Momen pulang kampung menjadi sesuatu yang sangat dinanti bagi semua orang, terutama mereka yang menyandang status sebagai rantauan. Saya merupakan salah satu dari sekian banyak mereka yang merasakan demikian. Dari Sumatera, tepatnya Bengkulu belajar ke Jakarta. Berpisah dari sanak keluarga tentu bukan hal yang mudah untuk dilalui. Oleh karenanya kesempatan mudik merupakan ajang melepas rindu yang sangat dinanti-nanti.
Kepulangan ini tentu memerlukan banyak pertimbangan; mulai dari transportasi, buah tangan untuk keluarga dan sebagai mahasiswa saya pun mesti memikirkan apa yang akan diberikan untuk kampung setelah tiba di rumah nanti. Dari sekian banyak pertimbangan tadi, yang kerap menjadikan saya harus berpikir adalah masalah transportasi. Ya, transportasi kadang kala membuat saya mesti memutuskan dengan matang terkait jalur mana yang akan ditempuh. Mungkin sebagian orang mengalami masalah yang sama ketika hendak menggunakan transportasi, darat atau udara. Tidak bisa dipungkiri seringkali hal semacam ini membuat pusing tujuh keliling. Apalagi kalau ada sisi-sisi lain yang bertabrakan dengan keinginan kita, terutama masalah keuangan.
Jujur saja, status saya sebagai mahasiswa beasiswa yang hanya mengharapkan uang dari kampus betul-betul menyeret saya untuk memutuskan pilihan. Alih-alih berharap ada sisa dari pemberian itu agar bisa diarahkan dengan kebutuhan yang lain, tapi nyatanya agak sedikit sulit mencari cela lain. Dana yang ada sangat minim dan mesti diperkiraan dengan tepat. Paling tidak ada sisa sedikit untuk membeli ole-ole atau sebagai ancang-ancang kebutuhan di tengah perjalanan. Setelah memilihat dana yang dimiliki, akhirnya saya pun memutuskan pulang kampung dengan menggunakan jalur darat saja.
Meski ini untuk kedua kalinya, namun pengalaman yang pertama tidak sehebat yang kedua. Tahun lalu saya hanya menemui hal-hal biasa; naik bus, bertemu dengan para penjual dan penumpang dari kampung-kampung yang berbeda, menurut saya biasa saja. Namun ada yang berbeda dari yang kedua. Saya tidak hanya disuguhkan dengan hal yang biasa saja yang disebutkan di atas tadi, tapi ada momen berbeda saya temukan.
Saya melihat anak-anak laki yang usianya kisaran 13 sampai 17 tahun hilir mudik menapaki seisi kapal. Sesekali mereka menawarkan diri kepada para penumpang yang hadir. “Pak, minta duitnya dong. Ntar saya nyelam” begitu ujar mereka kepada penumpang. Saya sontak kaget mendengar ini karena baru pertama kali menemukan anak-anak yang demikian. Setelah dari obrolan tadi, tiba-tiba seorang bapak yang kelihatnya sudah paham dengan gelagat anak-anak itu segera merogoh kantong. Saya lihat ia mengambil beberapa uang receh. Langsung saja bapak tersebut meminta kepada anak-anak tadi untuk segera melompat dari kapal. Byurrr…, anak-anak tersebut terjun bebas dan sudah berenang-renang di air. Lalu sang bapak melemparkan beberapa koin kepada tiga orang anak yang sudah menunggu di bawah.
Bukan hanya aksi ngamen para bocah saja yang saya saksikan, melainkan ada pula aksi ngamen yang dilakukan para biduan dengan iringan piano. Awalnya saya menyangkan orkestra itu bukan seperti yang biasa saya lihat di acara kondangan, eh ternyata sama. Walaupun cara sama, tetapi ada yang membedakan dari acara-acara yang biasa kita hadir tersebut. Para biduan yang jumlahnya lima orang tersebut menyanyi secara bergantian. Tentunya bagi yang tidak bernyanyi mereka segera menghampiri satu per satu penumpang atas penampilan mereka. Ya mungkin saya sebut saja ngamen. Nah, selain mereka bernyanyi secara bergantian, mereka pun memberikan kesempatan kepada para penumpang yang hendak menyumbangkan suaranya. Selain itu, mereka juga menerima permintaan lagu apa yang penumpang inginkan. Tentu dari tawaran tadi, para biduan tadi meminta bayaran berapa pun dari mereka yang disebutkan di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H