Mohon tunggu...
Muh. Syukur Salman
Muh. Syukur Salman Mohon Tunggu... Guru -

Seorang Guru Sekolah Dasar di Parepare, Suawesi Selatan. Telah menerbitkan 6 buah buku dengan genre berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

SMS Lailaul Qadri

13 September 2012   01:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SMS Lailatul Qadri

Setelah shalat Subuh, aku baru kembali mengaktifkan hp yang semalaman dioff kan. Malam ke 27 bulan suci Ramadhan aku sempatkan  beri’tikaf di masjid dekat rumah. Sebenarnya, ingin sekali ikut serta dengan rombongan jemaah masjid Raya yang mulai I’tikaf  sejak 10 terakhir Ramadhan tahun ini, namun karena beberapa pertimbangan belum terlaksana niat tersebut. Ada perasaan bersalah selalu tatkala Ramadhan telah berlalu, sedangkan aku belum mampu memaksimalkan ibadah ini. Tapi, syukurlah Ramadhan tahun ini sudah mulai beri’tikaf, apalagi di malam ke 27 sebagian ulama menganjurkan untuk menanti datangnya Lailatul Qadri. Yah, semoga saja Lailatul Qodri menghampiri hamba-Nya yang dhoif ini.

Tidak semenit kemudian, terdengar denting sms (short massage system) dari hp yang telah kuletakkan di atas TV. Sedikit tak peduli, aku langsung mengambil Al Qur’an dan mencari penanda bacaan terakhir. Di tempat biasanya, di depan meja kerja berwarna putih kududuk bersila dan mulai membaca basmalah. Alhamdulilah, bacaanku telah sampai juz 28 sehingga target menamatkan kitab suci Al Qur’an Ramadhan tahun ini Insya Allah akan tercapai. Belum berlalu dua ayat, kembali denting sms itu terdengar jelas. Kuteruskan membaca surah As Shoff dengan sedikit bersandar di dinding kamar yang juga bercat putih. Namun, setelah dentingan sms ketiga kalinya, aku putuskan untuk mengakhiri sementara bacaanku untuk membaca sms yang masuk.

“Mukrimah?” gumamku sendiri. Bukankah dia tak punya nomorku? Pikirku sejurus kemudian. Mengapa dia mengirim sms kepadaku? Ada urusan apa dia sms kepadaku? Seribu satu pertanyaan bergelayut beriringan dengan degup jantung yang terasa lebih memburu. Bukannya membaca sms itu, aku malah membiarkan diri ini menduga-duga gerangan isi sms itu. Mumpung gratis, menduga yang baik-baik saja dululah, humorisku sedikit muncul. Tapi, dalam lubuk hati yang dalam aku menyangsikan berita baik yang akan dikirim Mukrimah kepadaku, orang yang mungkin sama sekali tak dikenalnya.

Atau, bukan dari Mukrimah? Apa Nabhan memberiku nomor yang salah? Apa dia mau mempermainkan aku, karena aku selalu membicarakan Mukrimah dengannya?

“Awas kau Nabhan!” gumamku setelah duduk di teras sambil memerhatikan liuk-liuk gerakan ikan mas yang aku pelihara di kolam kecil samping teras depan. Teman sejawat di Kantor Walikota Parepare memang banyak, namun Nabhan memang beda. Meski aku hanya staf biasa dengan golongan II di bagian Humas sedangkan dia sudah golongan III, tapi sama sekali tak ada jarak dengannya. Dia yang merendah kepadaku. “Kamu tak perlu sungkan, kitakan sesama muslim, jadi kau harus anggap aku saudaramu.” Itu kalimat pertama yang aku dengar darinya, awal bertugas menjadi PNS di kantor itu. Aku juga sudah mulai memelihara janggut seperti dia. Shalat dan ibadah lainnya, aku banyak belajar dari sahabatku yang satu ini.

Sinar matahari pagi mulai nampak, namun sepi belum banyak berubah. Kebiasaan di bulan Ramadhan di banyak tempat di Parepare termasuk di komplek perumahan Carani tempatku mengontrak rumah tipe 21, setelah shalat Subuh banyak yang kembali ke pembaringan. Termasuk aku, kadang-kadang. Kantor juga mengerti itu, akhirnya jam masuk diulur sampai jam 9 pagi.

Haruskah aku menelepon Nabhan sebelum membaca sms Mukrimah? Entah mengapa itu sempat-sempatnya aku pikirkan. Sesuatu yang menurutku sangat bodoh. Hanya untuk membaca sms, aku harus menelopon orang lain terlebih dahulu. Sial! Aku marah pada diri ini sendiri. Tapi aku kembali tersenyum, sedikit mentertawai diri sendiri sembari kembali kulihat nama itu, Mukrimah….. Pegawai baru di bagian Hukum, persis bersebelahan dengan kantorku. Tapi, menurut Nabhan, dia sudah golongan III. Selama hampir 3 bulan dia bertugas, pusat perhatian pegawai pria di kompleks kantor Walikota Parepare itu kepadanya belum juga kendur. Termasuk aku, tentunya. Meski dia pegawai baru, tapi aku tahu diri, golonganku lebih rendah darinya. Akhirnya, aku hanya menyempatkan mata ini untuk menatapnya pada saat dia lewat depan kantorku, yakni saat datang dan saat pulang saja.

Tak ada keberanian untuk menyapanya sedikitpun, apalagi yang namanya ngobrol. Untungnya, aku punya sahabat Nabhan. Dia sangat sering berbincang serius dengan Mukrimah. “Dia banyak bertanya tentang agama.” Jawab Nabhan tatkala kutanya tentang bahan pembicaraan mereka. Dari Nabhan juga kutahu bahwa dia mulai memakai jilbab persis saat dia terangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Dulu, dia termasuk perempuan yang suka mempermainkan lelaki. Bermodalkan wajah yang super cantik, tubuh yang hampir sempurna, hampir tak ada lelaki yang mau menolaknya. Tapi, mengapa dia begitu berubah saat ini? Menurut Nabhan, perubahan drastis pada diri Mukrimah, sewaktu ayahnya meninggal.

*****

Sakit parah yang diderita ayah Mukrimah di rumah sakit waktu itu, tak membuatnya terketuk hatinya untuk menemani ibunya untuk menjaga ayahnya. Dia malah pergi ke diskotik bersama teman-temannya. Setiap malam Minggu, jadwal rutinnya bersama teman-temannya menumpahkan kegembiraan yang tanpa batas. Heandphonenya pun di off kan saat dia bersama teman-temannya agar tak ada yang menggaggunya meluapkan kebiasaan buruknya itu. Biasanya, sore Minggu baru dia pulang ke rumah dan langsung berbaring keletihan. Nasehat demi nasehat tak dipedulikannya. Sedangkan orangtuanya, hanya sebatas menasehati saja. Kecintaan kepada anak semata wayangnya tersebut, menghalangi mereka berbuat melebihi dari hanya menasehati Mukrimah saja.

Hari itu, Minggu terakhir di bulan Oktober 2011, Mukrimah pulang dengan mobil pribadinya. Dia belum sempat memarkir mobilnya dengan baik. “Ibuuuu…..” teriaknya keras, sambil dia turun dan menghambur ke dalam rumah mencari ibunya. Kerumunan orang yang berdiri di halaman rumahnya tak dipedulikannya. Pajangan dan rangkaian bunga yang berderet di depan pagar rumahnya tak sempat lagi dia baca dengan jelas. Rok mini yang dipakainya membuatnya leluasa melangkah dengan cepat mencari ibunya. Dia pun menghambur memeluk ibunya yang duduk terdiam menunduk di depan jenazah ayah Mukrimah. “Ibuuu… !!!” luapan tangis menghambur sejadinya sambil memeluk ibunya yang sama sekali tak bergeming. “Ibu…ibu… mengapa ibu?!!” isak tangis menahan luapan kata-kata yang ingin diucapkannya. Dia mengguncang-guncang bahu ibunya yang tetap tak bergeming sementara air mata mengalir terus meski mulut tak mengeluarkan sepatah kata pun. Riuh rendahnya para pelayat serta alunan ayat-ayat suci Al Qur’an dari beberapa santri pesantren akhirnya senyap. Semua perhatian tertuju kepada Mukrimah dan ibunya.

Setelah sekian lama mendapat guncangan dari Mukrimah, ibunya pun mengusap rambut anaknya. “Anakku…” suara itu bergetar karena isak tangis yang tertahan. “Anakku…Imah… Tidakkah ini yang kau harapkan terjadi pada ayahmu…, anakku?”

Bagaikan ditimpa batu yang sangat besar, mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya itu. Remuk terasa tulang-tulangnya. Nafasnya seakan berhenti. Tak pernah dia mendengarkan kata-kata yang membuatnya akan mengakhiri hidupnya saja. “Ayaaah…..!!” Mukrimah memeluk jenazah ayahnya dan menangis sejadinya. “Ayah…., jangan tinggalkan Imah, ayah…!! Ayah…. Ampuni dosaku ayah…!!” suasana semakin haru biru. Para pelayat banyak yang meneteskan air mata menyaksikan drama keluarga itu. “Ayah… anakmu tak berbakti, ayah…” kata-katanya mulai tak mampu terucap ditutup tangis yang membuncah semakin dalam.

“Anakku… ayahmu telah meninggalkan kita, nak.” Ibunya membisikkan kata-kata itu pada Mukrimah. “Biarkan dia meninggalkan kita dengan tenang. Jangan kau ratapi, anakku. Jika memang kau menyayangi ayahmu….” Sampai disitu, ibunya tak melanjutkan lagi.

Sekonyong-konyong, Mukrimah menegakkan kepalanya dan memegang pundak ibunya. “Ibu…. Jangan panggil aku anakmu, jika aku tak membuang segala kelakuanku yang membuatmu dan ayahku menderita selama ini.” Sambil mengusap air matanya, tegas kata-kata itu keluar dengan penuh keyakinan dari Mukrimah. Ibunya memeluk anak yang sangat disayanginya itu. Mereka saling menumpahkan air mata kesedihan dan harapan akan berubahnya sikap Mukrimah.

****

Mengingat cerita Nabhan itu, selalu membuat hati ini juga bersedih. Akhirnya aku mantap untuk membuka sms darinya.

“Assalamu’alikum, kak. Bgm puasax, lancar khan? Maaf nganggu kak Salman. Moga kakak dibwh lindunganNya. Amin. Wss.”

Serasa jantung ini tak mampu kutahan degupannya yang begitu keras. Gemetar badan ini membaca sms yang tak pernah sama sekali terduga dari sekian banyak dugaan-duagaan yang tadi telah kulempar. Ternyata kenyataan yang kudapat lebih dari dugaan-dugaan itu.

Apakah mungkin? Tiba-tiba… alunan shalawat badar terdengar dari Hp ku. “Nabhan…?” ucapku keheranan.

“Assalamu’alaikum saudaraku… “ suara Nabhan sebagai ucapan awal jika meneleponku. “Waalaikum salam, saudara.” Jawabku masih menyimpan pertanyaan, gerangan apa yang akan dibicarakan Nabhan pagi-pagi begini?

“Mengapa belum kau jawab sms darinya, Man?”

“Maksudmu?” tanyaku sedikit tak mengerti tapi mengharap yang dimaksud adalah sms dari Mukrimah.

“Kau kan sudah menerima sms darinya barusan. Sms dari Mukrimah, pujaanmu itu.”

Meski gembira menyelimuti perasaan ini, tapi mengapa Nabhan bisa tahu hal itu? Pikirku sejenak.

“Balas sms nya, kalau tidak…. Dia memilih yang lain. Balas cepat.” Sedikit membentak. “Dia memilih kamu, kalau kamu serius lanjutkan, tapi kalau tidak….”

“Aku serius!” cepat kupotong kalimat Nabhan tanpa berpikir panjang lagi.

“Itu baru saudaraku… Selamat kepada kalian berdua. Dan saya harap kalian jangan berlama-lama, cukup sebulan… langusng edarkan undangan kalian. Itu yang diajarkan Islam. Takut fitnah, dek.” Nabhan memberi nasehat dengan tegas dan lugas. Memang itu adalah cirri khasnya dalam memberi nasehat agama kepadaku.

“Segalanya, aku yang urus.” Kembali Nabhan melanjutkan. “Tapi… kak…?” selaku.

“Tidak ada tapi-tapian, persoalan uang mahar yang selalu kamu khawatirkan di adat suku Bugis kita ini, tak perlu kau risaukan. Aku telah bicara dengan Mukrimah…”

“Kakak sudah bicara dengan Mukrimah?” Tanyaku tak percaya. “Aku kan saudaramu, Man. Mukrimah memang sedang mencari pendamping yang cocok. Dia butuh figur ayah, Salman.”

“Jadi…”

“Yah… aku menyarankan dia memilih kamu.”

“Lalu…”

“He..he.. sabar saudaraku. Dia ternyata sedang meneliti kamu, Man.” Nabhan melanjutkan.

“Meneliti aku?” tanyaku penasaran sekali.

“Hanya kau, lelaki di kantor yang tak pernah mengajaknya ngobrol. Dia banyak tanya juga tentang kau dariku.”

“Selanjutnya…” aku memburu penjelasan Nabhan.

“Ah, sudah dulu… sekarang balas sms nya. Assalamu’alaikum.” Nabhan mengakhiri sambungan hpnya.

Aku kembali duduk setelah sekian lama berdiri mendengar semua yang dikatakan saudaraku itu. Apakah ini berarti semalam aku kedatangan Lailatul Qadri. Semoga saja ya Allah, doaku.

Aku pun membalas sms Mukrimah.

“Waalaikum Salam, dek. Aku sehat sj dan ttp berpuasa. Moga adik jg sht wlafiat. Moga jg kita sllu dibwh lindungnNya. Dan… moga kt sllu dpt saling mnjaga dibwh lindungnNya. Amin… Wss.” Lalu aku send.

“Amiin, kak.”

Melayang diri ini mendapat jawaban sms yang pendek tapi sangat bermakna itu. Alhamdulillah… Terima kasih Ya.. Allah.

SEKIAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun