Keliling ke beberapa negara dengan gratis, siapa yang tidak mau? Pasti semua orang mau jika ada kesempatan itu. Sayangnya keinginan semua orang tidak sebanding dengan usaha. Kalau punya keinginan, ya harus dikejar. Impian itu soalnya bukan sesuatu yang diam, dia terus bergerak. Bergerak dalam hal ini adalah dia dimakan oleh waktu, diinginkan oleh setiap orang, dan lagi-lagi ia juga hanya menghampiri mereka yang sekiranya percaya akan kehadiranya.
Saya ingin bercerita sedikit mengenai pribadi saya. Sebelumnya saya sangat bersyukur kepada Tuhan diberikan kesempatan menginjakan kaki di 4 negara ASEAN dalam waktu 8 bulan. Lebih beruntung lagi, selama saya ke sana hanya bermodalkan badan dan pakaian saja. Kalau dianggap seperti mimpi, saya bisa katakan “ya" bahkan sangat mimpi. Namun, semua itu tentu tidak diraih dengan mudah. Waktu dan tenaga dihabiskan untuk mengejar impian masa kecil. Keinginan untuk mengelilingi dunia sudah sejak kecil saya gaungkan.
Kalau tidak salah waktu itu saya sedang duduk di kelas 7 menengah atas. Tidak tahu apa alasan mendasarnya, hanya terucap begitu saja di hadapan teman-teman sekelas. Tidak pernah pula berpikir bagaimana untuk mencapainya, sebab secara garis keturunan keluarga hanya sebagai buruh tani. Belum lagi sebagian keluarga penyandang buta huruf, sekali lagi jauh sekali impian tersebut bisa diwujudkan.
Dengan latar belakang kehidupan demikian, mungkin sebagian yang berbicara hal yang realistis dari keinginan saya akan menolak, atau memberikan penyanggahan serta mempertanyakan kelogisannya. Lagi-lagi saya tidak pernah diajarkan dari kecil untuk melakukan hal-hal yang saya sebut sebagai mind blocking. Pengistilahan ini baru saya pahami setelah mencoba memaknai perjalanan dan hal-hal luar biasa yang saya temukan dalam hidup. Semakin kita percaya akan apa yang dilakukan, ada hasil atau tidak, pasti akan menjadi sesuatu yang tidak bisa diungkapkan yang sebetulnya itu bagian dari hasil pula.
Saya mungkin akan berikan penjelasan sedikit apa maksud dari mind blocking ini dalam kasus pribadi saya sendiri. Saya dari kecil memang tidak pernah mempertanyakan apa yang diinginkan dengan pertanyaan-pertanyaan; apakah saya bisa mendapatkan itu? Bagaimana saya mendapatnya? Apakah ada orang yang bisa membantu saya untuk mendapatkannya? Apa saja yang saya butuhkan untuk mendapakan itu? Bagaimana saya harus memulai? Kalau saya tidak dapat, nanti bagaimana? Semua pertanyaan itu tidak pernah saya alami, sebab orang tua meski tidak berpendidikan, mereka tidak pernah menghentikan keinginan dengan pertanyaan demikian.
Sebagai contoh, saya pernah meminta izin untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di Jakarta. Spontan orang tua saya menjawab dengan kata “ya” saja. Tidak ada kata lain setelah itu. Padahal kalau mereka ingin meragukan kehendak saya, mungkin akan muncul pertanyaan, di sana mau tinggal sama siapa? Bagaimana membiayai kuliah? Siapa yang akan membantu? Sebab tak ada satu pun keluarga di Jakarta. Dan saya yakin akan banyak pertanyaan-pertanyaan yang pada akhirnya akan menghentikan langkah dan kepercayaan yang sudah dibangun dengan baik.
Nah, berbekal ajaran demikian, saya pun terbiasa menjadi pribadi yang selalu melakukan sesuatu dengan kata “coba”. Kalau bicara keajaiban dari kata mencoba ini bukan sekali atau dua kali lagi saya rasakan, malah sebagian besar hidup saya adalah keberhasilan dari keberanian untuk mencoba. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di atas tidak pernah terlintas, melainkan saya lakukan apa yang saya bisa lakukan. Tidak peduli sempurna atau tidak sempurna, berhasil atau tidak. Di otak saya hanya ada lakukan, lakukan, dan lakukan. Saya yakin segala sesuatu akan berbanding lurus dengan apa yang kita miliki.
Di dunia ini beragam kesempatan banyak, dan orang-orang berlomba untuk mendapatkan itu. Namun di samping itu, ada satu hal yang mungkin jarang orang ketahui bahwa tidak semua orang tertarik dengan kesempatan tersebut. Atau tidak semua orang pula memiliki kecakapan dalam melirik kesempatan tersebut dalam tindakan. Saya akan berikan sedikit contoh ketika ada event-event internasional seperti student exchange, konferensi atau sebagainya, semua orang tahu pasti banyak. Ada yang tertarik, ada juga yang harus berhenti ketika melihat persyaratan dan sebagainya.
Kita lupakan orang kedua, kita lihat orang pertama. Bagi mereka yang tertarik ada kendala dengan kecakapan mereka dalam bertindak. Mereka tahu event tersebut cocok buat mereka, karena merasa gampang dan mudah untuk dilakukan, akhirnya berjalannya waktu mereka lupa atau batas dari pendaftaran program tersebut sudah habis. Lagi-lagi yang menang adalah mereka yang cekatan dalam memanfaatkan peluang itu.
Dari cerita singkat di atas, saya ingin berbagi cerita salah satu mungkin yang menjadi kebanggan tersendiri adalah keberhasilan mencoba hal demikian dalam hidup. Izinkan saya menggunakan keberhasilan untuk prestasi saya telah mencicipi 4 negara ASEAN; Thailan, Singapura, Malaysia dan Kamboja dalam rentan waktu yang cukup berdekatan dalam 8 bulan ini. Tentu bukan tanpa sebab itu bisa tercapai, karena seperti awal saya ceritakan harus meluangkan waktu dan energi.
Kalau ditanya besarnya perjuangan memang tidak terlalu, sebab saya menjalaninya dengan penuh kesenangan. Gagal sudah biasa, hanya saja kata untuk berhenti tidak akan pernah ada sampai sejauh ini. Gagal coba lagi, coba, dan coba lagi sampai memang tidak diperbolehkan lagi dengan syarat-syarat tertentu, maksudnya meninggal dunia.