Mohon tunggu...
Mulyadin Permana
Mulyadin Permana Mohon Tunggu... Antropolog Universitas Indonesia -

Everything needs process, your process is your future

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perseteruan Identitas di Pilkada Jakarta

29 September 2016   00:13 Diperbarui: 29 September 2016   00:20 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengenai Amerika, tidak ada satu pun peristiwa sejarah di Indonesia yang terlewatkan sejak Indonesia merdeka, terlebih-lebih sejak masa Orde Baru yang disokong oleh Amerika, hingga saat ini. Bagi Amerika, Indonesia adalah negara yang sangat penting baik dalam hubungan politik, ekonomi, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, maupun sebagai mitra strategis untuk mengontrol kekuatan komunis di Asia.

Masih ingat kenapa Timor Timur direbut oleh Indonesia ketika krisis Lisabon tahun 1975? Tidak lain karena kelompok Fretelin Timor Timur ingin membentuk pemerintahan kiri merdeka yang bersikap responsif terhadap Tiongkok. Angkatan Darat tidak mungkin membiarkan Indonesia berdampingan dengan negara baru dengan kekuatan komunis, sehingga aksi militer menjadi pilihan Soeharto ketika perundingan dengan Portugal tidak pernah terjadi. Saat itu, Amerika sama sekali tidak keberatan dengan operasi militer yang dilakukan oleh Soeharto yang hasilnya dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh sebuah negara.

Pembelaan hak-hak asasi oleh Amerika Serikat mungkin mempunyai motif-motif yang baik, namun Amerika dikenal sebagai negara adidaya yang sangat memusuhi komunis sepanjang sejarah perang dingin tahun 1947 sampai 1991. Bahkan, Amerika memproyeksikan suatu citra “Flash Gordon”: seorang pahlawan super kulit putih yang terbang ke angkasa luar untuk membebaskan rakyat planet Mongo dari penindasan Ming yang ingin menghancurkan bumi. Ming the Merciles, seorang penguasa kulit kuning, digambarkan sebagai penindas oriental. Tokoh superhero Flash Gordon diangkat dari Comic Strip era 1930-an, artinya sentimen identitas terhadap komunis berkulit kuning itu sudah lama dikonstruksi.

Secara ideologis, Golkar tidak akan mendukung Ahok jika masih memegang ideologi pendiri Golkar, Orde Baru, di mana Soeharto tidak pernah suka dengan Poros Jakarta-Peking. Namun, kelompok yang menguasai Golkar saat ini adalah pengusaha, bukan militer, apalagi ketua umum Golkar Setya Novanto disebut-sebut sebagai keturunan etnis Tiongkok. 

Ideologi militer saat ini ada dalam Partai Demokrat. SBY yang lama mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat, mengadopsi Partai Demokrat Amerika sebagai nama partai yang didirikannya tahun 2002, sehingga mengusung Agus Yudhoyono yang pernah dididik oleh Amerika sebagai calon Gubernur adalah pilihan ideologis.

Memang, tidak menarik membicarakan sentimen identitas di masa pemilu, agak sensitif. Lebih baik berbicara program apa yang diusung oleh para kandidat untuk membangun Jakarta. Masyarakat Jakarta yang merupakan pemilih rasional akan memilih calon gubernur yang benar-benar hadir untuk rakyat. Mereka tidak akan terprovokasi secara destruktif oleh identitas calon gubernur yang berbeda.

Namun, saya ingin mengingatkan bahwa kita tidak boleh terjebak pada istilah pembangunan dan program pembangunan. Pembangunan boleh jadi, meminjam istilah Bourdieu, sebagai “symbolic violence” yaitu kekerasan atau penindasan simbolik terhadap rakyat melalui investasi asing, akumulasi modal, eksploitasi lingkungan dan penggusuran-penggusuran atas nama pembangunan. Garis politik “berdasarkan program” pun telah dilakukan selama Orde Baru yang memang melahirkan stabililitas, pembangunan fisik dan kemajuan ekonomi, tetapi terjadi keruntuhan demokrasi.

Orientasi membangun Jakarta melalui program-program fisik jangan sampai meruntuhkan esensi demokrasi yang meniscayakan pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Membangun Jakarta bukan hanya secara fisik dengan melupakan rakyatnya, tetapi juga memberdayakan, memajukan dan memanusiakan manusianya. Demokrasi berkualitas dan pembangunan fisik yang humanis adalah tujuan Jakarta ke depan.

Oleh karena itu, perbincangan soal perseteruan identitas di Pilkada Jakarta tidak lebih menarik daripada isu kemacetan dan banjir yang harus segera diselesaikan. Soalnya, malu punya negara yang ibukotanya selalu kebanjiran dan semakin macet dari hari ke hari. Entah dengan memindahkan ibukota ke daerah lain atau Provinsi Jawa Barat yang sangat luas mau berbaik hati menyumbangkan wilayahnya untuk pelebaran Jakarta. 

Semuanya harus dibicarakan serius karena menyangkut aturan yang harus diubah, pembangunan fisik, perubahan tata pemerintahan dan birokrasi, dinamisasi ekonomi dan politik dan persoalaan sosial budaya di masyarakat. Kalau persoalan sentimen identitas, hanya menjadi pembicaraan back stageuntuk mendulang dukungan kelompok atau finansial bagi para cagub. Namanya juga sentimen identitas, ya sifatnya representasi kolektif kelompok, tidak general atau bukan untuk konsumsi publik.   

Dari semua hal itu, ada satu yang harus diingat bahwa tidak mudah menjadi Gubernur Jakarta, selain harus menyelesaikan semua persoalan pelik yang ada, juga bakal jadi korban su’udzon kapan saja. Para kandidat akan dituduh macam-macam, mulai dari mengusung kepentingan politik si ini dan si itu, memperjuangkan keinginan pengusaha ini dan itu, didanai si asing dan si aseng atau si arab, beredar isu SARA, sampai identitas Ahok sebagai keturunan Tiongkok, Anis Baswedan etnis Arab dan Agus Yudhoyono pemuda lokal dukungan Amerika akan diperbincangkan seantero jagad. Hal itu tidak bisa dihindari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun