Mohon tunggu...
Muhammad Lutfi
Muhammad Lutfi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang anak SMA yang sedang berusaha lullus Ujian Nasional !

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penulis Indonesia: Mengidolakan Negeri Tetangga

22 Januari 2014   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kali ini saya akan membahas tentang tren para penulis-penulis sekarang. Walaupun sebenarnya saya juga orang baru di kegiatan tulis menulis, tapi ada kegelisahan yang ingin saya sampaikan. Saya sering melihat para penulis-penulis indi, yang membagikan karyanya, cerpen maupun novel dengan menggunakan judul Bahasa Inggris. Sepertinya bukan ha lasing bagi kita. Tapi ada keprihatinan tersendiri dari saya ketika Bahasa Indonesia tidak Tren di negaranya sendiri. Sempat saya bertanya-tanya. Untuk apa menggunakan judul Bahasa Inggris, padahal isinya ditulis dengan Bahasa Indonesia? Apa karena penerbit? Atau biar dikira karya terjemahan? Atau hanya untuk tren semata. Padahal tidak ada salahnya kita menggunakan judul dengan Bahasa Indonesia, bahkan bahasa jawa seperti yang ditulis Dukut Imam Widodo yang berjudul Monggo Dipun Badok. Dan dijual dengan harga yang tidak murah tentunya. Malahan bisa membuat orang-orang penasaran dan dengan isi yang berbobot tentunya. Menurut saya kalau judulnya menarik dan isinya pun cukup membuat kita berdecak kagum tidak ada salahnya kita menggunakan bahasa milik kita sendiri. Walaupun itu juga tergantung penulisnya masing-masing

Akhir-akhir ini saya juga kerap menemui para penulis menggunakan setting luar negeri, dan ada kebanggaan tersendiri ketika ia bisa menulis dengan setting luar negeri, walaupun para penulisnya kurang jeli dalam menggambarkan keadaan di luar negeri. Karena yang perlu deiperhatikan tidak hanya setting, tapi budaya, kebiasaan, suasana itu harus digambarkan secara detail untuk membuat para pembaca terbawa dalam suasananya. Sebagai contoh karya Umar Kayyam yang berjudul Seribu Kunang-Kunang di Manhattan dia menggambarkan dengan sangat detail suasana disana, karena dia pun juga pernah kesana, jadi istilahnya kalau akan muda bilang “nggak nanggung”. Lagipula di Indonesia pun masih banyak hal-hal yang menarik. Bahkan menurut saya Indonesia adalah ladang subur bagi para penulis. Bagaimana tidak? Kita mempunyai puluhan ribu budaya, bahasa, suku yang terbagi di ratusan pulau di Indonesia. Itu sangat menarik untuk dibahas. Seperti halnya karya-karya Pram, dia sanggup menggambarkan tradisi, budaya dan politik masyarakat pada masa itu.

Alhamdulillah kalau bisa diterima, dan saya juga rela untuk dihujat. Karena perasaan ini timbul dari sikap nasionalisme saya. Saya juga penulis awam, bahkan mungkin lebih awam daripada anda-anda yang membaca artikel ini. Tapi ada gejolak idealisme dari saya yang gelisah terhadap kenyataan seperti ini. Saya berharap artikel ini bisa menjadi renungan kita bersama, terlebih untuk Negara ini. Negara terkaya di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun