[caption id="attachment_351843" align="aligncenter" width="450" caption="http://www.privatesector-ca.org/"][/caption]
Suatu negara dikatakan stabil dan kokoh, salah satunya dipengaruhi oleh kestabilan sistem keuangannya. Bisa kita ibaratkan sebuah negara itu adalah orang pribadi. Tentunya orang pribadi itu di dalam kesehariannya akan dihadapkan terhadap pengelolaan keuangan yang baik seperti misalnya uang saku. Apabila pribadi itu tidak memiliki pengelolaan keuangan yang baik, tentunya bisa kita tebak apa yang akan terjadi bagi dia. Tepat! Dia akan mengalami masalah finansial dan tentunya akan mengalami kekacauan. Sama halnya dengan negara. Sistem keuangan yang ada di dalamnya menjadi faktor paling utama apakah negara itu akan bertahan dan stabil, atau akan tumbang dan kacau.
Timbul suatu pertanyaan, mengapa sistem keuangan itu mengokohkan suatu negara? Hal yang pertama sekali harus dimengerti adalah sistem keuangan itu sendiri. Sistem keuangan itu merupakan kumpulan sub-sub sistem yang tujuan dan fungsinya sama yaitu bagaimana mengalokasikan atau memanajemen dana agar tidak terjadi ketimpangan di antara pihak yang kekurangan maupun kelebihan dana. Jadi intinya, apabila pengalokasian dana di suatu negara tidak baik, maka tentunya akan terjadi ketimpangan yang berakibat buruk bagi kelangsungan ekonominya.
Tahun 1998 merupakan tahun di mana sistem keuangan Indonesia mengalami ketidakstabilan. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya pihak-pihak yang tidak mampu memanajemen keuangannya dengan baik. Ya, pihak sektor privat atau perusahaan. Pada masa itu, sektor privat atau perusahaan banyak menghasilkan utang ke luar negeri dengan tidak memperhatikan kondisinya, terutama kondisi keuangannya terlebih dahulu. Mereka menimbulkan utang yang cukup besar tapi tidak mampu untuk melunasi atau menutupinya. Konsekuensinya, negara jadi turut serta atau dilibatkan menanggung utang tersebut. Lebih jauh lagi, ketidakstabilan sistem keuangan pun akan menghantui negara. Sudah sepantasnya demikian karena negara pasti akan memusatkan sebagian besar dana untuk berjaga-jaga terhadap lonjakan utang yang cukup besar dari sektor privat ke luar negeri. Belum lagi perbedaan selisih kurs yang mengakibatkan perbedaan jumlah uang yang cukup besar. Kondisi inilah yang pada saat itu membawa negara Indonesia kepada kekacauan dan ketidakstabilan sistem keuangan.
Dari krisis tersebut, dapat dilihat bahwa sektor privat ini harus dikelola dengan baik agar ke depannya ketidakstabilan yang pernah negara kita alami tidak akan terjadi lagi. Di sinilah saya berpendapat bahwa sektor privat (perusahaan) memiliki peran yang sangat penting di dalam kestabilan sistem keuangan. Pemilik perusahaan harus mampu menjalankan peran ini dengan baik. Mereka tidak boleh asal-asalan di dalam memanajemen atau mengelola perusahaannya sendiri. Kita bisa belajar dari krisis 1998 bahwa salah satu yang menjadi permasalahan besar adalah mengenai utang perusahaan. Perusahaan seharusnya memperhatikan kondisinya apakah mampu untuk membayarnya atau tidak. Di sinilah pentingnya manajemen keuangan sektor privat itu sebagai salah satu solusi menjaga stabilitas sistem keuangan.
[caption id="attachment_351855" align="aligncenter" width="450" caption="http://www.chrispercival.co.uk/important-financial-stability-suppliers/"]
Pihak sektor privat, apabila ingin menimbulkan utang haruslah mengetahui kondisi keuangannya terlebih dahulu. Dalam hal ini laporan keuangan berbicara. Bagi sektor privat yang bergerak di bidang manufaktur, jasa, dan dagang, salah satunya melihat “rasio kesehatan”, di mana yang paling umum digunakan itu adalah current ratio. Current ratio itu merupakan perbandingan aset lancar perusahaan dengan utang lancar [Aset Lancar/Utang Lancar]. Kita misalkan hasil perbandingannya 60 : 40. Berarti logikanya, aset lancar lebih besar daripada utang lancar, sehingga utang lancar otomatis masih mampu ditutupi oleh aset perusahaan. Di dalam kondisi ini perusahaan masih dalam kondisi sehat atau mampu mengelola utangnya sendiri sepanjang perbandingan aset lancar dengan utang lancar menunjukkan nilai aset lancar lebih besar dari nilai utang lancar. Apabila hasil perbandingannya kita misalkan 40 : 60 atau 50 : 50, maka perusahaan perlu hati-hati akan situasi yang sedang dihadapi perusahaan terkait dengan jumlah utangnya dikarenakan timbul kemungkinan atau risiko bahwa utang tidak akan terlunasi dengan baik. Untuk hasil yang lebih ekstrim, dikarenakan rasio tersebut hanya memperhatikan utang yang hanya bersifat lancar (tempo utang satu tahun) maka ada yang dinamakan rasio total utang terhadap total aset [Total Utang/Total Aset]. Rasio ini merupakan kebalikan dari rasio pertama. Apabila hasil perbandingannya 40 : 60, maka perusahaan masih mampu mempertanggungjawabkan seluruh utangnya (baik lancar atau tidak lancar). Rasio lain yang juga bisa mengukur tingkat utang yaitu Debt to Equity Ratio. Rasio ini membandingkan total utang baik jangka pendek dan jangka panjang terhadap jumlah ekuitas perusahaan. Kita misalkan jumlah seluruh utang suatu perusahaan Rp 1.000.000,00 dan total ekuitasnya Rp 2.000.000,00. Dengan membandingkan keduanya akan didapat rasio Debt to Equity sebesar 1 : 2. Hal ini berarti pihak perusahaan masih aman dalam mempertanggungjawabkan utang yang dimiliki karena masih bisa ditutupi oleh jumlah ekuitasnya. Sesuai dengan rasio Debt to Equity, Jumlah utang yang baik itu bagi perusahaan harus sesuai dengan konsep "Capital Structure", di mana jumlah utang itu tidak boleh melebihi jumlah ekuitas perusahaan. Kemudian, bagi sektor privat yang bergerak di bidang atau sektor keuangan, misalnya perbankan, salah satunya digunakan rasio Loan to Deposit Ratio (LDR). Rasio ini membandingkan total kredit yang disalurkan dengan dana pihak ketiga yang diterima (deposito, tabungan, dan lainnya). Prinsipnya sama untuk menilai apakah utang (dana pihak ketiga) masih berada pada kondisi yang stabil. Apabila hasil rasio LDR tersebut lebih besar dari satu, atau perbandingan total kredit yang disalurkan lebih besar dari dana pihak ketiga, maka dapat disimpulkan bahwa suatu bank masih dapat dikatakan liquid atau mampu menutupi utangnya.
Hasil perbandingan atau rasio di atas akan menjadi kesimpulan bagi pihak yang turut mengelola sektor privat atau perusahaan (baik perusahaan di sektor manufaktur, jasa, dagang, maupun sektor jasa keuangan) apakah perusahaannya sendiri mampu survive dalam membayar utangnya sehingga tidak berdampak panjang dan buruk ke luar perusahaan serta berimbas lebih jauh terhadap stabilitas sistem keuangan. Setiap sektor privat hendaknya aware akan hal ini dikarenakan dampak mereka terhadap kestabilan sistem keuangan sangat besar seperti pada krisis moneter 1998.
Sebagai tambahan menurut saya pribadi, agar manajemen keuangan sektor privat lebih terselenggara dengan baik ke depannya, pengawasan terhadap sektor privat sebaiknya tidak tertutup hanya kepada perusahaan yang bergerak di perbankan dan sektor jasa keuangan saja. Seperti misalnya, di dunia perbankan dan sektor jasa keuangan, ada lembaga yang mengawasi kinerjanya baik dari segi keuangan, manajemen, dan aspek lainnya, yang mana dulu dipegang oleh Bank Indonesia (BI) kemudian sekarang dipegang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sektor privat yang tidak bergerak di dalam dunia perbankan ataupun sektor jasa keuangan misalnya perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, jasa, dagang, perlu diawasi oleh lembaga yang tugas dan fungsinya mengawasi seperti BI atau OJK agar kinerjanya juga tidak melenceng. Dengan adanya lembaga yang mengawasi kinerja perusahaan baik yang bergerak di bidang manufaktur, jasa, atau dagang, melonjaknya utang seperti krisis 1998 di mana pada saat itu jumlah utang yang melonjak sangat tinggi baik dari sektor privat yang bergerak di bidang perbankan, sektor jasa keuangan, maupun sektor privat yang bergerak di bidang manufaktur, jasa, dan dagang bisa dipastikan tidak akan terjadi lagi dikarenakan sudah adanya pengendalian dan pengawasan baik dari dalam perusahaan (pihak manajemen perusahaan) maupun dari luar perusahaan (lembaga pengawas) sehingga stabilitas sistem keuangan akan terjaga Tetapi, apabila hal itu mungkin sulit untuk direalisasikan, pengelolaan yang baik terutama terhadap keuangan dari pihak internal perusahaan sebenarnya sudah lebih dari cukup disertai kesadaran dari manajemennya sendiri bahwa dampak eksistensi mereka terhadap stabilitas sistem keuangan sangat besar.
Ke depannya, pihak sektor privat diharapkan mampu mengelola perusahaannya sebaik mungkin. Dengan mengelola keuangan perusahaan dengan baik terutama pengelolaan utang yang baik sudah memberikan andil yang cukup besar terhadap kestabilan sistem keuangan negara kita sehingga Krisis 1998 yang salah satu penyebab besarnya dari pihak sektor privat dapat dicegah untuk kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H