Mohon tunggu...
Arjuna Sihombing
Arjuna Sihombing Mohon Tunggu... -

ayo....semua keberuntungan bisa direncanakan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebersamaan, Kesalahan dalam Memaknai

26 Desember 2012   13:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:00 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“”Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Kawin Lagi”Pekik guyonan yang sangat berapi-api, menjadi pegangan bangsa Indonesia dan sangat berpengaruh kuat terhadap pola pikir dan tingkah laku masyarakatnya. Tidak mau berpisah, harus bersama. Kenapa tidak, keinginan untuk tetap bersama sudah menjadi harga mati untuk mendapatkan kebahagiaan rohani.

Masyarakat indonesia memiliki sikap kebersamaan yang amat kuat dan tertanam kuat di dalam diri masyarakat Indonesia. Mungkin itu sebabnya sistem pemerintahan yang cocok di indonesia adalah demokrasi. Yang menganut kalimat dari rakyat , oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dimana setiap orang diberi kebebasan berpendapat, dan kalau tidak cocok akan melakukan demo, demonya rame-rame lagi, tidak berani sendiri. Yah, demo memang harus rame-rame... he... he...

kita sering mendengar kalimat “Makan gak makan yang penting ngumpul”. hah... sangat nyaman, nyaman sekali, itulah kekeluargaan. Kebersamaan sangat diutamakan. kerena bagaimanapun ketika berkumpul maka kesenangan untuk meluapkan emosi antar sesama keluarga juga akan tercapai. oh,,, Indahnyakebersamaan. ( salah satu progaram TV )

Ada paradoks (sebutan bagi suatu kebenaran yang bertentangan dengan pendapat umum) antara kehidupan masyarakat Eropa dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Di Eropa dikenal dengan orang-orangnya yang individualitas tinggi, sedang di Indonesia sangat kolektif. Keinginan untuk bertindak dan melakukan secara bersama agar dapat saling membantu bila ada yang kesulitan. Itulah pola pikir masyarakat Indonesia. Bahkan,ini terlihat dari susunan bahasa kita yang kontras dengan bahasa-bahasa eropa. susunan bahasa Indonesia tidak berani maju atau tidak berani menyalahkan diri sendiri. Dalam buku Psikologi komunikasi dijelaskan orang Indonesia lebih menyalahkan hal-hal di luar dirinya. Contohnya :

- Uang saya hilang, orang Eropa bilang I lost my money.

- Kaki saya patah, dalam bahasa Inggris I broke my legs. dll

Orang eropa sangat menunjukkan ke’aku’annya. Ini menunjukkan keberanian tanpa harus berlindung dengan kebersamaan. Mungkin susunan bahasa kita sudah menjadi bukti kurangnya keberanian untuk maju sendiri. Kurangnya rasa individualitas. Yaitu suatu sifat khusus dari seorang manusia sehingga ia berbeda dari orang lain.

Orang yang hidup di kota lebih tepatnya orang yang berpikiran maju biasanya pola pikirnya Materialistik. Hal ini membuat orang orang yang hidup dikota jarang sekali menggunakan hati untuk mengambil keputusan. Akan tetapi, semua harus berdasarkan logika berpikir, perhitungan yang tepat, tidak ada ilmu kira-kira harus pasti. Kalau sudah memilki harta banyak maka ilmu matematika akan semakin diasah karena semua pasti akan dihitung. Tentu saja ini akan bertolak belakang dengan kehidupan di desa.

Belum lagi kita lihat di televisi yang memberitakan para pemegang kekuasaan korupsi, Korupsinya rame-rame lagi. Akan tetapi, yang jadi kambing hitam satu orang, yang lainnya saling melindungi, dan boleh jadi ini produk dari kuatnya kebersamaan. Sehingga, dalam hal kejahatan seperti korupsi pun saling melindungi.

Paradoks juga terjadi dalam hal demo, mahasiswa membentuk satu massa, kemudian beramai–ramai kedepan kampus atau kedepan instansi pemerintah, lalu berteriak tidak karuan sebahagian ada yang benar benar paham betul apa yang di sedang dituntut, sebahagian lain ada yang hanya ikut-ikutan karena teman dan kepentingan kebersamaan. Sedangkan di Amerika demo sering dilakukan oleh masyarakatnya hanya sendiri atau bertiga dan tidak seramai seperti demo yang biasa kita lihat.

Apa yang salah? Tentu mental untuk maju sendiri,bertindak sendiri, tanpa harus bersama,dan tidak malu-malu. Budaya malu memang harus dijaga. Tetapi, malu-malu untuk berdiri sendiri itu berbahaya, seperti kata Presiden Soekarno”Apabila masih ada dalam diri seseorang rasa takut dan malu untuk berbuat kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.”.

RUJUKAN:

Rakhmat, Jalaluddin “Psikologi Komunikasi”

Setiawan, Iwan ”Dahsyatnya Inspirasi Kata-Kata Bijak Warisan Tokoh-Tokoh Top Dunia”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun