Mohon tunggu...
Salmah Naelofaria
Salmah Naelofaria Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

\r\n\r\nMenulislah... \r\nMenulis itu pelita bagi pembaca :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kearifan Lokal dan Pendidikan Indonesia

5 November 2015   09:25 Diperbarui: 5 November 2015   10:03 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selama ini pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan guna meningkatkan SDM tangguh menghadapi global. Hal tersebut menggenjot angka-angka prestasi nasional ataupun internasional yang dicetak oleh masyarakat didik Indonesia. Namun, sepintas lalu keadaan tersebut tidak bertahan lama. Zaman yang semakin mengubah paradigma masyarakat Indonesia kian membiaskan segala nilai dari hasil kognitif yang diperoleh dalam dunia pendidikan. Kiblat masyarakat yang telah berbalik ke dunia barat menjadikan segala kompleksitas akademik merebahkan sandarannya ke pangkuan negara maju di dunia. Plagiat budaya mulai menunjukkan indikasi yang semakin mencemaskan bangsa.

Pendidikan di negara kita mulai mengedepankan segala hal yang berkaitan dengan tantangan globalisasi. Generasi disiapkan untuk melek teknologi, politik dan berbagai skill yang menunjang kesuksesan di kancah dunia. Pencapaian dalam kancah dunia tersebut menjadikan segala keragaman yang ada di negera Indonesia sendiri mulai dimarginalkan. Tidak ada kebanggan tersendiri akan potensi negara maupun menjadikan negara sebagai landasan dalam meraih suatu tujuan. Fenomena-fenomena yang mengkhawatirkan mulai bermunculan. Pemaksaan kebijakan maupun target pada setiap jenjang pendidikan mulai menjamur, untuk meraih suatu nilai yang baik sekalipun manipulasi data dan informasi sering dilakukan. Perilaku kejujuran dalam lintas akademik sering ternodai. Adanya kecurangan-kecurangan pada prosesi ujian nasiona hampir setiap tahun kita temui. Kelompok-kelompok yang mengambil kesempatan dalam kesempitan juga sering beraksi demi sebuah reputasi.

Pendidikan lebih mengedepankan prestasi kognitif daripada implementasi ilmu itu sendiri. Dunia akademik berubah menjadi dunia hegemoni yang saling mengalahkan satu sama lain. Sekolah X dan sekolah Y saling sikut menyikut meraih kuantitas siswa yang lebih tinggi demi merebut posisi sekolah yang terakui. Namun sayang hal tersebut tidak diikuti dengan persaingan kualitas dan mutu lembaga itu sendiri. Begitukan arah dari globalisasi?

Semakin banyaknya tuntutan globalisasi, semakin banyak pula pola pendidikan bahkan masyarakat didik yang tidak terkendali. Sebagai contoh, mahasiswa yang diwajibkan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah pada akhir studinya menjadikan itu sebagai beban yang bisa dialihkan kepada pihak lain. Produksi karya tulis ilegal berceceran dimana-mana. Di satu sisi, kedua belah pihak sedang melakukan transaksi simbiosis mutualisme. Mahasiswa tidak ambil pusing akan tugas akhir, dan si pemberi jasa mendapatkan imbalan yang sesuai. Namun di sisi lain, ada nilai yang bergeser dari fenomena tersebut. Dimana letak kejujuran masyarakat didik yang telah mendapatkan pengajaran di sekolah maupun perguruan tinggi? Dan dimana letak nilai kerjasama masyarakat serta lembaga pendidikan sehingga ada pihak ketiga yang besedia memudahkan mahasiswa mengelabui institusinya?

Ada yang terabaikan dari pendidikan Indonesia selama ini. Kita telah melupakan kearifan lokal yang selama ini sudah menyumbangkan jembatan keseimbangan bagi hidup kita. Kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal ini sering disebut sebagai ”local wisdom”.

Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Hal ini merujuk kepada budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita dari zaman terdahulu. Konflik yang terjadi dapat dijawab dengan mengandalkan kearifan lokal sebagai pembatas. Ada tujuh ciri kearifan lokal yang memperkuat kedudukannya sebagai rujukan tambahan perbaikan pendidikan negara kita, (1) berdasarkan pengalaman, (2) teruji setelah digunakan berabad-abad, (3) dapat diadaptasi dengan kultur masa kini, (4) terpadu dalam keseharian masyarakat dan lembaga, (5) lazim dilakukan oleh individu masyarakat, (6) bersifat dinamis, (7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan.

Pendidikan berbasis kearifan lokal membantu generasi muda kembali menemukan budaya lokalnya, sehingga mampu mengapresiasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong royong adalah salah satu contoh nilai kearifan lokal masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Gotong royong sebagai pranata solidaritas dapat diimplementasikan dengan kerjasama masyarakat belajar dalam memecahkan persoalan pegetahuan secara bersama, baik di dalam maupun di luar kelas. Gotong royong sangat berpengaruh kepada sikap kerjasama dan toleransi terhadap sesama. Jika disusun, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Persaingan masyarakat belajar tidak hanya terhenti pada satu titik yang dinamakan value kuantitatif, namun persaingan tersebut sehat, tanpa menyikut dan menjelma dalam tingkatan kualitas yang hebat.

Hausnya pendidikan akan jamuan-jamuan budaya lokal menjadi salah satu faktor keringnya moralitas bangsa kita. Pepatah-pepatah daerah juga merupakan sumber kearifan lokal yang bisa kita jadikan senjata menghadapi arus kehidupan. Sebagai contoh pepatah di Batak Angkola ” Tor tu tor marsitatapan, rura tu rura marsitopotan” yang artinya Orang pintar harus mengajari yang lain, yang tidak pintar harus mau belajar. Atau pepatah Minang tentang mufakat, ”Bulek ai dek pambuluah, bulek kato jo mupakkek” artinya bulat air karena pembuluh, bulat kata dengan mufakat. Dari dua pepatah lokal tersebut bisa kita ajak generasi kita untuk tahu bahwa sesama manusia harus saling membantu, kerjasama serta mufakat. Jika nilai kearifan lokal ini dibudayakan oleh guru kepada anak didik, maka tidak banyak dari mereka yang saling menjatuhkan satu sama lainnya.

Dengan demikian, budaya global yang sulit difilter oleh generasi muda rentan perubahan dapat dibiaskan dengan merevitalisasi kembali kearifan lokal yang pada dasarnya sudah menyiasati dari awal bagaimana menelaah permasalahan kehidupan masa kini. Pendidikan adalah ladang generasi hebat, sedangkan kearifan lokal adalah bibit yang mampu menyokongnya, jika keduanya disandingkan maka segala tantangan akan tetap bisa ditundukkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun