Bagaimana mewujudkan sekolah yang menyenangkan? Tentu saja menyenangkan bagi peserta didik atau siswanya. Apakah perbedaan nama “taman” dan “sekolah” juga berarti yang satu menyenangkan dan yang satu tidak menyenangkan atau membosankan. Di Taman Kanak-kanak (TK) terlihat peserta didiknya sangat gembira. Guru-guru di TK sangat telaten, selalu ceria, dan punya banyak cara membuat anak-anaknya merasa senang di “sekolahnya.”
Keceriaan dan kegembiraan di TK seakan mulai menghilang saat anak “naik” ke Sekolah Dasar (SD). Terlebih di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah yang menyenangkan bukanlah apa yang dipahami tentang isi dari materi ajar. Jika materi ajar, memang di TK, 75% anak bermain dan selebihnya belajar. Sedangkan di SD, 75 % belajar dan selebihnya bermain. Ini pun di SD sering tidak diterapkan sehingga 100% siswa dijejali dengan materi pelajaran. Sekali lagi, bukan itu yang dimaksud sekolah yang menyenangkan. Sekolah yang menyenangkan seharusnya hadir tidak hanya di TK tetapi semua tingkatan sampai SMA. Tentu saja yang menyenangkan (bagi siswa) di setiap tingkatan sekolah, berbeda. Bagaimana Prof. Surya mengampanyekan bahwa belajar fisikan itu menyenangkan. Itu adalah salah satu bentuk usaha mewujudkan sekolah yang menyenangkan di tingkat SMA.
Semakin tinggi tingkatan sekolah, maka peran guru agar sekolah menyenangkan bagi siswa, sangat besar. Kreativitas dan inovasi guru dalam proses pembelajaran sejatinya merupakan hal yang utama untuk selalu ditingkatkan. Dalam regulasi yang ada, jika seseorang belum berusia 18 tahun, maka masih disebut anak. Sehingga tidaklah benar jika sebagian guru di tingkatan SMA telah lepas tangan terhadap siswanya, terutama sisi etika. Beberapa di antaranya lagi, masih mengajar dengan system “serius habis”. Padahal, salah satu cara mewujudkan sekolah yang menyenangkan adalah bahwa guru berusaha menemukan teknik, gaya, atau cerita dan sebagainya agar anak dengan relaks dapat belajar. Guru yang masih memegang buku dan selalu membacanya (membuku) sementara proses pembelajaran, jelas tak menyenangkan bagi siswa. Guru yang hanya marah menjadi solusi terhadap siswa yang nakal dan jarang mengerjakan tugas, juga tak dapat menyenangkan siswa. Guru yang cuek dengan segala aktivitas siswa, juga akan gagal menyenangkan siswanya.
Sekolah yang menyenangkan pada dasarnya adalah bagaimana siswanya gembira datang ke sekolahnya. Ada sesuatu yang mereka rindukan di sekolahnya. Tentu bukan berarti siswa senang karena sekolah itu tanpa aturan, tanpa teguran dan hukuman apapun kesalahan siswa. Jadilah guru yang dirindu oleh siswa, karena ada sesuatu yang lebih dari guru itu. Guru tidak harus lebih dari segalanya, baru dapat disenangi siswa. Cukup anda pintar bercerita, atau humoris, atau perhatian kepada siswa, atau selalu mengajak siswa untuk berbagi, atau masih banyak lainnya. Satu contoh yang kecil, misalnya anda guru yang selalu (jadikan kebiasaan) menanyakan tentang penyebab kesulitan siswa mengerjakan soal yang diberikan, dan kebetulan salah cara kerjanya. Jangan pernah berputus asa terhadap usaha sekecil apapun untuk membuat siswa senang. Guru juga harus terus berusaha dan meningkatkan kadar keikhlasannya dalam memberikan perhatian kepada siswa. Jika hel itu dilakukan dengan konsekuen dan ikhlas, maka tinggal menunggu siswa akan senang kepada gurunya, dan akan mewujudkan sekolah yang menyenangkan.
Jadi guru harus lebih serius untuk mewujudkan sekolah yang menyenangkan? Iya. Selain hal tersebut memang adalah kewajiban kita (apalagi telah mendapat tunjangan profesi), juga hal tersebut akan mempermudah dalam menjalankan tugas guru itu sendiri. Jika memang benar, seorang guru masih tetap teguh terhadap tugas dan tanggungjawabnya, maka tujuan utamanya adalah bagaimana siswa yang diajar dan didiknya dapat berhasil secara akademik maupun non akademik serta etika. Tetapi, jika seorang guru hanya menggugurkan kewajibannya saja, serta lebih banyak waktunya menanti bulan baru serta pencairan tunjangan profesi, maka tentu saja kepedulian terhadap siswa menjadi urusan yang tidak penting lagi dan pada akhirnya semakin memperbanyak sekolah-sekolah yang membosankan bagi siswa. SEKIAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H