Mohon tunggu...
Nathalie Swann
Nathalie Swann Mohon Tunggu... -

Just Nathalie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Kembali ke Pelukmu

22 Desember 2013   20:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bengkulu,22 Desember

Yang tersayang, Ibu...

Bu, apa kabar hari ini? Ibu sehat, kan? Bagaimana kakinya, bu? Sudah tidak sakit lagi, kan?

Itulah, ibu malas sekali kalau kusuruh memakai sendal. Padahal, jam empat subuh ketika kantuk masih mengepungku, ibu sudah berjibaku didapur, merebus daun singkong, serta mengulek sambal terasi. kedua makanan itu sengaja kupesan sore kemarin, untuk kubawa ke TK pagi ini. Ah, sepertinya telingaku menangkap sayup suara mesin cuci, apa sepagi ini ibu juga sudah mencuci? Tuh, kan, pasti kaki ibu kedinginan lagi.

Ibu, esok, usiaku genap seperempat abad. Wah hebat, ya.. sudah setengah dari usiamu, bu. Kalau saja setahun atau dua tahun yang lalu jodohku telah sampai, mungkin aku sudah sehebat engkau, menjadi seorang ibu juga. Bagaimana rasanya, bu? Kata orang amat menyakitkan, sampai harus bertaruh nyawa. tapi mengapa ibu masih mau melahirkan tiga anak lagi, setelahku? Ibu benar-benar wanita hebat! Lima jempol buat ibuuuu.

Bu, waktu berlari teramat cepat, ya..Rasanya baru kemarin ibu menyerahkanku kepada ama untuk diasuh. Tenang, bu, aku sekarang sudah tak menyalahkan ibu,kok. Hanya saja dulu, ketika otak kanak-kanakku belum mampu mencerna dengan bijak, aku selalu bertanya, kenapa bukan ibu dan ayah saja yang mengasuhku? Apa benar, ibu tak menginginkanku? Kata mereka usiaku empat bulan kala itu. Bukankah seharusnya aku masih bergelung didada mu? Merambah wajah ibu dengan jemariku yang terulur, menggapai-gapai.. Bukankah seharusnya aku menangis keras-keras ditengah malam, membangunkanmu dari tidurmu yang tak pernah lelap? Seharusnya begitu kan, bu? Hanya seharusnya.

Aku tidak ingin lagi menggugat masa lalu, bu. Sungguh! di dua puluh lima tahun usiaku ini, banyak hal yang telah kusadari, termasuk alasan ibu menitipkan aku kecil kepada ama selama belasan tahun. Tak mudah bagimu kan, bu? Pegawai negeri berpangkat rendah, dengan suami yang pekerjaannya tak menentu. Hari ini di hutan, esok di rantau, kemana lagi ibu harus menitipkanku kalau bukan kepada ama, nenek kandungku? Hanya 72 kilometer jarak memisahkan kita, harusnya tak masalah, bukan? Ya, bu. Kini aku paham, tidak apa-apa.

Ibuku yang terrrrrsaaayaanng.. tapi maafkan aku ya bu. Dulu, duluuuuu sekali, aku pernah meragukanmu. Mungkin karena kita hanya bertemu sebulan sekali, tepat diawal bulan sehabis ibu gajian. Waktu itu, kebahagiaan ku melihat ibu hanya  sebatas banyaknya buah tangan yang ibu jinjing di kiri kanan. Atau hanya sebatas rupiah yang nantinya akan ibu tinggalkan saat kembali pulang, rupiah yang nantinya akan kuhabiskan bersama teman. Aku bangga benar, ketika mereka merapat, mengantri, demi sepotong es lilin dan sebungkus nasi kuning ang kutraktir, mereka akan berlomba-lomba berbuat baik dan tersenyum manis kepadaku, maniis sekali, bu. Uang saku yang ibu berikan itu tak kan pernah cukup sampai seminggu, dan selama itu pula pertemanan kami berpautan, selebihnya? Kembali gersang. Mereka menjauh lagi,bu. Ah tak penting, yang penting aku memiliki mu, ibu.

Bu, masa-masa sekolah dulu memang tak selalu manis. Aku yakin, ibu masih ingat masa kelam itu. Masa dimana egoku sebagai remaja, mengalahkan segalanya. Masa transisi yang begitu pahit, dimana seorang gadis kecil penuh prestasi, yang selalu menggenggam kata 'juara' ditangannya, kebanggaan semua orang, berubah drastis menjadi monster remaja, yang hanya tahu aturan yang dibuatnya sendiri. Tidak ada yang menyukaiku, tetangga, teman, guru-guru, semua menganggapku sampah, pembuat onar. Gadis bengal yang selalu menciptakan masalah, Aku bahkan mengira tak ada yang kan peduli padaku, bahkan juga ibu.

Aku ingatn benar, hari ketika ama dipanggil ke sekolah karena sudah enam bulan aku tak menyetorkan uang SPP. Ama dan lainnya shock, kecewa, marah bukan main. Tapi ibu tidak, ketika engkau datang, ibu tak berucap apa-apa, engkau hanya menangis. Entah apa aku sadar, bahwa tangis mu saat itu adalah pembuka salah satu pintu neraka bagiku. Yang aku tahu, setiap perbuatanku kulakukan sebagai bentuk pemberontakan, bentuk keberatanku, juga rasa tak terima atas keputusan mu. Mengapa ibu tak menginginkanku?

Duh, ibu..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun