Mohon tunggu...
Muh. Syukur Salman
Muh. Syukur Salman Mohon Tunggu... Guru -

Seorang Guru Sekolah Dasar di Parepare, Suawesi Selatan. Telah menerbitkan 6 buah buku dengan genre berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Boikot Siaran TV "Gila"

7 Februari 2014   22:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:03 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata, ada benarnya juga tindakan seorang teman saya yang tidak menyiapkan TV untuk anak-anaknya di rumah. Bukan karena dia tak sanggup membelinya, namun karena dia sebagai orangtua tak mau anaknya “teracuni” dengan siaran TV yang “gila”. Memang agak radikal tindakan teman saya ini, namun dia memunyai tujuan yang sangat mulia. Apalagi saat ini, siaran TV semakin menyajikan prilaku-prilaku yang bukan saja tidak memunyai manfaat, tetapi lebih dari itu justru dapat merusak etika generasi kita nantinya.

Lihat saja, betapa banyak siaran TV yang tidak memunyai esensi nilai dan sudah melampaui ambang batas toleransi sebuah tontonan publik. Siaran-siaran yang hanya mengumbar goyangan-goyangan erotis, tampilan vulgar, serta ujaran-ujaran kasar dan kotor. Ironisnya lagi, karena siaran semacam ini memeroleh rating yang tinggi, buktinya siaran seperti ini semakin banyak di TV, bagaikan tumbuhnya jamur di musim hujan. Lebih fatal lagi, karena beberapa kali tayangan siaran “gila” tersebut, juga menampilkan keikutsertaan anak-anak. Terlihat pada siaran tersebut, anak-anak berbaur dengan orang dewasa, bergoyang sampai hampir larut malam. Kondisi seperti ini sungguh tak boleh dibiarkan terus berlanjut, jika kita masih memunyai rasa peduli terhadap etika anak bangsa.

Sangat disayangkan, karena beberapa instansi pemerintah justru berusaha melanggengkan contoh-contoh di TV yang tak mendidik tersebut. Diadakannya lomba bergoyang gaya A dan gaya B serta lainnya adalah bukti tak adanya keprihatinan terhadap masalah besar ini. Tak adakah kegiatan atau lomba lainnya selain lomba goyang yang vulgar serta tak mendidik itu? Rasa peduli inilah yang semestinya harus ditumbuhkan berkenaan dengan nilai-nilai etika, agama, dan budaya karakter bangsa, baik dari orang-per orang, organisasi, masyarakat, maupun pemerintah.

Masyarakat sebagai user dari TV haruslah semakin selektif dalam memilih channel dan siaran. Jika masyarakat peduli terhadap bayangan kebobrokan etika anak  bangsa ini ke depan, maka harus melakukan tindakan. Rating tinggi membuat siaran TV “gila” tersebut semakin mennggila, dan penyebab rating tinggi adalah semakin banyaknya masyarakat yang menyukai (menonton) siaran tersebut. Oleh karena itu, untuk mengurangi bahkan melenyapkan siaran-siaran “gila” tersebut, masyarakat harus melakukan boikot. Jangan memilih siaran “gila” untuk ditonton, kita dan keluarga kita. Hindari siaran-siaran yang seperti itu demi kelanjutan nilai-nilai etika tetap bersemayam pada generasi dan anak-anak kita.

Pengatur regulasi penyiaran pun harus didesak untuk selektif memerhatikan siaran-siaran TV yang tidak memunyai nilai positif. Pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentu tak boleh tinggal diam mencermati permasalahan yang krusial ini. Pemerintah sebagai pengayom terhadap seluruh aktifitas masyarakat harus cermat melihat gelagat terhadap potensi “terjun bebasnya” etika bangsa ini dengan siaran-siaran “gila” di TV. Tentu kita harus angkat topi terhadap tindakan pemerintah dalam hal pemblokiran situs-situs porno di internet. Namun, jangan sampai hal yang lebih luas jangkauan daya rusaknya, yakni siaran-siaran TV “gila” tadi, terkesan tidak tersentuh. KPI juga demikian, tentu kita tidak harapkan hanya bergelut pada siaran-siaran yang melanggar aturan-aturan menjelang Pemilu, atau hanya berkutat pada siaran insidentil belaka. KPI harus cermat mengamati siaran-siaran TV yang memang “daya rusaknya” seketika tidak besar namun jika dibiarkan akan menjadi “bom waktu” terhadap bobroknya etika bangsa ini di kemudian hari.

Jangan pernah merasa sia-sia dalam memperjuangkan kebaikan, meskipun itu kita rasakan tak berpengaruh. Anda dan keluarga anda yang peduli terhadap etika anak bangsa jika melakukan pemboikotan terhadap siaran-siaran TV yang amoral tadi tentu telah merupakan suatu hal yang sangat krusial dalam rangka perjuangan menegakkan moral dan etika bangsa. Meski pun anda dan keluarga anda adalah seperti sebutir pasir di pantai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia lainnya. Berpengaruhkah yang telah anda lakukan? Jawabnya, sangat berpengaruh. Tak akan ada banyak jika tidak dimulai dengan sedikit, bahkan harus dimulai dengan satu. Tentu peran organisasi sebagai kumpulan orang perorang akan lebih “menyentak” jika melakukan hal yang sama. Terutama organisasi yang menjunjung nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Selain ke dalam dengan anggota organsasinya, juga ke luar kepada masyarakat pada umumnya dan terutama tuntutan kepada pemerintah dan KPI agar menyadari tentang urgennya penghentian siaran-siaran TV “gila” tersebut. SEKIAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun