Mohon tunggu...
Mohammad Rusly
Mohammad Rusly Mohon Tunggu... -

i\'m ordinary man

Selanjutnya

Tutup

Healthy

sekali lagi: "ingin berhenti merokok"

14 Maret 2010   04:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebagai praktisi kesehatan, sehari hari saya dihadapkan pada masalah perokok yang katanya ingin menghentikan kebiasaanya. Well, saya tidak mau membicarakan bahaya merokok. saya hanya ingin berbagi pengalaman pribadi tentang yang satu ini kepada teman-teman kompasioner bahwa meskipun tidak banyak ada juga yang dengan cara cerdas sukses menghentikan kebiasaan ini.

Ceritanya dimulai ketika saya sengaja mengadakan penelitian kecil kecilan. Saya mencoba untuk membatasi penilaian masalah hanya pada bahasa verbal yang umum mereka ungkapkan saat interview (anamnesis). singkat kata dari sana saya menemukan mereka sedang berada dalam setidaknya dua kelompok besar. Yaitu sebagai subyek dan obyek dari masalah rokok itu sendiri. Bisa kita balik, dalam perspektif yang berlawanan rokok itu sendiri juga bisa sebagai obyek atau subyek terhadap manusia.

Mereka yang masuk berperan sebagai obyek, punya ciri khas pertanyaan "Adakah obat yang bisa membantu saya untuk berhenti merokok? ", atau pernyataan: "saya akan menggantinya dengan permen" atau "saya akan menyibukkan diri dengan pekerjaan biar bisa melupakannnya". "Sebenarnya saya tidak suka merokok, tapi gara gara gak lulus test kemarinlah yang membuat saya jadi seperti ini". Dan yang ini tidak jarang saya dengar "Lebih baik saya tidak makan seharian daripada tidak merokok!". Mereka terlihat merasa nyaman setelah berhasil mengunkapkan pernyataannya. Apalagi semakin lama semakin diterima juga oleh lingkungannya.

Kelompok ini bukan tidak memiliki pemahaman terhadap informasi tentang bahaya merokok. Hanya saja mereka sepertinya sudah merasa nyaman untuk berposisi sebagai obyek. Mereka setuju (dan merasa dibela) kalau pada prinsipnya mereka sedang didzalimi oleh rokok. Mungkin mereka juga berharap suatu saat ada dewa penolong yang bisa membebaskan dirinya dari jerat kebiasaan merokok he he...

Sekarang kita perhatikan kalimat orang yang sudah berhasil menghentikan kebiasaan merokoknya. "Saya hanya pasang niat untuk berhenti merokok, titik!". "semudah itu pak?" "Iya begitulah!". Bagaimana semua ini bisa terjadi?. "Dengan berniat", katanya, "otomatis kita ambil posisi sebagai subyek masalah, tanpa perlu disadari pun otak kita tersetting untuk sanggup menghadapi adventure yang kita hamparkan di depan mata.  Tantangan pahit getirnya sehari hari hari tanpa merokok, mulut pahit, habis makan nasi jadi linglung, ngobrol dengan teman jadi hambar, gak bisa konsentrasi, gak ada inspirasi ...". kekuatan niat tidak pada meniadakan tantangan tersebut, niat hanya membimbing kita untuk menghadapi semuanya secara realistis.

Begini, setidaknya saya mengalami hal yang sama saat saya tidak merokok pada saat berpuasa di bulan rhamadlan. Sebelum ritual puasa dimulai di paga hari, kita sudah memasang niat. bersamaan dengan itu otak kita tersetting untuk  menerima apa saja adventure yang akan kita alami, tidak makan minum dan hal lain yang membatalkan puasa, tentu saja termasuk merokok.

Luar biasa, sampai saat waktu buka puasa tiba, kita tidak merasakan sedikitpun keMAUan untuk makan, minum bahkan juga merokok. meskipun tentu saja sangat INGIN, dan tidak kecil godaan yang datang, bahkan selalu tersedia alasan bagus untuk membatalkan puasa.

Kebetulan saya juga menderita diabetes, untuk ini pun saya juga sudah pasang niat (dengan cara yang sama ). Bunyi niat saya, " tidak konsumsi gula seumur hidup". Selanjutnya saya tidak mengalami kendala berarti sehubngan dengan godaan untuk makan dan minum yang manis.

Saya tidak meragukan lagi, rahasia "nawaitu" lah yang secara essensial merubah angle view kita terhadap suatu masalah seperti kebiasaan merokok ini... asyiknya besaran kuantitatif dan kualitatif masalah tersebut bisa dengan bebas kita setel sesuai besaran masalah yang kita hadapi. Kalau Mount Everest yang ingin kita daki, jangan salah setting seperti kita hendak menakklukkan gunung Punggur Lampung he he

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun