Mohon tunggu...
Muhammad Supriyadi
Muhammad Supriyadi Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, peneliti di Concern Jakarta, dan Staf Analis PTIK

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

RPJMN 2015-2019, Pelemahan Demokrasi

6 Maret 2015   17:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah resmi menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.

RPJMN 2015-2019 merupakan visi, misi, dan agenda (Nawa Cita) Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dengan menggunakan Rancangan Teknokratik yang telah disusun Bappenas dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

RPJMN berfungsi untuk menjadi pedoman Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun rencana strategis, bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah, menjadi pedoman pemerintah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dan acuan dasar dalam pemantauan dan evaluasi RPJM Nasional.

Namun, muatan RPJMN 2015-2019 masih kental dengan gaya irama pemerintahan SBY. Apalagi dalam Bab 6 Bidang Pertahanan dan Keamanan sering muncul bahasa kecurigaan terhadap lahirnya komunis gaya baru. Inilah gaya militeristik yang sering kita dengar saat Orba berkuasa.

Pertanyaan yang muncul, apakah draft RPJMN 2015-2019 yang disusun era presiden SBY sudah direvisi Jokowi? Sepertinya belum atau sengaja tidak direvisi. Nawa Cita pun yang menjadi jargon unggulan rezim Jokowi, terkesan dipaksakan dan tidak nampak dalam pembahasan setiap program kerja lima tahunan tersebut. Kalau pun dijawab sudah, terkesan buru-buru dan tidak sistematis. Ini dokumen negara, ini menjadi pedoman Kementerian/Lembaga (K/L) dalam masa kerja 5 tahun.

RPJMN vs Nawa Cita

Dalam kata pengantar Buku I RPJMN 2015-2019, Jokowi “nyakin” bahwa target dan sasaran program kerja K/L di RPJMN sesuai dengan semangat Nawa Cita. Namun kenyataannya, mulai dari naskah teknokratik sampai RPJMN yang disudah disahkan, beberapa program kerja pemerintah 5 tahun kedepan bertentangan dengan semangat Nawa Cita dan demokrasi.

Di bagian mana? Bab 6 bidang pertahanan dan keamanan merupakan potret ketidakjelian Jokowi dan Menteri Bappenas dalam merumuskan program kerja, sebagai pemerintahan yang dilandaskan atas kebangkitan politik civil society.

Penggabungan Hankam sangat ketara sarat akan politik TNI melalui pembisik di belakang Jokowi. Pada rezim sebelumnya (SBY), politik TNI melalui RUU Keamanan Nasional (Kamnas) berhasil ditolak oleh kalangan civil society, akademisi dan politisi oposisi (PDIP). Sekarang menjadi terget kerja pemerintahan Jokowi.

Draft RUU Kamnas yang sekarang dipaksakan untuk disahkan dan sudah masuk Prolegnas 2015 tidak pernah direvisi. Entah kenapa? Berulang dikembalikan DPR ke pemerintah, kembali lagi diajukan dengan draf yang sama. Bahkan Hermawan Sulistyo dalam bukunya “Kajian Kritis RUU Kamnas” menyatakan; naskah akademik RUU Kamnas cacat dari perspektif yuridis, sosiologis, politis, maupun sosial budaya. Belum lagi subtansi pembahasaanya dengan rujukan akademik yang tidak sesuai dengan buku aslinya; teori Bery Buzan dan Ogata tentang “human security”.

Lebih jelasnya lagi pengesahan RUU Kamnas dan pembentukan DKN—atau dengan istilah lain Wankamnas—ditarget harus selesai tahun ini (2015). Pembiayaannya dianggarkan melalui Rupiah Murni (RM).

Demokrasi dan Supremasi Sipil

Dalam negara demokrasi baru atau sedang mengalami masa transisi, sering terjadi kesenjangan pemahaman antara sipil dengan militer mengenai konsep pertahanan (defence) dan konsep keamanan (security).

Di era reformasi, kehendak rakyat agar negara melakukan reformasi sektor keamanan terlihat dari pembentukan TAP MPR No VI tahun 2000 tentang pemisahan struktur TNI dan Polri dan TAP MPR No VII tahun 2000 tentang pemisahan peran TNI dan Polri, dimana TNI berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan Polri berfungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan perlindungan serta pengayoman masyarakat. Kehadiran kedua TAP MPR tersebut merupakan keharusan demokrasi yang mensyaratkan perlunya diferensiasi fungsi dan tugas antar aktor keamanan.

Kohn dalam Journal Keamanan nasional berjudul “Out of control: The Crisis In Civil-Military Relations” mengkritisasi hubungan militer AS-sipil cenderung insubordinasi dan tidak wajar terhadap kontrol sipil. Kondisi seperti itu pernah terjadi, saat hubungan semu antara sipil-militer saat Orba. Dan munkinkah akan kembali pada pemerintahan Jokowi yang dimenangkan oleh kekuatan politik civil society?

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, Jokowi harus merevisi Perpres Nomor 2 Tahun 2015 untuk menghapus point 7 keamanan yang integratif. Masalahnya ada pada integrated armed forces yang sampai saat ini masih terbatas sekat ego sektoral antara AU, AL, AD dan Marinir yang dianak tirikan. Integrasi seharusnya ditujukan dalam membangun kekuatan pertahanan melalui pembangunan sistem angkatan bersenjata yang terintegrasi.

Manifestasi gelar kekuatan dengan integrated armed forces itu adalah dengan membangun komando gabungan wilayah pertahanan (kogabwilhan). Konsekunsi dari pembangunan angkatan bersenjata yang terintegrasi melalui kogabwilhan itu adalah restrukturisasi komando teritorial.

Kedua, kalau perspektifnya resolusi konflik TNI vs Polri, seharusnya kesejahteraan prajurit/personil yang harus diutamakan. Di beberapa negara maju seperti Amerika, Inggeris dan lainnya, kesejahteraan lembaga pertahanan dan keamanan menjadi prioritas negara.

Ketiga, jika point 1 dan 2 sulit dipenuhi, maka Bappenas harus melibatkan Polri sebagai pelaksana anggaran pada point 7 Hankam (Keamanan yang terintegrasi). Karena fokus dari integrasi keamanan adalah pengesahan RUU Kamnas yang didalamnya tersurat dan tersirat peran Polri sebagai penangungjawab keamanan dalam negeri.

Dinamika politik rezim Jokowi, berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Kekuatan rakyat dan civil society merupakan modal politik di kursi kekuasaan. Namun akhirnya, Jokowi masuk dalam labiri politik “datuk-datuk” yang masih mempunyai persepsi bahwa rakyat adalah “ancaman”. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah pengesahan RUU Kamnas agar MEREKA kembali masuk dalam ranah “human securty”. Inilah kebangkitan Orba jilid 2 yang dikenal dengan istilah post-post demokrasi, dan akan menjadi buah “simalakama” bagi elektabilitas simpatisan Jokowi dalam pencaturan Pilpres 2019.

Mohammad Supriyadi; Analisis ConcerN dan pemerhati keamanan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun