Kelemahan terbesar dari buku paket yang ada saat ini di sekolah-sekolah adalah kurangnya visualisasi dan monoton pada inti pembelajaran. Sangat jarang yang menyajikan isi buku sekolah yang variatif. Kalaupun ada, hanya pada terbitan tertentu yang lebih banyak diperjual belikan dan bukan buku paket yang di gunakan di sekolah sebagai buku wajib atau pegangan siswa dan guru. Pada sisi kemudahan dalam penyusunan buku, memang buku paket yang monoton dalam isi tersebut terbilang mudah menyusunnya. Sedangkan, buku yang variatif tentu akan lebih sukar karena penulis atau penyusun buku harus memadukan antara variasi seperti visualisasi atau cerita pada buku dengan inti materi pembelajarannya. Sejatinya, buku yang variatif lebih banyak dimanfaatkan sebagai buku paket karena dapat mengarahkan siswa masuk pada inti materi seperti layaknya mereka membaca buku cerita.
Guru Profesional
Saat ini, tak hanya ijazah yang sesuai dengan bidang tugas saja yang menjadi indikator seseorang dikatakan profesional. Guru misalnya, meski memiliki ijazah dan bertitel Sarjana Pendidikan serta mengantongi sertifikat pendidik, belum menjamin dia profesional yang sebenarnya. Guru professional harus mampu menjadi guru yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh siswanya. Mereka juga mampu untuk “menyiasati” kelemahan buku paket di sekolah. Bukan guru yang secara otomatis masuk kelas hanya karena jam mengajarnya telah tiba. Bukan pula, guru yang “ditunggui” oleh siswanya sampai selesainya jam pelajaran tersebut. Guru tidak sekadar hanya menggugurkan kewajiban setiap bulannya sehingga mereka memeroleh gaji. Setiap hari kerja, guru professional tidak hanya melakukan rutinitas pergi pagi dan pulang siang hari.
Guru professional harus memunyai jiwa seorang guru. Jiwa seorang guru adalah siswanya. Bagaimana dia merasakan keinginan dan kebutuhan siswanya. Terjalinnya “simbiosis mutualisme” yakni sama-sama saling membutuhkan, saling mengingat, dan saling merasa kehilangan jika salah satunya tak ada. Guru merindukan siswanya, dan siswa menantikan gurunya. Jika seperti ini hubungan antara guru dan siswa, maka hampir tak ada lagi yang mampu menghalangi transformasi ilmu dan etika yang ditanamkan guru pada siswanya. Inilah model sejatinya seorang guru. Guru harus menciptakan kondisi ini, sekurang-kurangnya harus selalu berusaha untuk menciptakan kondisi ideal tersebut. Guru profesional seyogianya dinilai saat yang bersangkutan melakukan aktivitasnya sebagai guru, bukan dinilai dengan portofolio yang bertumpuk, bukan pula dengan simulasi atau praktek mengajar sekali dua kali, itupun di depan sesama guru.
Tentu banyak yang harus menjadi kompetensi guru yang professional sejati. Bukan kemampuan menghafal berbagai metode mengajar, keunggulan dan kelemahannya, namun penerapan yang terpenting. Bahkan, kreativitas dan inovasi teknik atau metode pembelajaran itulah yang terpenting menjadi kompetensi guru. Kelas (siswa) yang dihadapi setiap guru, pasti berbeda. Teknik dan metode yang paling baik adalah yang cocok dengan kelas yang dihadapi guru bersangkutan. Oleh karena itu, guru harus kreatif dan inovatif dalam menerapkan metode pembelajaran. Lebih rinci lagi, guru harus tahu dan mampu menyuguhkan sesuatu yang digemari oleh siswa, seperti kemampuan guru bercerita.
Guru Bercerita
Hampir semua siswa di setiap tingkatan sekolah, suka jika gurunya pintar bercerita. Terutama siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar hampir dapat dipastikan semua siswanya akan menanti guru yang gemar bercerita. Buat para siswa menganga dengan cerita yang disuguhkan oleh gurunya. Jadikan cerita sebagai “makanan pembuka” dalam memasuki proses` pembelajaran inti. Pembelajaran tematik sangat cocok disajikan dengan cerita secara menyeluruh. Tinggal, guru harus mampu dengan kompetensi yang digemari siswa ini.
Semua guru dapat diyakini memunyai kemampuan untuk pandai bercerita di depan siswanya. Kepiawaian guru tampil dengan luwes di depan kelas adalah modal utamanya untuk pandai bercerita. Hal yang terpenting yang perlu ditambahkan sebagai aktivitas yang sebenaranya hampir merupakan kewajiban seorang guru, adalah membaca. Guru harus meluangkan waktu untuk membaca. Bacaan cerita anak dan cerita budi pekerti lainnya adalah hal yang spesifik untuk memunyai bekal dalam bercerita. Untuk tahap awal, bolehlah membacakan cerita kepada siswa. Biarkan siswa penasaran terhadap cerita yang guru baca dengan cara memotong-motong cerita tersebut untuk dilanjutkan keesokan harinya.
Kompetensi guru harus terus diasah. Setelah membaca cerita, guru harus mampu bercerita tanpa membaca teks cerita. Setelah itu, kemampuan dapat diasah kembali dengan kemampuan untuk bercerita sesuai dengan karakter tokoh dalam cerita. Hal ini hampir sama dengan mendongeng. Jika semua ini telah terbiasa di lakukan di depan siswa, maka guru akan mampu untuk mengeksplor lebih dalam kemampuannya dengan membuat cerita sendiri, sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Kalau sudah demikian, maka tunggulah siswa akan menantikan gurunya selalu.
Jika guru yang pandai bercerita akan dinantikan oleh siswanya, maka risiko bagi guru yang hanya berkutat pada profesionalisme administrasi akan menjadi penonton kekariban guru dan siswa. Namun, tentu saja hal itu tidak akan membuatnya “cemburu” karena tujuannya sebenarnya adalah hanya menggugurkan tugas dan kewajiban, apalagi tunjangan profesi (sertifikasi) tetap lancar. SEKIAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H