Mohon tunggu...
Rino Sundawa Putra
Rino Sundawa Putra Mohon Tunggu... -

Mengalirlah seperti air, pada akhirnya akan bermuara pada satu tempat... (Been a Journalist, freelance writer, teach)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Patologi Politik dalam Implementasi Otonomi Daerah

3 Mei 2012   05:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 2638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Patologi politik dalam pelaksanaan otonomi daerah memberi pengertian keterlibatan birokrasi daerah dalam membentuk afiliasi politik yang ada di daerah, (Partai dan elit politik daerah), baik itu secara etika politik dan etika kepegawaian negeri sipil itu tidak bisa dibenarkan. Birokrasi yang seharunys netral, tidak terpengaruh oleh sebuah konstelasi politik, terseret dalam ranah yang akan memasung independensi birokrasi daerah. Pengertian patologi disini mengandung pengertian sebab akibat yang satu sama lain saling berakitan, patologi politik akan menyebabkan patologi birokrasi.

Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah..

Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik menjadi "kue" yang menjanjikan bagi para pejabat publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi.

Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Bisa dibayangkan kalau birokrasi dihadapkan pada persoalan politis seperti ini, produktifitas dalam melakukan pelayanan publik akan terganggu. Akan ada gap dan yang lebar antar pejabat, antar Dinas, karena situasi yang serba politis akan menjadi pertimbangan utama dalam mengelola birokrasi daerah, dan hal ini akan berpengaruh kepada ketidak-solidan struktur birokrasi yang ada di daerah dalam melakukan pelayanan publik.

Menurut Webber (1948), , bahwa birokrasi merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting sebagai pemegang kunci berjalannya sistem birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya.

Pada akhirnya, akan terjadi patologi birokrasi seperti yang diuangkapkan oleh webber, yang menekankan pada adanya dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam menjalankan sistem birokrasi (penyalahgunaan wewenang). Artinya, bila kepala daerah dalam mengelola birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi dalam melanggengkan kekuasaannya daripada melanggengkan pola kerja yang berorientasi terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi.

Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah ada ditangan kepala daerah terpilih. Dalam hal ini, bagaimana kepala daerah terpilih dituntut untuk bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi dukung mendukung dalam tubuh birokrasi menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan kelompok yang tidak mendukung dan menyokong kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh. Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan dis-harmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan masyarakat ini.

Kepala daerah memang jabatan politik, tetapi dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang mempunyai kapasitas sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan daerah, kepala daerah harus memerankan konsep manajerial yang utuh dalam menata birokrasi agar terjadi harmonisasi dan sinergitas dalam tubuh birokrasi. merupakan garda terdepan dan ujung tombak pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah daerah. Jika terjadi dis-harmonisasi atau resistensi pada tubuh birokrasi akibat ekses Pemilukada yang tidak bisa diredam, maka program-program yang selama ini diusung dalam kampanye mungkin tidak akan tercapai.

Wacana Memutus Mata Rantai

Pertanyaan yang kemudian muncul dari implikasi-implikasi negatif implementasi Otonomi Daerah ini adalah bagaimana memutus mata rantai keterkaitan birokrasi dan para aparaturnya ke dalam ranah politik. seperti yang sudah penulis gambarkan diatas, bahwa persoalan tarikan politik ke dalam struktur birokrasi adalah masalah klasik, dan persoalannya hanya terletak pada pergeseran domain politik dari pusat ke daerah, maka pendekatan sebagai jalan memutus mata rantai tersebut adalah menggunakan pendekatan sistem politik. bagi penulis, Otonomi Daerah tidak terlalu identik dengan perubahan sistem politik. Demokratisasi secara liberal yang terjadi ditingkat nasional tidak serta merta memberikan keharusan dan syarat mutlak bagi pelaksanaan otonomi daerah, karena fokus otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerataan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun pelaksanaan otonomi Daerah harus memperhatikan prinsip demokrasi, ternyata tidak ada korelasi posistif antara Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan kualitas pelayanan publik di daerah, justru yang terjadi adalah kecenderungan adanya patologi politik yang berakibat pada patologi birokrasi yang penulis paparkan diatas. Ini adalah persoalan teknis pelaksanaan prinsip demokrasi, artinya bagaimana otonomi daerah ini bisa membangun teknis pelaksanaan demokrasi, tapi disisi lain menutup ruang bagi birokrasi untuk bermain dalam wilayah politik.

Untuk menghasilkan seorang kepala daerah yang berkualitas, menyerap aspirasi masyarakat, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan tugas dan persoalan yang ada di daerah, diperlukan sistem yang mempunyai korelasi posistif. Bila selama ini kita menganggap Pemilihan Kepala Daerah langsung merupakan formula yang baik untuk menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan menghasilkan aparatur birokrasi yang berkualitas, ternyata dengan fakta-fakta yang terjadi tidak menunjukan korelasi seperti itu. Pendekatan sistem politik dan prinsip demokrasi ini mengacu pada bagaimana teknis berdemokrasi yang bisa meminimalkan kecenderungan-kecendendungan yang bersifat negatif. Wacana-wacana yang selama ini muncul sebagai respon adanya patologi politik dan patologi birokrasi yang penulis paparkan memang sudah bermunculan, diantaranya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun