ Rohmanah, ke sini sebentar.” Aku menghampirinya lalu berdiri di hadapannya.

“ Duduk, santai saja.”

“Ada apa ,Mbak?”

“ Begini. Aku punya pekerjaan bagus untukmu. Kamu akan bekerja di tempat yang sama denganku. Kamu lihat sendiri hasilnya kan?”Aku terdiam.

“ Nggak usah memikirkan ijazah. Yang penting kamu mau tidak?” katanya lagi seolah tahu permasalahanku.

“ Saya akan bicara dulu pada orang tua, Mbak..”

“Baiklah, besok jawabanmu aku tunggu. Soalnya, lusa aku sudah kembali ke kota”. Aku mengangguk.

Di rumah, aku terus memikirkan tawaran Mbak Kartika. Aku memang belum tahu pekerjaannya, tapi aku yakin bisa mengubah kehidupan kami. Kuberanikan diri untuk meyakinkan Bapak dan Ibu, bahwa tawaran itu sangat menjanjikan. Mereka menyetujui keinginanku.

Akhirnya, aku dan Mbak Kartika berangkat. Kutitipkan Rika pada Bapak dan Ibu. Dia meronta ketika aku melepas gendongan dan melihatku melambaikan tangan. Ingin sekali aku kembali dan memeluknya sekali lagi. Tapi aku harus kuat.

Di dalam kereta, air mataku terus bercucuran mengingat perpisahan ini. Selama dua tahun kami selalu bersama. Dia adalah semangatku, urat nadi dalam hidupku.

“Hidup kita pasti lebih baik sayang”, desisku perlahan.

Kereta berderak-derak menuju kota tujuan kami. Empat jam kemudian,. Kami turun di sebuah stasiun kota. Dengan menumpang becak, kami menuju kontrakan Mbak Kartika yang tidak terlalu jauh dari stasiun.

“Hari ini, kita beristirahat dulu. Besok, baru mulai kerja.” Kata Mbak Kartika begitu kami sampai di rumahnya. “Sekarang mandilah dulu. Itu kamarmu”. Aku mengangguk. Setelah mandi, aku pun terlelap.

Paginya, aku dibangunkan oleh Mbak Kartika. Dia sudah cantik dengan celanajeansdan kaus ketatnya. Setelah kami sarapan, kami menuju sebuah salon di kawasan kota. Sasha Salon . Di sana, kami menemui seorang wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik.

“Mam, aku bawa barang baru nih,” kata Mbak Kartika pada wanita itu. Dia lalu memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu kepalanya manggut-manggut dan tersenyum manis padaku.

“Adik mau kerja disini?”Aku mengangguk.

“Oke Karti, mulai hari ini, ajarilah dia”.

“Baik Mam. Pokoknya Mami terima beres deh,” jawab Mbak Kartika sambil mengerling ke arahku.

Pagi itu memang belum begitu banyak pengunjung. Kami duduk-duduk di salah satu sudut ruangan.

“Mbak, sayanggakbisa motong rambut….”

“Bukan itu pekerjaan kita. Tunggu saja nanti.”

Lama juga kami menunggu. Sekitar pukul 15.00, datanglah seorang laki-laki setengah tua menghampiri kami.

“Hallo sayang…,” sapanya sembari mengecup pipi Mbak Kartika. Aku terperangah.

“Baru?” tanyanya sambil memandangku.

“Ah…Om,nggakbisa lihat barang mulus,” kata Mbak Kartika mencoba merajuk. Keduanya lalu tertawa. Mbak Kartika lalu menggandeng lelaki itu ke dalam sebuah kamar. Bagian dalam salon memang disekat menjadi beberapa ruangan.

“Ayo…” ajak Mbak Kartika ketika melihatku duduk terpaku. Aku terdiam.

“Hei, ayo…”. Lanjutnya sambil menarik tanganku.

Aku mengikuti langkah mereka memasuki kamar. Kulihat lelaki itu membuka seluruh pakaiannya kecuali pakaian dalamnya, lalu berbaring di atas ranjang. Perlahan-lahan, Mbak Kartika mulai memijat tubuh lelaki itu. Sesekali kulihat tangan lelaki itu meraba-raba bagian tubuh Mbak Kartika lalu keduanya cekikikan.

“Mudah kan? mau coba?” Tiba-tiba Mbak Kartika menoleh padaku. Aku tergagap. Dengan takut-takut, kucoba menyentuh bagian tubuh lelaki itu. Aku mendengar nafas memburu.

“Aku tinggal sebentar ya?” kata Mbak Kartika keluar kamar sambil tersenyum.

Tiba-tiba lelaki itu terlentang menghadap ke arahku. Matanya nanar penuh nafsu. Aku gemetar, tetapi aku teruskan untuk memijat. Tangan lelaki itu lalu memegang tanganku.

“Disini. Pijat daerah sini!” hardiknya sambil mengarahkan tanganku untuk menyentuh bagian atas kakinya. Aku mencoba menarik tanganku kembali.

“Kenapa?” tiba-tiba Mbak Kartika masuk dan menatapku. Aku hanya bisa menunduk. “Keluarlah.” Aku segera keluar memenuhi perintah Mbak Kartika sambil meneteskan air mata.

***

“Kamu kenapa?” tanya Mbak Kartika begitu dia selesai dengan pekerjaannya.

“Saya…saya tidak bisa melakukannya, Mbak…” jawabku hampir menangis. Mbak Kartika menghela nafas panjang.

“Terserah padamu. Aku cuma mau katakan, pekerjaan ini sangat menjanjikan. Kamunggakbutuh modal. Kamu cuma belum terbiasa. Percayalah, kamu pasti bisa…”

Aku benar-benar menangis. Terbayang olehku wajah Bapak, yang selalu basah oleh air wudhu. Juga nasihat Ibu yang selalu mengingatkanku untuk berpuasa padawetonRika. Isakanku semakin menjadi.

“Bagaimana?” tanya Mbak Kartika. Hanya isakanku yang terdengar.

“Baiklah, tenangkan dirimu”. Aku masih terisak-isak menenangkan diri. Mbak Kartika menungguiku sambil mengusap-usap punggungku. Setelah agak tenang, barulah aku bicara.

“ Mbak, saya akan coba…,” kataku akhirnya memberi keputusan. Mbak Kartika tersenyum lega.

Tidak berapa lama kemudian, datanglah seorang laki-laki menghampiri kami. Mbak Kartika menepukku. Aku menggandeng tangan lelaki itu memasuki kamar. Dibukanya seluruh pakaiannya. Perlahan-lahan aku memijat tubuhnya. Aku masih gemetar. Dadaku berdegup kencang. Aku merasa tubuhku tidak di ruang ini. Hingga tanpa kusadari, kubiarkan lelaki itu melucuti seluruh pakaianku. Rasa malu ikut terlucuti bersama pakaianku yang jatuh satu per satu.

“Rika….maafkan Ibu Nak…,” batinku. Aku pasrah. Demi masa depan, kukorbankan harga diri dan tubuhku.

Setelah kejadian malam itu, kulalui hari-hari selanjutnya dengan lebih tenang. Benar ucapan Mbak Kartika. Itu cuma soal kebiasaan. Tahun demi tahun berlalu. Kehidupan keluargaku semakin membaik. Bahkan bapak dan ibu bisa naik haji dari penghasilanku. Mereka tidak tahu pekerjaanku yang sebenarnya. Mereka hanya tahu, aku memiliki salon di luar kota. Hasil kerjasama dengan Mbak Kartika. Rika pun sudah kuliah di salah satu universitas terkemuka di kota kami.

Pagi itu, tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ternyata dari ibu.

“Hallo…”

“Rohmanah,nduk…cepat pulang!! Anakmu…anakmu ditangkap polisi…”. Kudengar kepanikan dalam nada suara ibu.

Deg! Aku tercekat.

“Ada apa?” batinku. Aku segera bertolak ke rumah. Pikiranku berkecamuk.

Di rumah, Bapak dan Ibu menangis menerima kedatanganku.

“Oalah…nduk…nduk…wirang tenanaku…,” seru Ibu sambil memelukku. Aku berusaha tenang.

Tanpa bertanya lebih banyak, kami bergegas ke kantor polisi. Dari keterangan polisi, aku mengetahui semuanya. Badanku gemetar. Air mataku menitik. Kuhampiri Rika, lalu memeluknya.

“Kenapa kamu juga harus menjual diri sayang?” bisikku di sela isakan kami. Badanku terkulai lemas dan tiba-tiba semua nampak gelap. Gelap sekali.”

Catatan :

Nduk = genduk                       :  panggilan sayang untuk anak perempuan di daerah Jawa.

Weton                                     : hari lahir menurut hitungan Jawa

Wirang tenan                           : malu sekali

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun